|
"Warga di sini terpaksa mencuci baju dan piring di sungai karena air ledeng tidak mengalir. Ini juga terpaksa karena kalau beli air terus-terusan ongkosnya besar. Kami beli air untuk minum saja," kata Ny Idoh (50), warga Manggarai Utara II, RT 12 RW 04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Ketika sebagian warga Jakarta telah mengecap berbagai kemewahan kehidupan sebagai warga metropolitan, ternyata masih ada warga yang untuk mengakses air bersih pun mengalami banyak kesulitan. Salah satunya adalah mereka yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung di Manggarai Utara II, Jakarta Selatan, yang masih mencuci peralatan dapur dan peralatan makan di sungai tersebut. Mencuci baju di sungai sebenarnya telah menjadi hal yang umum di negeri ini, terutama di pedesaan. Akan tetapi, meski di banyak tempat air sungai sudah tercemar, atau ketika hujan deras air yang mengalir sebagian bercampur lumpur akibat erosi di bagian hulu, situasinya akan jadi lain ketika kasusnya terjadi di aliran sungai di Ibu Kota. Untuk mencuci peralatan dapur dan peralatan makan (gelas, piring, sendok-garpu) di sungai tentu faktor higienitas harus dipertimbangkan. Pasalnya, Sungai Ciliwung yang menjadi "pantat" ribuan rumah tangga di Jakarta ini justru dijadikan tempat untuk buang air besar dan mandi. Jadi, bisa dibayangkan betapa berbahaya mencuci peralatan dapur dan peralatan makan di sungai yang sudah terkontaminasi ini. Kenyataan ini bukan tidak disadari oleh warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Namun, bagi warga miskin perkotaan, tindakan tadi terpaksa dilakukan karena mahalnya harga air bersih. Kenyataan sungai yang kotor, hitam, dangkal, dan penuh sampah memang memprihatinkan. Pemerintah pun memang berupaya untuk mengeruknya, namun tetap saja berton-ton sampah menyumbat aliran sungai. Dari jembatan di Jalan Tambak (dari arah Terminal Manggarai), misalnya, bisa dengan gampang dilihat sampah- sampah yang menyumbat pintu air. Bahkan, di pinggir sungai di belakang rumah-rumah warga Manggarai Utara II, sampah pun mengotori sungai. Bukan pemandangan asing bila melintas di sama kita semelihat warga yang melempar kantong plastik penuh sampah ke sungai. Artinya, upaya menumbuhkan kesadaran pada warga menjaga kebersihan sungai masih harus terus dibangun. Kondisi permukiman warga di Manggarai Utara II sangat jauh dari ideal. Mereka hidup di rumah-rumah petak sempit (ada yang membeli, ada yang mengontrak rumah). Untuk masuk ke areal itu, kita harus melalui gang-gang kecil yang pengap. Ny Idoh telah tinggal di kawasan ini sejak umur 3 tahun. Menurut Ny Idoh, karena rumah-rumah di Manggarai Utara II umumnya berdiri di atas lahan terbatas, maka mereka tidak memiliki kakus (WC) sendiri, sebab tak ada lahan untuk membangun septi tank. Untuk buang air, warga memanfaatkan kakus atau jamban umum dari kayu yang "nangkring" di bantaran sungai. Bahkan, untuk mandi pun masih ada saja warga yang ke sungai. "Tapi kalau minum kami membeli air karena air ledeng di rumah sering tidak mengalir," kata Ny Idoh. Di luar negeri, sungai bisa dijadikan bagian dari wisata, dengan kapal-kapal kecil membawa puluhan turis asing berkeliling kota, seperti di Roma, Paris, dan Amsterdam. Di Jakarta? Sungai justru dijadikan jamban raksasa oleh jutaan penduduknya. Tidak hanya urusan kakus, bermacam kotoran rumah tangga pun dibuang ke sungai. Mampet dan bau Jika Sungai Ciliwung masih bisa digunakan untuk cuci baju dan peralatan dapur, Kali Sindang dan Kali Lagoa Kanal di Kelurahan