Hidup Tanpa Sampah Terkendala Sikap Feodal

Sumber:Kompas - 21 April 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Bandung, Kompas - Hidup tanpa sampah atau zero waste bukan hal mudah untuk dikampanyekan di Indonesia. Paradigma masyarakat Asia, termasuk Indonesia, yang masih feodal membuat gerakan penyadaran akan pentingnya lingkungan bersih tanpa sampah sulit diterapkan.

Hal itu diungkapkan David Sutasurya, pendiri Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Minggu (20/4) di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), dalam acara Dago Walking Day. Acara yang diprakarsai Republic of Entertainment itu digelar untuk memperingati Hari Bumi yang jatuh pada Selasa besok.

Dago Walking Day diikuti lebih dari 100 orang yang terdiri dari mahasiswa dan keluarga. Peserta berjalan kaki dari Taman Cikapayang di Jalan Ir H Djuanda menuju Sabuga di Jalan Tamansari. Peserta juga diajak menanam pohon. Di sepanjang perjalanan mereka diharuskan memunguti sampah. Ironisnya, pada acara itu justru tampak beberapa peserta membuang sampah berupa gelas air mineral dan dus makanan di sembarang tempat di Sabuga.

Kampanye budaya hidup bersih tanpa sampah, menurut David, memang sulit dilaksanakan sampai tingkat komunitas formal seperti rukun warga atau rukun tetangga. Penyebab utamanya adalah paradigma dalam masyarakat bahwa sampah adalah urusan pemerintah. Pemerintah pun mengambil peran terlalu besar mengurusi sampah.

Pengelolaan sampah, lanjutnya, berkaitan erat dengan budaya dan pendidikan sebuah negara. Ia mencontohkan negara seperti Singapura, China, Amerika serikat, dan negara-negara di Eropa yang secara ekonomi memiliki kesetaraan. Akan tetapi, dalam pengelolaan lingkungan, negara Eropa lebih maju karena budaya dan pendidikannya lebih baik.

Menurut dia, negara di Asia terkenal sebagai negara kaya, tetapi masyarakatnya feodal. "Mereka maunya tinggal bayar dan semua beres. Budaya ini pun berlaku di Indonesia," kata David.

Menghadapi kondisi seperti itu, YPBB mengatur strategi baru dalam mengampanyekan zero waste. Strategi tersebut adalah menyasar kalangan menengah atas perkotaan melalui kegiatan Zero Waste.

Mereka mengampanyekan zero waste dalam konser musik, pesta ulang tahun, pernikahan, dan lain-lain. "Dalam acara tersebut kami menawarkan acara yang menggunakan konsep tanpa sampah atau tidak menggunakan barang yang tidak dapat didaur ulang oleh alam," papar David. Lewat "blog"

Kampanye hidup tanpa sampah juga dilakukan Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda. Ia mengampanyekan pemanfaatan sampah dengan melalui blog di internet, yaitu http://clearwaste.blogspot. com. Dalam enam bulan, blog tersebut telah dikunjungi sebanyak 26.000 pengunjung.

Sobirin memanfaatkan sampah organik untuk dijadikan kompos yang berguna bagi pertanian rumah tangga atau pertanian independen, misalnya dalam penanaman stroberi, padi dalam pot, dan kangkung untuk konsumsi domestik. Melalui pendekatan ekonomi independen rumah tangga, banyak orang tertarik mempelajari hidup tanpa sampah. (ynt)



Post Date : 21 April 2008