Hidup Berdampingan dengan Genangan Air

Sumber:Kompas - 02 Februari 2009
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

"Saya benar-benar mohon maaf," kata Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Kota Surabaya Sri Mulyono ketika membuka materi seminar pada Forum Reboan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, beberapa waktu lalu.

Rupanya permintaan maaf Sri Mulyono diarahkan pada peristiwa tergenangnya Surabaya, 8 Januari silam, akibat hujan deras yang terus mengguyur kota tanpa henti. Bahkan pada Sabtu (31/1), luapan Kali Surabaya merendam kawasan Desa Warugunung, Kecamatan Karangpilang, setinggi 50 sentimeter (cm)-100 cm.

Surabaya sepertinya benar-benar terkepung genangan air. Tidak hanya di pinggiran kota atau pinggiran kali, tetapi juga di jalur- jalur protokol di tengah kota seperti kejadian pekan pertama Januari itu. Meski tidak separah banjir di Jakarta, genangan air yang hingga menenggelamkan banyak kendaraan roda empat itu mengakibatkan kemacetan di mana-mana. Kemacetan sepanjang lebih dari 10 kilometer terjadi dari Jalan Basuki Rahmat hingga Bundaran Waru, Sidoarjo.

Singkatnya, banjir di Surabaya tidak lagi bisa terelakkan. Dalam pemaparannya, Sri Mulyono mengatakan bahwa musim hujan di Surabaya tahun ini memang lain dari musim hujan pada tahun sebelumnya.

Curah hujan yang begitu tinggi, luas wilayah guyuran hujan yang merata, naiknya pasang air laut, dan perubahan gejala pembentukan awan kumulonimbus lagi-lagi menjadi kambing hitam penyebab utama terjadinya banjir.

Kepala Kelompok Analisa dan Prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Juanda Syamsul Arifin mengatakan, data luas wilayah hujan di Surabaya hampir selalu merata. Selain itu, setiap hujan turun, dua pertiga wilayah Surabaya juga dirundung awan kumulonimbus yang berpotensi menghasilkan hujan lebat disertai angin kencang.

Pakar drainase perkotaan dari ITS, Anggrahini, mengatakan bahwa banjir pada dasarnya terbentuk akibat beberapa faktor. Pertama, faktor statis seperti kondisi alam, kontur, dan sifat tanah. Kedua, faktor dinamis seperti peristiwa alam berupa tingginya curah hujan dan meningkatnya elevasi permukaan air laut pasang. Terakhir, aktivitas manusia yang tidak menunjang lingkungan.

Terlepas dari itu, Anggrahini mengatakan, banjir di setiap kota di seluruh Indonesia tidak mungkin dapat dihindari. Pasalnya, sistem drainase perkotaan di Indonesia sudah mengalami salah perencanaan sejak pertama dibentuk.

Di Surabaya, kesalahan ini ditambah semakin padatnya penduduk dengan aktivitas warga kota yang begitu beragam. Aktivitas itu mulai pembangunan tanpa henti dan tidak pandang wilayah resapan air hingga perilaku membuang sampah sembarangan, yang menyebabkan air di saluran pembuangan pampat.

Ini belum lagi kontur tanah Surabaya yang banyak mengandung tanah liat sehingga tanah sulit mengikat air permukaan. Dibandingkan dengan air yang menguap karena panas matahari, air yang terserap tanah jauh lebih sedikit.

Kurangi genangan

"Apabila banjir atau genangan air tidak bisa lagi dihindari, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengurangi lama, luas, dan tinggi genangan air. Artinya, bagaimana menekan kualitas banjir seminimal mungkin," kata Anggrahini.

Ia mengatakan bahwa lama, luasan, dan tinggi genangan air di Surabaya sejak tahun 2000 sudah jauh membaik. Dinas Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya mencatat, luas wilayah genangan sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 sudah berkurang hingga 29,3 persen.

Tahun 2000, luas wilayah genangan mencapai 4.000 hektar dengan lama genangan maksimum 6 jam dan tinggi genangan hingga 60 cm. Sementara pada tahun 2007, realisasi genangan di Surabaya maksimal setinggi 27 cm dengan luas genangan 2.825 hektar dan lama maksimum genangan 3 jam.

Upaya menekan kualitas banjir ini, Anggrahini melanjutkan, tidak mungkin dilakukan dengan mengubah sistem drainase awal kota. "Dibutuhkan dana lebih dari Rp 70 triliun apabila sistem awalnya harus diubah," kata Anggrahini. Untuk itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membentuk Surabaya Drainage Master Plan (SDMP) sebagai rencana besar sistem drainase jangka panjang untuk menekan kualitas banjir.