Koja, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, justru sudah tidak bisa digunakan untuk keperluan serupa. Aliran sungainya mampet, airnya hitam, kotor, dan berbau. "Sungainya dangkal, airnya hitam. Sampah di mana-mana, soalnya warga masih ada yang membuang sampah di sungai," keluh Ny Maria, warga Jalan Deli Lorong 26, RT 04, RW 08, Kelurahan Koja. Rumah Maria sangat dekat dengan Kali Lagoa Kanal, sehingga keluarga Maria pun mau tidak mau menghirup bau busuk yang dikirim dari sungai yang mampat tersebut. Lebih memprihatinkan, Kali Lagoa Kanal yang lebar sekitar 25 meter kini tinggal 8-10 meter. Belum lagi di kiri-kanan dan tengah sungai terbangun "pulau-pulau" sampah. "Ukuran sungai jadi kecil karena warga terus menguruk sungai dengan tanah dan dibangun rumah-rumah petak," jelas Ny Mariam, Ketua RT 08, RW 08, Kelurahan Koja, yang tinggal di Jalan Deli, Lorong 28. Fakta lainnya, banyak juga rumah tangga yang tidak mempunyai jamban. Ada kakus umum, namun warga harus membayar jika mau memanfaatkannya. Tetapi, ternyata ada juga kakus umum di pinggir Kali Lagoa Kanal, yang pembuangannya "dilarikan" ke sungai. "Ya, memang ada MCK umum yang pembuangannya langsung ke sungai," kata Darsita, Ketua RT 12 RW 08 Kelurahan Koja. Darsita pun bercerita, ketika Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso datang melihat kondisi Lagoa Kanal, memang ada upaya pembersihan sampah di sungai. Tapi, setelah kedatangan Sutiyoso, sungai pun kembali dipenuhi sampah. Kalau sudah begini, bahaya banjir akan mengancam dan tidak terelakkan, kecuali harus cepat dibenahi. Apalagi tahun 2007 sudah memasuki masa lima tahunan banjir kiriman, terutama di kawasan Manggarai, Kampung Melayu, dan sekitarnya harus diwaspadai. Perbuatan manusia Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pada seminar "Perempuan di Bantaran Sungai Ciliwung" medio Desember 2006 menyatakan, masalah pokok lingkungan hidup pada dasarnya adalah masalah yang dihadapi manusia sendiri. Timbulnya kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat perbuatan manusia. Tanpa perubahan sikap dan perilaku, maka lingkungan hidup akan semakin rusak dan akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Perubahan sikap dan perilaku bersumber dari perubahan cara berpikir manusia terhadap lingkungan hidup. Perubahan sikap dan perilaku tersebut hanya dapat dilakukan apabila diterapkan pada kebiasaan sehari-hari. Hal tersebut dapat dimulai dari hal-hal yang tidak terlalu rumit, mudah dilakukan dan bersifat aksi nyata. Oleh karena itu, perempuan sebagai kelompok yang paling dirugikan karena kotornya air sungai (karena perempuanlah yang sehari-hari banyak beraktivitas di sungai, seperti mencuci baju dan piring) harus ditoleh. Untuk itu, perlu ada semacam upaya pendamping terhadap kelompok perempuan ini. "Kelompok perempuan sebetulnya merupakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan sangat efektif bagi pengembangan upaya pelestarian lingkungan hidup," papar Rachmat Witoelar. Kini, para ibu di kawasan Koja, Manggarai, Bendungan Hilir, dan Petamburan di Jakarta Pusat telah mulai bergerak untuk menjaga kebersihan sungai dan lingkungan mereka. Terlebih ancaman banjir yang kian dekat, membuat mereka makin serius mengatasi persoalan sungai, tempat mereka hidup di bantarannya.... M Puteri Rosalina dan Elok Dyah Messwati - Hidup di Bantaran Sungai (2) Perempuan-perempuan Itu Penggerak Perubahan - Hidup di Bantaran Sungai (3) Jakarta Tak Lagi Pedulikan Ekosistem Post Date : 16 Januari 2007 |