|
Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar dua miliar manusia kini menghadapi risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari lima juta anak-anak setiap tahun. Sumber-sumber air semakin dicemari oleh limbah industri yang tidak diolah atau tercemar karena penggunaannya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbarui. Kalau tidak ada perubahan radikal dalam cara memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus, yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan negara. MASALAH pencemaran lingkungan akibat perindustrian memang kerap kali dibahas, tetapi tetap saja banyak pihak tidak menyadari implikasi penting yang dapat terjadi. Apalagi sebagian besar penduduk bumi berada di negara-negara berkembang. Kalau orang-orang ini harus mendapatkan sumber air yang layak, dan kalau mereka menginginkan ekonomi mereka berkembang dan berindustrialisasi, masalah-masalah yang kini ada harus disembuhkan. Di Indonesia sendiri, krisis air sudah berada di depan mata. Sekilas, kita merasakan bahwa tidak akan terjadi kekurangan air di Indonesia, setidaknya dalam beberapa tahun mendatang. Akan tetapi secara geografis menunjukkan hal yang sebaliknya. Jawa, adalah pulau yang mengalami krisis pemanfaatan air. Kepulauan Nusa Tenggara adalah daerah terkering di Indonesia, dan senantiasa rawan kekeringan. Jika tidak ada perubahan pengelolaan sumber daya air, kondisi yang akan datang akan semakin buruk, baik di pedesaan maupun di perkotaan di Indonesia. Di Ibukota Indonesia, Kota Jakarta sendiri, masalah pengadaan air bersih yang berkelanjutan masih tetap menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Pengelolaan air bersih, yang diserahkan kepada dua perusahaan swasta asing, belum memberikan solusi yang berarti. Tak sedikit warga Jakarta, yang justru hidup di bawah garis kemiskinan, harus membeli air dengan harga yang lebih tinggi. Sementara, pelanggan yang mampu membayar pun, belum terpuaskan oleh layanan dua perusahaan asing mitra PAM Jaya, yakni PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja) asal Perancis dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) asal Inggris. Hingga kini, sekitar 50 persen dari total air bersih yang diproduksi perusahaan penyedia layanan air bersih di DKI Jakarta terbuang percuma karena tingginya tingkat kebocoran. Akibatnya, masih banyak pelanggan yang tidak mendapat suplai air bersih secara kontinu. Menurut Ketua Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, Achmad Lanti kepada Pembaruan, kebocoran air bersih disebabkan dua hal, yakni teknis dan nonteknis. Untuk kategori nonteknis, adanya pencurian air (illegal consumption). Sedangkan faktor teknisnya, yakni kerusakan jaringan pipa dan kebocoran jaringan instalasi dalam rumah. Dia memperkirakan, dari 50 persen kebocoran itu, sekitar 25 persen akibat pencurian air, sedangkan sisanya karena rusaknya jaringan pipa, juga kebocoran jaringan instalasi dalam rumah warga. "Ini harus menjadi prioritas bagi Pemprov DKI Jakarta untuk mengurangi kebocoran. Kalau tidak, kita akan mengalami krisis air bersih," kata Achmad. Dia menambahkan, kebocoran itu paling tidak setiap tahunnya bisa ditekan sebanyak tiga persen, sehingga pada 2010 kebocoran berkurang menjadi 35 persen. "Itu sudah cukup lumayan. Karena harus diakui sangat sulit menekan kebocoran-kebocoran tersebut. Apalagi memberantas mafia air," kata dia. Hal yang sama dikemu-kakan oleh pengamat air minum Win Gaza Simbolon. Dia memperkirakan, tingkat kebocoran air PAM Jaya makin tinggi dibanding pengelolaannya masih dilakukan langsung oleh PAM Jaya, sebelum tahun 1997 lalu. "Kini, kebocoran air rata-rata menjadi 53 persen, padahal hingga akhir tahun 1997 baru 42 persen," katanya. (Pembaruan, 19/10). Tingkat kebocoran itu makin tinggi, katanya, karena masih ada investor yang belum melakukan pekerjaannya dengan baik. Betapa tidak, selama dua tahun terakhir, TPJ tidak melakukan investasi sama sekali, baik perbaikan