|
Jakarta, Kompas - DPRD DKI Jakarta meminta penyedotan dan pembuangan air tanah atau dewatering saat pembangunan fondasi gedung tinggi dihentikan. Penghentian dewatering harus dilakukan dengan perda yang tegas. Air yang keluar saat penggalian tanah harus disuntikkan kembali ke dalam tanah, dan bukan dibuang. ”Dinas pengawasan dan penataan bangunan harus berani menghentikan proses pembangunan yang dilakukan dengan cara dewatering. Jika air tanah terus dikuras dan dibuang, permukaan tanah di Jakarta akan lebih cepat turun,” kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto, usai meninjau lokasi pembangunan gedung Departemen Agama di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (17/4). Dalam peninjauan itu ditemukan proses dewatering yang dilakukan pelaksana proyek pembangunan gedung. Air dari dalam tanah dipompa dan dibuang melalui saluran yang ada. Melihat hal itu, Sayogo dan beberapa anggota Komisi D langsung menegur pimpinan proyek, Ikhwandi, yang ada di lokasi. ”Air tanah tidak boleh dibuang seperti ini,” katanya. Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta Peni Susanti juga menegur Ikhwandi. Peni memerintahkan agar melakukan pembuatan sumur injeksi untuk menyuntikkan air atau recharging ke dalam tanah dalam tiga hari. Ikhwandi hanya dapat mengangguk, sambil mengiyakan semua teguran DPRD dan Peni. Sayogo mensinyalir, banyak kontraktor melakukan dewatering saat membangun gedung tinggi. Air yang mengucur saat menggali tanah memang mengganggu pembangunan, tetapi harus dimasukkan ke tanah, bukan dibuang. ”Perlu perda yang tegas untuk mencegah pengeringan air tanah. Pengawasan di setiap aktivitas pembangunan juga harus ditingkatkan,” kata Sayogo. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengaku prihatin terhadap pembangunan yang dilakukan dengan cara penyedotan dan pembuangan air tanah. ”Air tanah yang sudah disedot seharusnya dipompakan kembali ke dalam tanah untuk menetralisasi. Aturan ini memang belum ada, tetapi Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan DKI saat ini sedang berdiskusi dengan ITB membahas hal ini,” katanya. Fauzi mengatakan, aturan tentang dewatering dan penggunaan air tanah sedang direvisi. Aturan yang baru diharapkan dapat lebih tegas menindak para kontraktor yang bandel. Fungsi pengawasan juga akan diperketat. Dukungan LBH Jakarta Pengacara Publik LBH Jakarta, Hermawanto, mendukung langkah Pemprov DKI untuk menyusun aturan yang tegas tentang pemanfaatan air tanah dan menindak pelanggarnya. Air tanah adalah milik publik yang harus dilindungi. Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute, sebuah LSM pemerhati masalah air, mengatakan, selain menyusun perda, pemprov juga perlu petugas yang terampil dan alat deteksi penggunaan air tanah yang baik. Tanpa petugas dan alat deteksi yang bagus, keinginan DKI sulit terwujud. Nila yakin, pelanggaran penggunaan air tanah di Jakarta sangat besar, mengingat di kota-kota kecil pelanggaran juga sangat besar. ”Di Sleman, misalnya, ada 337 hotel, tetapi yang terdaftar sebagai wajib pajak air tanah hanya delapan persen,” kata Nila. Arsitek dan pengamat kota tua Jakarta, Budi Lim, mengatakan, sudah waktunya rumah-rumah di Jakarta membuat sumur resapan minimal berukuran delapan meter kubik. ”Ukuran ini yang paling baik. Sudah saya buktikan, septik tank saya buat sejak tahun 1980-an, tidak pernah penuh. Dengan batu koral dan ijuk, limbah terurai dan airnya meresap ke tanah,” katanya. Untuk mengurangi terbuangnya air hujan, Budi juga mengatakan agar bak kontrol utama tidak dicor semen, melainkan hanya diberi koral. Dengan demikian air hujan akan masuk ke tanah. ”Sudah waktunya kita mengembalikan air yang kita gunakan ke dalam tanah lagi. Tetapi sebelumnya harus disaring dulu agar air yang masuk tidak terlalu kotor,” ucap Budi. (ECA/KSP/ARN) Post Date : 18 April 2008 |