Hidup Berdampingan dengan Banjir

Sumber:Kompas - 01 Mei 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Gerimis, mendung, dan udara dingin, Kamis (27/4) sore, di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Beberapa warga Desa Gumuhan Asa, Kecamatan Barong Tongkok, lalu lalang menggunakan perahu. Jalan desa terendam air setinggi 3-3,5 meter. Beberapa rumah nyaris tenggelam.

Banjir sudah melanda desa tersebut sejak hari Senin pekan itu akibat luapan Sungai Mahakam dan hujan deras. Banjir menerjang 17 dari 21 kecamatan di Kutai Barat. Akibatnya, warga tinggal di rakit bertenda atau mengungsi ke bukit terdekat.

Ketinggian air di beberapa tempat berbeda. Di hulu ketinggian air 1-3 meter dan di hilir 0,5-1,5 meter. Air bisa lebih tinggi jika hujan tidak kunjung berhenti. Sulit diperkirakan kapan banjir akan surut. "Jika air hulu surut, giliran kami di hilir yang kebanjiran," kata Camat Muara Pahu Sugiono Amir, Sabtu lalu.

Ketinggian air di lokasi itu sudah 1,5 meter. Dalam beberapa hari mendatang ketinggian air kemungkinan besar bertambah. Ketinggian air pernah mencapai 4 meter saat banjir April 2005.

Setiap tahun

Banjir di Kutai Barat terjadi hampir setiap tahun. Penyebabnya sama, hujan deras sehingga Sungai Mahakam meluap. Seingat Wakil Bupati Kutai Barat Didik Effendi, banjir pertama kali terjadi tahun 1973. Waktu itu Kutai Barat masih bagian dari Kabupaten Kutai. Sejak itu banjir terjadi setiap tahun.

Didik Effendi tidak memungkiri penyebab banjir lainnya berkaitan dengan penebangan liar di hulu sejak dahulu. Hutan di hulu mungkin sudah "digarap" sehingga berkurang kemampuan kawasan itu untuk menahan air saat hujan.

Beberapa waktu lalu tim gabungan pemberantasan penebangan liar menemukan sekitar 10.000 batang kayu meranti di Kutai Barat. Kayu itu diduga hasil penebangan liar di kawasan hulu.

Dampak banjir, entah apa pun penyebabnya, tak bisa dianggap enteng. Saat banjir warga tinggal di rakit bertenda atau mengungsi ke bukit. Rumah warga, sekolah, rumah sakit, kantor, dan pasar tidak luput diterjang banjir.

Menjadi pemandangan tahunan saat sekolah diliburkan, para murid pun akhirnya harus belajar di rumah. Petani harus gigit jari karena ladangnya terendam dan gagal panen. Selain itu, ancaman penyakit gatal-gatal pada kulit, diare, batuk-batuk, dan flu.

Namun, warga terkesan biasa- biasa saja menghadapi banjir yang terjadi setiap tahun. Meski tinggal di rakit bertenda, warga tetap menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa. Rakit itu seperti rumah kedua mereka. Memasak, tidur, bahkan menonton TV berlangsung di situ.

Banjir dimanfaatkan anak- anak untuk berenang. Berenang di sekitar rumah yang kebanjiran relatif lebih aman dibandingkan di Sungai Mahakam. Arus air tidak deras dan anak-anak mudah diawasi saat berenang di sekitar tempat tinggal mereka. Tidak ada jaminan keselamatan berenang di Sungai Mahakam.

"Tidak ada antisipasi khusus dari kami, warga hilir," kata Masud, warga Desa Loa Deras, Kecamatan Penyinggahan. Kalau rumah kebanjiran, warga menaruh balok-balok kayu di dalam rumah untuk penyangga papan. Papan ditaruh di balok sebagai alas tidur dan beraktivitas.

Hal itu pula yang akan dilakukan warga di desa-desa lain saat banjir tiba, tetapi tidak ada rakit bertenda atau bukit di dekat rumah sebagai tempat mengungsi sementara. Kerusakan harta benda atau matinya ternak mungkin juga sudah biasa mereka alami.

Mungkin bisa dipahami kenapa mereka terbiasa dengan banjir. Sebagian besar aktivitas masyarakat Kutai Barat bertumpu pada Sungai Mahakam. Sungai itu jalan alami untuk kapal-kapal pengangkut bahan makanan, bahan bangunan, atau penumpang, dan memberi penghidupan bagi para nelayan.

Besarnya keterikatan masyarakat Kutai Barat terhadap Sungai Mahakam itu tampaknya menjadikan mereka kebal dengan apa pun yang terjadi pada sungai tersebut. (Ambrosius Harto)

Post Date : 01 Mei 2006