|
Kulit buah jangkang kering bagi masyarakat di Tlatar, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, hanya akan berakhir di tempat sampah, bahkan di tungku perapian. Namun, dengan sedikit sentuhan ide dari Hendrati, limbah ini ”disulap” menjadi produk kerajinan yang unik dan bernilai ekonomi. Di Boyolali, pohon jangkang banyak ditemukan di sekitar Umbul Tlatar. Setelah matang, kulitnya pecah merekah dan berwarna hitam dengan buah berbentuk kapsul berderet di sisi-sisi kulitnya. Buahnya keras dan terasa pahit. Oleh karena itu, oleh penduduk setempat, buah jangkang dibuang begitu saja, sedangkan kulitnya dijadikan bahan bakar. Hendrati tertarik pada kulit buah ini karena melihat bentuknya yang unik, mirip badan kambing atau kepala kodok. Awalnya, dia membawa pulang beberapa kulit jangkang untuk dijadikan aksesori tambahan bunga dengan dipadukan bersama kulit jagung. Namun, hasilnya tidak terlalu bagus. Ia lalu mencoba menggabungkan dua kulit buah jangkang. Satu dengan bagian yang merekah berada di bawah sebagai badan, sedangkan satu lagi sebagai kepala dengan posisi menyamping. Empat buah jangkang yang berbentuk oval diletakkan pada empat bagian badan, menjadi kaki yang direkatkan dengan alas dari susunan sendok es krim. Sementara bagian kepala diberinya tambahan ”hidung” dari biji buah terasi dan sepasang mata boneka. Di tepian alasnya, dia tambahkan hiasan dari biji- bijian. Hasilnya adalah pajangan sekaligus tempat pensil berbentuk hewan yang disebutnya ”Timi”. ”Hampir setiap hari kulit jangkang ini berserakan tidak jauh dari sumber air Tlatar. Tidak ada yang meliriknya sama sekali karena tidak bisa dikonsumsi dan nilai ekonominya nyaris tidak ada. Sayang sekali kalau hanya dibakar,” tutur Hendrati di ruang produksinya di Sunggingan, Boyolali, awal Desember lalu. Kulit buah jangkang yang sudah menjadi ”Timi” ternyata laris di pasaran dengan harga Rp 20.000 per buah. Dengan sedikit ”sulapan”, limbah yang semula bernilai ekonomi sangat rendah ini bisa berubah. Hendrati biasa membeli satu karung kulit buah jangkang Rp 5.000. Dari bahan baku satu karung itu, dia bisa menghasilkan sekitar 100 ”Timi”. Dalam satu hari, Hendrati yang dibantu lima perajin dapat menghasilkan sekitar 50 ”Timi”. Kerajinan tangan ini kemudian dijualnya ke Jakarta hingga ke luar Jawa, seperti Bali. Tak puas sampai di sini, dia juga tengah menjajaki kerja sama dengan broker yang menawarkan untuk mengekspor produk kerajinan tersebut. Para pembeli kerajinan Hendrati umumnya mengetahui produk itu setelah melihat di pameran. Hendrati termasuk rajin mengikuti pameran yang diadakan di berbagai kota di Jateng. Koran bekas Sebelum bergelut dengan limbah jangkang, Hendrati membuat usaha kerajinan dari daur ulang limbah koran bekas sekitar satu setengah tahun lalu. Ia bertutur, tumpukan kertas koran jika dibiarkan hanya akan menjadi sarang tikus. Kalaupun dijual, hanya laku sekitar Rp 1.800 per kilogram. Tanpa sengaja, dia memelintir potongan kertas koran dan ternyata bisa terjalin dengan kencang. ”Dari sini muncul ide untuk menjadikan kertas koran sebagai kerajinan tempat payung yang dijalin. Saya yakin hampir semua jenis barang yang dianggap tidak berguna itu sebenarnya bisa dibuat menjadi sesuatu yang bagus, kalau ditambah ’sedikit’ kreativitas,” ucapnya. Kebetulan pula, pada saat itu usaha interior ruangan yang sudah 10 tahun ditekuninya sedang vakum karena penjahitnya berkurang. Hendrati lalu mengajak lima tetangganya mencoba membuat kerajinan berbahan baku koran bekas yang lalu mendapat sambutan pasar. Tak lama kemudian, dia menambah produk kerajinannya dengan limbah pertanian, seperti biji-bijian, kulit jagung, dan tangkai padi. Biji terasi (biji dari buah yang baunya seperti bau terasi), mindi, dan koro diberinya warna menarik, lalu disusun di atas potongan batok kelapa berdiameter sekitar 5 cm. Hasil jadinya adalah sebuah bros cantik. Sambil berbincang, Hendrati mempraktikkan pembuatan bros, yang ternyata butuh tidak sampai lima menit. Sementara kulit jagung dia jadikan bunga buatan, tangkai padi kering dianyamnya dan dijadikan kelopak bunga. Salah satu kreativitas andalan Hendrati ialah hiasan dinding dari anyaman lidi. Anyaman ini dihias dengan bunga dari pelepah pisang yang pada bagian tengahnya diberi tambahan marigold kering. Aksesori ini ditambahnya dengan beberapa tangkai sorgum kering, juga tiga bunga kecil yang menggunakan biji koro sebagai kelopak bunga serta marigold. Lapangan pekerjaan Hendrati sejak tahun 1988 menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Boyolali. Suaminya, Eko Agus Sunanto, juga seorang PNS. Dengan gaji tetap pasangan suami-istri ini, kebutuhan keluarga dapatlah terpenuhi. Namun, dengan tanggung jawab enam anak mereka, Hendrati kemudian menjadi ragu, akankah mereka bisa membiayai semua anaknya untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi? Oleh karena itu, sejak 10 tahun lalu dia memulai usaha pembuatan seprai dan kebutuhan interior rumah lainnya. Dari usaha ini, dia bisa membantu suaminya membiayai kuliah tiga anak mereka di Akademi Kesejahteraan Sosial di Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Indonesia. Ketertarikan pada limbah pertanian sebenarnya sudah dia mulai sejak masih kanak-kanak karena Hendrati kecil sering diajak sang ayah yang bertugas di Kawedanan Wonosegoro (Boyolali) berkeliling melihat lahan pertanian. ”Apalagi suami saya juga bekerja di dinas pertanian, saya beberapa kali menemani dia kalau sedang ada peninjauan lapangan. Sejak tiga tahun lalu saya mulai tertarik lagi dan baru serius menjadikannya sebagai sebuah usaha,” tuturnya. Meskipun usaha produk interiornya masih berjalan, Hendrati mengaku lebih fokus pada produk kerajinan dengan bahan baku limbah. Selain modalnya relatif lebih kecil, produk kerajinan juga bisa membuka lapangan pekerjaan, mulai dari perajin yang bekerja di rumah produksinya maupun orang- orang yang mengumpulkan bahan bakunya. Agar usaha kerajinan ini bertahan, dia berpegang pada prinsip, jangan pernah berhenti berkreasi dan mau mendengarkan orang lain. Hendrati meminta para perajin tak malu-malu membawa limbah pertanian yang ada di sekitar rumah mereka kepadanya. Selanjutnya baru dia pikirkan akan dijadikan apa limbah tersebut. Meskipun sibuk mengurusi kerajinan limbah, Hendrati mengaku tidak membolos dari tugasnya sebagai PNS. Setiap pagi ia sudah membuat daftar pekerjaan yang harus dilakukan para perajin. Baru sepulang dari kantor dia akan mengontrol hasil kerajinan yang dibuat para perajin. Antony Lee Post Date : 15 Desember 2008 |