Hasil Penelitian, Air Di Bangka Tidak Layak Minum

Sumber:Suara Pembaruan - 14 April 2004
Kategori:Air Minum
Penelitian yang dilakukan BAPEDALDA Kabupaten Bangka dan Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang, Sumatera Selatan, tahun 2003, tentang sumberdaya air permukaan di pulau Bangka seperti sungai, mata air dan kolong, diperkirakan pulau ini memiliki potensi 45.109 juta liter air. Ini yang terdapat di 14 daerah aliran sungai (DAS) sungai-sungai tersebut. Namun, dari jumlah itu, volume yang menjadi sumber air PDAM diperkirakan sebanyak 16.650 juta liter. Sementara dari mata air, sumber PDAM sebanyak 33,45 juta liter.

Sedangkan kualitas sumber daya air di Pulau Bangka sebagian besar kurang layak untuk air minum. Standar baku DAS Bangka seperti DAS Kepoh, Antan, Baturusa, Mancung, Mendo Barat, Layang, Bantel, Lepar, Kampak yang dinyatakan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 82/2001 tergolong kelas III dan IV, yakni untuk kebutuhan pertanian, perikanan, peternakan dan industri.

Sementara kualitas air kolong atau waduk untuk PDAM yang ada di Pemali, Merawang, Belinyu, Koba dan Jebus tergolong kelas II dan di bawah standar baku untuk kualitas air minum (kelas I). Sumber daya air yang tergolong baik dan kualitas kelas I yang ada di Bangka berasal dari sumber mata air Pemali, Gunung Mangkol, Celuak, Bukit Pading, Nyelanding dan Dendang.

Hal itu dikatakan Kabid Amdal Bapedalda Kabupaten Bangka Induk, Ir Freddy Asmanto Hariratri MSi kepada Pembaruan belum lama ini, dan hasil Penelitian BAPEDALDA Kabupaten Bangka dan PPLH IPB Bogor tahun 2002, ancaman terhadap keberadaan sumber daya air di Bangka disebabkan berubahnya penutupan lahan pada daerah tangkapan hujan yang menjadi wilayah perkebunan, ladang, semak belukar dan tambang.

Kegiatan penambangan timah di pulau Bangka merupakan sektor perekonomian utama masyarakat, bila tidak dikelola sesuai dengan ketentuan akan berdampak negatif terhadap peningkatan kekeruhan, limbah padatan dan bahan organik dan kandungan padatan tersuspensi (TSS) yang sangat tinggi antara 118-1177 mg/1 dan kekeruhan mencapai 750,6 NTU di Sungai Mancung.

Sektor pertambakan juga ikut menyumbang pencemaran di sungai, sebagai contoh Sungai Baturusa kekeruhan meningkat dari 3,45 NTU menjadi 110,9 NTU, TSS dari 84 mg/1 menjadi 342 mg/1 dan COD dari 19,02 menjadi 28,20 mg/1. Juga kegiatan domestik yang dilakukan masyarakat turut memberikan pengaruh pencemaran di sungai dan meningkatkan kandungan bakteri koli (E.colie) dalam air sebagai contoh di Sungai Kurau.

Bukan itu saja kata Freddy, sektor perkebunan juga ikut ambil bagian menyumbang gangguan sumber daya air di pulau Bangka, terutama kelapa sawit dan kualitas air sungai menurun.

Ini terlihat dengan tingginya bahan organik BOD dan COD pada sungai-sungai yang terdapat pabrik kelapa sawit misalnya, DAS Mancung, Kampak dan Das Baturusa.

Sedangkan pencemaran kolong/waduk sebagian besar diakibatkan oleh diaktifkan kembali penambangan terhadap waduk yang sudah ditinggalkan.

Juga pencemaran yang terjadi dapat terlihat dengan meningkatnya kekeruhan air dan TSS yang sangat tinggi. Ini kemungkinan akan terjadi penurunan pH air.

