Hidup Modern Tanpa WC

Sumber:Kompas - 05 Januari 2010
Kategori:Sanitasi

Desa Karet hanya 15 kilometer dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang. Di Karet, sepeda motor keluaran terbaru lumrah ditunggangi para pemuda desa. Tak ketinggalan telepon seluler di genggaman dan seutas kabel menghubungkannya dengan pengeras suara mini tertanam di telinga mereka. Sinetron di televisi dengan artis ternama dan gaya hidup modern menjadi pilihan tontonan warga.

Namun, di rerimbunan semak, kebun pisang, dan di kali kotor yang mengaliri Desa Karet, orang-orang asyik buang hajat. ”Masih banyak warga di sini yang tidak memiliki WC. Sumur pun tidak semua orang punya,” kata Yati (23), warga Desa Karet, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Banten, akhir Desember silam.

Berbatasan dengan desa ini terdapat kompleks Kawasan Industri Karet yang didominasi bangunan pergudangan. Ada proyek air bersih, tetapi mungkin baru terealisasi tahun 2010.

Menurut Sansang, Sekretaris Desa Karet, kekurangan air bersih diakui menjadi masalah utama di desa ini. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, di puskesmas yang melayani lima kecamatan, yaitu Sepatan, Sepatan Timur, Paku Haji, Sukadiri, dan Rajeg, jumlah pasien diare selama 2007 sebanyak 600 orang dan 17 orang di antaranya meninggal. Selama enam bulan pertama 2008 terdapat 382 pasien diare. Jumlah pasien hingga akhir 2008 dan 2009 belum terdata.

”Penyakit kulit juga banyak. Lihat, anak saya juga kena,” kata Yati. Di dahi Wahyu (7 bulan), si anak itu, tampak noda-noda putih seperti kulit terkelupas. Menurut Yati, ada kemungkinan penyakit kulit yang diderita anak keduanya itu karena kotornya air di Karet.

Yully Soenar Dewanty dari Bidang Pencegahan Penularan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang menyampaikan, penyakit menjangkiti warga karena mereka menggunakan air sumur tanpa dimasak matang. Masyarakat pun dituding kurang memerhatikan kebersihan diri dan lingkungan. Mereka juga sulit mengubah kebiasaan lama, seperti buang hajat di sembarang tempat dan jarang mandi.

Gagap dan tertinggal

Berjalan berkeliling Desa Karet terlihat kebersihan lingkungan terabaikan. Perumahan warga tumbuh tidak teratur meninggalkan jejak jalan-jalan tanah nan sempit. Saluran air banyak yang mampat menawarkan pemandangan genangan air hitam dan tumpukan sampah.

Sebagian besar warga sibuk di rumahnya memilah gelas plastik, tumpukan potongan busa, dan aneka sampah lainnya. Tak heran karena sebagian penduduk Desa Karet adalah pemulung. ”Banyak juga buruh pabrik, buruh tukang gali, atau pekerja informal. Rata-rata memang pendatang. Ada dari Madura, Sunda, Tegal, Brebes, Medan. Banyak yang kawin campur dengan warga lokal dan menetap,” kata Sansang.

Desa Karet merupakan potret perubahan kawasan akibat perubahan zaman, termasuk pemekaran kawasan Tangerang menjadi beberapa kabupaten dan kota tersendiri. Karet kini menjadi bagian dari kawasan Kabupaten Tangerang yang beribu kota di Tigaraksa, berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dengan sepeda motor dari Karet.

Menurut Sansang, yang mengaku warga asli Karet, desa seluas 1.771 hektar itu dahulu didominasi persawahan. Kini sawah padi telah tergerus dan hanya tersisa sekitar 5 hektar. Karet menjadi kawasan terbuka terdiri dari 8 RW dan 48 RT. Total penduduknya mencapai 17.000 jiwa lebih. Hanya sebagian kecil yang mengenyam pendidikan formal.

Masalah sosial dan lingkungan karena meledaknya jumlah penduduk, pendidikan rendah, dan kemiskinan menghantui Desa Karet. Terlebih ketika ada kawasan industri. Awalnya air bisa didapat pada kedalaman 15-20 meter. Sekarang warga harus mengeluarkan uang Rp 1 juta-Rp 1,5 juta untuk membayar penggali sumur di kedalaman 40 meter dan membeli jet pump. Jumlah uang yang tidak mudah diraih bagi sebagian besar warga Karet.

Tak heran banyak yang memilih cara mudah dengan memanfaatkan aliran kali di perbatasan desa untuk mandi, mencuci, dan buang hajat. Untuk MCK bayi, beberapa warga menggunakan air galon agar terhindar penyakit kulit dan diare.

”Satu dua tahun ini pemerintah kabupaten memberi bantuan MCK umum. Namun, tidak ada perawatan, jadi terbengkalai,” kata Amdiah, istri Ketua RT 2 RW 3, Desa Karet.

Menurut Sansang, pemekaran kawasan diakuinya mempercepat pembangunan. Jalan Mauk Raya yang melintas Desa Karet, misalnya, akhirnya terealisasi pada 2006 setelah Kabupaten Tangerang berdiri sendiri. Kompleks perumahan pun bermunculan menggantikan persawahan.

Namun, pembangunan itu tidak diimbangi dengan kelengkapan fasilitas. Saluran air memadai tidak tampak mendampingi Jalan Mauk Raya. Masyarakat dipaksa belajar modern secara instan dengan pembangunan fisik yang digenjot di sekitar mereka. Mereka dibiarkan tergagap sendiri. (NELI TRIANA dan PINGKAN ELITA DUNDU)



Post Date : 05 Januari 2010