|
Hutan hujan tropis berperan sangat penting di dalam penanganan perubahan iklim. Berbagai studi menyebutkan, sekitar 25 persen dari emisi gas rumah kaca di dunia berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan. Sayang, hutan sebagai bagian dari upaya menangani perubahan iklim tidak mendapat tempat yang memadai di dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) serta Protokol Kyoto. Celah-celah yang ternyata masih ada di sektor pemanfaatan hutan di tingkat global, tak urung mendorong keinginan Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama di antara negara-negara pemilik hutan hujan tropis yang tergabung dalam Kelompok F-11 (Forest Eleven). Rancangan besar (world map) tentang penguatan kerja sama antara negara-negara pemilik hutan hujan tropis yang tergabung dalam Kelompok F-11 dengan negara-negara maju, muncul sebagai sebuah kebutuhan yang sangat mendesak. "Kita perlu menata world map tentang kerja sama di bidang kehutanan," kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menjawab SP, seusai breakfast meeting antara negara-negara pemilik hutan hujan tropis dengan ketua delegasi di tingkat menteri dari negara-negara G-8, Portugal, dan Slovenia sebagai wakil dari Troika Uni Eropa, Australia, Norwegia, Finlandia, Belanda, dan Korea Selatan, Kamis (13/12) pagi. Selain Indonesia, negara-negara berkembang lain yang menjadi anggota F-11 adalah Malaysia, Papua Nugini, Brasil, Peru, Republik Demokratik Kongo, Kamerun, Republik Kongo, Gabon, Kosta Rika, dan Kolombia. Hassan menyebutkan, penataan world map di bidang kehutanan bisa menjadi langkah nyata yang dapat segera dilakukan tanpa harus menunggu rentang waktu antara Konferensi Bali 2007 hingga COP 15 di Kopenhagen, Denmark, pada 2009, menuju tercapainya Komitmen Periode Kedua Protokol Kyoto pasca 2012. "Para pemilik hutan tropis sama-sama merasakan perlu ada pengakuan yang lebih besar, khususnya dari negara-negara maju, terhadap peran hutan tropis sebagai paru-paru dunia dan penyerap emisi karbon (carbon sink)," kata Hassan. Mengacu potensi tersebut, insentif negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dirasakan pula sangat perlu. "Ada pengakuan global tentang pentingnya hutan, khususnya hutan hujan tropis, di dalam penanganan perubahan iklim," ungkapnya lebih jauh. Kebutuhan untuk memperkuat kerja sama di antara negara-negara F-11 bukanlah tanpa alasan. Dari kajian-kajian yang dilakukan, terungkap bahwa emisi akibat deforestasi sebelas negara tersebut menempati jumlah yang signifikan dari seluruh emisi gas rumah kaca dunia yang dikeluarkan oleh wilayah tropis. Sebaliknya, hutan hujan tropis memiliki daya serap karbondioksida yang relatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daya serap jenis-jenis hutan lain yang ditemukan di negara-negara maju, seperti Rusia, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hutan hujan tropis juga diakui memiliki peran yang sangat penting di dalam pelestarian lingkungan hidup di dunia. Sebanyak 3,4 juta mil persegi permukaan bumi ditumbuhi oleh hutan hujan tropis, atau sekitar 6 atau 7 persen dari permukaan bumi. Mengacu data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB tahun 2005, sekitar 16 persen dari seluruh hutan di dunia merupakan hutan hujan tropis. Sekitar 50-90 persen dari seluruh spesies satwa di dunia terdapat di hutan hujan tropis. Tidak mengherankan, respons positif disuarakan oleh negara-negara pemilik hutan hujan tropis atas inisiatif Indonesia untuk memperkuat kerja sama di antara mereka pada sektor kehutanan. Kesepakatan penguatan kerja sama antar negara-negara F-11 merupakan tindak lanjut dari inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang kehutanan, melalui Pertemuan Khusus Pemimpin Negara-negara Pemilik Hutan Hujan Tropis di New York, pada 24 September 2007. "Ada apresiasi besar atas kepemimpinan serta inisiatif RI agar masalah hutan menjadi bagian upaya untuk menangani perubahan iklim, di saat sektor kehutanan tidak mendapat tempat yang memadai di Konvensi dan Protokol Kyoto," tegas Hassan. Saking antusiasnya, Indonesia dan negara-negara anggota Forest Eleven yang lain bahkan dalam breakfast meeting pada Kamis pagi sepakat perlu segera diselenggarakannya konferensi internasional negara-negara pemilik hutan tropis yang dihadiri pula oleh negara-negara maju dan badan-badan internasional. Acungan jempol bukan hanya diunjukkan oleh kalangan negara-negara anggota Forest Eleven, tetapi juga negara-negara maju. Norwegia bahkan telah menyatakan akan mengalokasikan dana sebesar US$ 500 juta per tahun untuk kerja sama di bidang kehutanan dengan Pemerintah Indonesia. "Indonesia, sebagai negara pemilik hutan tropis, perlu menyambut tawaran bantuan untuk mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Banyak yang bilang, upaya ini ibarat melempar satu batu dan dapat dua burung. Ini positif tidak hanya bagi mitigasi, tetapi juga terkait mengatasi perubahan iklim," kata Hassan. Insentif Menteri Kehutanan MS Kaban secara terpisah mengatakan semua negara pemilik hutan hujan tropis punya semangat yang sama, bahwa deforestasi dan degradasi bisa dicegah dengan upaya-upaya yang dilandasi semangat untuk melakukan perlindungan hutan secara berkelanjutan. Insentif perlu diberikan pada upaya-upaya deforestasi dan degradasi. "Kita ingin ada insentif diberikan. Tetapi insentif harus diberikan bagi seluruh jenis hutan, mulai dari hutan produksi hingga hutan lindung," kata Kaban. Menurut dia, seluruh hutan yang dikelola secara berkelanjutan patut diberi insentif. Deforestasi, bagi negara-negara berkembang, jelas merupakan suatu keharusan. Sebab, deforestasi harus diakui merupakan salah satu cara untuk membangun perekonomian negara. Tetapi, deforestasi akibat pemanfaatan hutan bagi kehidupan, yang pada satu sisi juga berpengaruh terhadap iklim dunia, mau tidak mau harus dikendalikan dan dikelola secara tepat. Untuk itu, perlu ada insentif positif. Dengan kesepakatan yang berhasil digalang Forest Eleven, upaya-upaya mengatasi perubahan iklim dapat dipastikan tidak mengurangi kemampuan pembangunan yang masih bertumpu pada sumber daya alam. Tidak heran apabila Menteri Negara Urusan Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Inggris, Hilary Benn, yang menghadiri breakfast meeting mengatakan,"Apabila ada salah satu prestasi yang khas dari Bali, prestasi tersebut tidak lain adalah penanganan hutan hujan tropis sebagai elemen baru penanganan perubahan iklim." [SP/Elly Burhaini Faizal] Post Date : 14 Desember 2007 |