|
Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, khususnya yang bersinggungan dengan hutan, akan lebih baik apabila dilakukan dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Pembangunan di provinsi itu harus mengedepankan menjaga kelestarian hutan serta memperhatikan kearifan lokal. "Dampaknya akan dirasakan bersama sehingga masyarakat perlu dilibatkan," demikian dikemukakan Greenpeace Forest Campaigner Bustar Maitar kepada SP, Minggu (25/11) malam. Pemanasan muka bumi mendorong keadaan iklim tidak stabil, termasuk banjir dan kekeringan, meningkatnya permukaan air laut lebih dari satu meter, serta menyusutnya luas permukaan salju. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar yang menyumbangkan gas-gas pemanasan bumi yang dihasilkan dari pembukaan dan pembakaran hutan. Untuk itu, hutan khususnya yang berada di Papua dan Papua Barat menjadi penting sebagai salah satu paru-paru bumi. "Kami mendukung pemerintah daerah melindungi hutan untuk memetik manfaat sebesar-besarnya dan bukan dari pembalakan atau pembukaan hutan untuk kelapa sawit," ujarnya. Ia melanjutkan, kondisi hutan Papua saat ini dengan 20-30 tahun lalu tentu sangat berbeda. Pada 20-30 tahun lalu hutan Papua baru mulai dibuka oleh perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH), dan juga untuk kepentingan pembangunan seperti transmigrasi dan infrastruktur jalan. Saat ini hutan Papua sudah cukup banyak yang rusak. Banyak wilayah yang hutannya sudah habis dibabat oleh HPH. "Saat ini hutan Papua semakin terancam karena menjadi target besar-besaran kegiatan penebangan hutan dan juga untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Sinar Mas, misalnya, merencanakan hampir tiga juga hektare pembukaan lahan perkebunan sawit di Papua dan juga perusahaan lainnya. Belum lagi rencana pembangunan infrastruktur jalan yang merupakan implementasi dari Inpres Nomor 5 Tahun 2007 akan semakin membuka akses pada sumber daya hutan dan belum tentu jalan tersebut juga akan dipakai oleh masyarakat," ujarnya. Bustar menambahkan, masyarakat tentu punya kearifan dalam pengelolaan hutan, namun kearifan pengelolaan hutan tanpa pengakuan hak atas hutan dan tanah, tidak akan berarti apa-apa. Sampai saat ini komitmen Pemerintah Daerah Papua cukup bagus untuk penyelamatan hutan, namun komitmen tersebut perlu untuk diimplementasikan. Tetap Miskin Perlindungan hutan Papua dan penjagaan kelestarian lingkungan demi melindungi planet bumi harus terus ditingkatkan. Bahkan kebijakan terhadap hutan Papua, atau yang dikenal dengan kebijakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan ini, sejak September lalu telah disusun dalam sebuah moratorium bersama antara Gubernur Papua Barnabas Suebu SH dan Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi. Gubernur Barnabas Suebu mengemukakan hal itu dalam keterangan persnya kepada wartawan di Aula Gedung Negara baru-baru ini. Untuk melindungi hutan Papua yang luasnya 42.224.840 hektare ini, katanya, ia bersama Gubernur Papua Barat telah menandatangani suatu kebijakan. Kebijakan yang baru disusunnya tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Bersama Gubernur Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua Barat bernomor 163 Tahun 2007 dan Nomor 16 Tahun 2007 tentang Peredaran Hasil Hutan. Luas hutan Tanah Papua yang mencapai 42.224.840 hektare itu menutupi 95 persen total lahan yang ada. Dari luas itu, 48 persen untuk hutan lindung dan konservasi, diikuti hutan produksi dan hutan konversi berturut-turut 30 persen dan 22 persen. "Jadi begitu luas hutan kita, yang sebenarnya merupakan penyumbang oksigen terbesar bagi planet bumi," katanya. Gubernur menambahkan, pada masa lalu tidak hanya di Papua, tetapi juga provinsi lain telah terjadi kesalahan yang dibuat bangsa dan pemerintah. Kenyataan menunjukkan hutan tropis hancur, namun tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi pemerintah terlebih bagi rakyat Papua. "Yang kenyang justru pengusaha yang secara semena-mena telah menghancurkan hutan yang menjadi tempat menyimpan air dan penghasil oksigen bagi makhluk hidup dan tempat hidup flora dan fauna. Karena hancurnya hutan ini terjadi malapetaka, banjir, dan sebagainya. Rakyat tetap miskin tapi hutan sudah habis," katanya. Masalah utama lain yang sangat mencolok, adalah sebagai penyumbang pendapatan nomor dua terbesar tetapi lebih dari 80 persen keluarga Papua hidup dalam kemiskinan. Masalah lainnya adalah pembalakan ilegal dan konflik kewenangan/regulasi atas masalah pengelolaan hutan. "Hutan kaya tetapi rakyat miskin," ia menambahkan. Kebijakan Baru Melihat kenyataan itu, Gubernur Suebu sangat prihatin dan mencoba untuk menyusun suatu kebijakan yang telah ditandatanganinya sejak 18 September lalu itu bersama Gubernur Papua Barat. Ia pun menyebutkan prinsip-prinsip kebijakan baru untuk hutan Papua. Pertama, pelarangan total ekspor kayu log dari Papua, baik keluar negeri maupun antarpulau. "Ini adalah proses pembodohan dan pemiskinan bagi rakyat Papua," katanya. Kedua, perlu dilakukan percepatan pengembangan industri kayu rumah tangga dan pembalakan hutan oleh masyarakat (community logging). "Setiap perusahaan yang masuk ke Papua harus membangun industrinya di Papua, sehingga kayu yang dikirim keluar Papua adalah kayu yang sudah diolah, bukan log," katanya. Ketiga, adalah penanganan konflik melalui pengaturan akses masyarakat kepada hutan melalui Perdasus. Untuk hal ini hak kepemilikan hutan dikembalikan kepada rakyat. "Hutan Papua bukan milik negara tetapi milik rakyat," ujarnya. Keempat, izin-izin HPH aktif maupun nonaktif akan dicabut kecuali perusahaan tersebut membangun industrinya di Papua. Kelima, penegakan hukum melalui aparat yang jumlah dan kualitasnya memadai, baik polisi juga polisi kehutanan, peningkatan kesadaran masyarakat. Keenam, seluruh hutan di Papua didedikasikan untuk menyelamatkan planet bumi dan masa depan kemanusiaan, termasuk melalui pengembangan industri bahan bakar bio (green energy) secara hati-hati. Kelak, Gubernur mengatakan, akan dikembangkan ekoturisme. Hutan dapat memiliki nilai plus bagi masyarakat di seluruh dunia. Misalnya saja berbagai macam jenis flora dan fauna yang ada di hutan dapat dinikmati hanya dengan berjalan kaki. "Kita berharap kelak hutan Papua akan menjadi sumber energi dan kehidupan bagi planet bumi ini," ujarnya. [SP/Roberth Isidorus] Post Date : 03 Desember 2007 |