jaringan yang rusak maupun pembangunan jaringan baru. Padahal, kedua mitra asing PAM Jaya, harus mampu mengejar target agar selama 25 tahun kerja sama, yakni 100 persen warga DKI menikmati air bersih dari PAM Jaya. Salah seorang petinggi TPJ, Ramses Manurung yang akan dikonfirmasi tentang keluhan pengamat air itu, tak mau berkomentar. Win Gaza yang juga penasihat Asosiasi Kontraktor Air Indonesia (Akaindo) itu mengakui, Palyja memang telah berinvestasi dengan baik di wilayah yang dipercayakan kepada investor Prancis itu. Manajemen Palyja juga dinilai cukup terbuka dan kooperatif. "Tapi, jika dilihat dari pencapaian target, kedua investor masih sangat lambat. Jika ditotal, realisasi kerja mereka baru dua persen selama sekitar delapan tahun kerja sama. Berarti, mereka harus bekerja keras selama 17 tahun lagi," katanya. Rugi Data yang diperoleh dari dua perusahaan penyedia layanan air bersih, PT Palyja dan TPJ menyebutkan, hingga Agustus 2005 ini, air yang terbuang akibat kebocoran mencapai 180.352.067 m3. Angka ini lebih tinggi daripada angka kebocoran rata-rata tahun 2000-2004, yakni 45 persen. "Kalau ini dibiarkan terus, kebocoran ini akan semakin bertambah, dan jelas kita akan kesulitan air bersih," kata Achmad Lanti. Kebocoran air bersih di DKI Jakarta katanya, merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik dan Asia Timur. Kris Tetuko, Direktur Teknik PAM Jaya mengatakan, sekitar Rp 10 miliar terbuang setiap bulan akibat kerugian komersial maupun kehilangan fisik atau kebocoran pada pipa PAM Jaya. Kerugian akibat kebocoran dan kehilangan komersial, misalnya kerusakan meteran pembaca debit air 20-30 persen dari total kehilangan. Total kehilangan itu mencapai 2 juta m3/bulan, senilai rata-rata Rp 5.000/m3. PT Palyja sendiri berupaya mengatasi kebocoran air di wilayah layanan, antara lain dengan mengganti pipa-pipa tua serta membentuk tim sweeping sambungan ilegal. Robert Sitorus, Kepala Unit Pengaduan dan Pelayanan Palyja Jakarta Barat mengatakan, dua bulan terakhir ini, di Jakarta Barat saja lebih dari 90 pelanggan yang memiliki sambungan air ilegal yang konsumsi airnya tidak tercatat di meteran. Lain lagi kehilangan air dalam bentuk titik yang diakibatkan kebocoran sambungan pipa. Bagaimanapun, upaya penyelamatan air pipa harus terus dilakukan agar kebutuhan air bersih warga Jakarta bisa tetap terpenuhi. Sebab, penggunaan air tanah tak bisa lagi diharapkan. Kondisi Jakarta akhir-akhir malah makin memprihatinkan karena maraknya penggunaan air tanah secara ilegal. Selain intrusi air laut yang merusak tanah, permukaan tanah di Jakarta juga makin menurun dari tahun ke tahun akibat penggunaan air tanah yang berlebihan. Jika kondisi itu dibiarkan, upaya pemulihan sangat sulit dilakukan. Sebab, menurut beberapa studi tentang air tanah, dibutuhkan waktu berabad-abad untuk mengembalikan kondisi permukaan tanah yang menurun akibat pengurasan air tanah yang berlebihan. Contohnya, Cekungan Bandung membutuhkan waktu dua abad untuk pulih kepada kondisi semula karena pemakaian air tanah di kawasan itu sangat tidak terkendali. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta perlu lebih peduli pada pembatasan penggunaan air tanah. Dalam UU nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air ditekankan, penggunaan air untuk kehidupan manusia mengutamakan air permukaan dan seminimal mungkin menggunakan air tanah. Apa pun yang terjadi saat ini, air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Yang memprihatinkan, banyak oknum yang dengan sengaja "mempermainkan" sumber kehidupan tersebut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika saat ini banyak warga Jakarta yang mengalami sakit, bahkan kematian, akibat kekurangan air bersih. Air adalah faktor utama dalam mendukung kehidupan, harus diatur dan digunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat berguna sesuai fungsinya dan terpelihara. Pembaruan/Steven Setiabudi Musa Post Date : 26 Oktober 2005 |