Sri Mulyono mengatakan, berkiblat pada SDMP, pemerintah membangun rumah pompa dan sejumlah boezem penampungan air buangan dari saluran pipa primer sebelum akhirnya air itu dibuang ke laut. "Kota Surabaya baru memiliki 33 rumah pompa dari total kebutuhan ideal 66 rumah pompa untuk kota seluas dan sepadat ini," kata Sri Mulyono.

Berbagai rumah pompa dan pompa baru ditempatkan, antara lain penempatan tujuh pompa yang terdiri dari lima pompa berskala penyedot 1,5 meter kubik (m3) per detik dan dua pompa pegas berskala 0,5 m3 per detik di boezem Morokrembangan.

Dua pompa baru berskala penyedot 1,5 m3 per detik diletakkan di boezem Wonorejo. Satu pompa lumpur berskala 0,25 m3 per detik ditempatkan di rumah pompa Kali Rungkut dan tiga pompa baru berskala penyedot 2,5 m3 per detik ditempatkan di rumah pompa Kebun Agung.

Langkah pemerintah tidak hanya itu, normalisasi di sejumlah saluran primer, seperti Kalidami dan Kalibokor, juga gencar dilakukan. Saluran tersebut dilengkapi saringan sampah (mechanical screen) bernilai miliaran rupiah.

Mengapa masih banjir?

Wali Kota Bambang DH mengatakan, kesalahan teknis dan perilaku penduduk kota menjadi kunci mengapa banjir tetap ada. Ia mencontohkan, selain cuaca yang tidak mendukung, kepungan banjir sekitar dua minggu lalu tidak lain disebabkan kesalahan teknis penjaga rumah pompa. Bayangkan, genangan air di Ketintang dan Injoko- Jalan Ahmad Yani menumpuk lantaran petugas pompa di Kali Rungkut telanjur pulang ke rumah.

Hal teknis lainnya terjegal pada kemampuan daya listrik rumah pompa. Menurut Bambang, di Rumah Pompa Wonorejo II hanya dua dari tiga pompa yang bisa difungsikan karena hambatan daya listrik. "Saya tidak mau hal seperti ini terulang kembali. Saya memastikan daya listrik langsung dibenahi dengan memperbesar daya. Namun, soal operator yang pulang segera diatasi dengan back-up tenaga operator lain," tutur Bambang.

Sementara dari segi aktivitas warga kota, Bambang mengaku tidak habis pikir dengan perilaku warga kota yang masih terbiasa membuang sampah ke sungai atau saluran got rumah. Lebih dari itu, aktivitas warga kota menempati sempadan sungai mengakibatkan penyempitan sungai. Sebelum menyalahkan penduduk bantaran kali, lihat bangunan perumahan di daerah resapan air.

"Daerah utara dan barat Surabaya seharusnya menjadi wilayah konservasi dan resapan air, tetapi kini justru dipenuhi perumahan elite dan pabrik besar," kata Anggrahini.

Perketat perizinan

Untuk itu, penting bagi Pemkot Surabaya untuk lebih tegas memperketat pemberian izin membangun agar tidak ada lagi pengalihan fungsi lahan yang berdampak memperparah kualitas banjir di kota kedua terbesar di Indonesia ini. Diperlukan tindakan tegas berupa pemberian sanksi bagi oknum atau pegawai pemerintah yang mempermudah pemberian izin membangun di kawasan konservasi.

Tidak hanya itu, sanksi juga perlu diterapkan kepada para pelaku usaha yang membangun gedung atau rumah tanpa saluran drainase yang baik. Meski tidak tergolong efektif, pemberian sanksi yang dijalankan dengan benar seharusnya bisa menimbulkan efek jera dan menjadi pagar pembatas utama seseorang dalam melanggar ketentuan hukum.

Terlepas dari itu semua, pemerintah perlu melakukan pendekatan melalui jalur pendidikan untuk mengubah pola pikir warga kota agar lebih menjaga lingkungan. Buat data penafsiran kerugian material yang timbul akibat terjangan banjir. Setidaknya hal itu menyadarkan masyarakat akan besarnya kerugian materi atas perilaku buruk mereka.

Terdengar pesimistis, Bambang DH mengakui ini bukan hal mudah. "Sulit, tetapi ini butuh jangka waktu lama. Ya padha wong omahku kene banjir (Sama saja dengan penduduk lain, rumah saya juga terkena banjir)," kata Bambang. Mulailah sejak sekarang, mau menunggu sampai kapan? Sindy Fathan Mubina



Post Date : 02 Februari 2009