Pencemaran ini dapat dibuktikan pada beberapa waduk yang dimanfaatkan kembali untuk penambangan, pH air berkisar 4-5 dan kekeruhan antara 50,3 hingga 397,4 NTU.

Sedangkan faktor pencemaran lainnya diakibatkan aktivitas perendaman lada yang dapat meningkatkan kandungan bahan organik dalam kolong/waduk.

Iklim

Jika diamati secara cermat, sebenarnya neraca sumber daya air di pulau Bangka banyak didukung oleh sumber daya air permukaan yang dipengaruhi kondisi iklim yang mendukung, dibandingkan ketersediaan sumber daya air tanah yang tergolong kecil.

Menurut Freddy, dari hasil penelitian tersebut pencemaran sumber daya air justru lebih banyak pada sumber daya permukaan, terutama sungai yang diakibatkan kegiatan pertambangan dan perkebunan sehingga merupakan ancaman yang perlu diantisipasi.

Parameter pencemaran terhadap kualitas air permukaan sungai dan waduk adalah kekeruhan, TSS dan bahan organik.

Meskipun marak penambangan rakyat, dari hasil penelitian BAPEDALDA Kabupaten Bangka dengan pihak perguruan tinggi IPB Bogor dan UNSRI Palembang, tidak ada sama sekali indikasi pencemaran yang ditimbulkan logam berat seperti CU,Zn,Pb, Hg, sehingga dapat dipastikan tidak akan menimbulkan bioakumulasi logam berat pada masyarakat Bangka.

Kolong/waduk sebagai sumber daya air buatan sisa penambangan timah merupakan wadah yang paling ideal untuk penampungan curah hujan yang tinggi dan dimanfaatkan sebagai sumber daya air yang sangat vital pada musim kemarau. Hal semacam ini memerlukan adanya konservasi kawasan lindung di sekitar waduk yang dikuatkan dengan SK Bupati atau Peraturan Daerah (PERDA), terutama yang menjadi sumber air baku PDAM.

Para ahli lingkungan mengkaji ketersediaan sumber daya air yang terkandung dari permukaan bumi di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh dua faktor tolak ukur, yakni faktor hidrogeologi dan klimatologi.

Faktor hidrogeologi sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air tanah dalam (ground water) dimana keberadaan air ini akan sangat dipengaruhi oleh tipikal geologi wilayah tersebut.

Sedangkan faktor klimatologi merupakan faktor yang erat kaitannya dengan kondisi iklim suatu wilayah yang akan sangat mempengaruhi ketersediaan air permukaan (aquifer). Estimasi ketersediaan air permukaan tersebut dapat diketahui melalui tipikal klasifikasi hujan suatu wilayah.

Apabila melihat pulau Bangka dari kondisi geografisnya yang berada pada posisi 1 derajat 30 Lintang Selatan - 3 derajat 70 Lintang Selatan dari antara 105 derajat 40 Bujur Timur - 107 derajat Bujur Timur, merupakan pulau terbesar berada di antara pulau Sumatra dan Kalimantan yang memiliki luas lebih kurang 1.153,414 hektare berdasarkan data dari BAPPEDA Kabupaten Bangka tahun 1999.

Hasil penelitian ahli asing, Van Bammelen yang dilakukan tahun 1949, pulau Bangka tergolong pulau tua yang telah mengalami plemenisasi (pengikisan). Menurut Van Bemmelen pulau Bangka memiliki kaitan erat dengan Benua Asia dan sebagai pulau terbesar yang ada di paparan Sunda yang dinamakan The Tin Island karena memiliki tipikal batuan Pre Tertier Plutonik Masam dan intrusi granit.

Bemmelen menjelaskan, formasi batuan radiolaria yang ada di pulau Bangka memiliki kesamaan dengan formasi yang ada di Semenanjung Malaya.

Hal yang sama didukung oleh seorang ahli biogeografi Primack tahun 1998 yang mengatakan, keanekaragaman hayati satwa dan tumbuhan pulau Bangka Belitung memiliki kesamaan dengan yang terdapat di Semenanjung Malaya, dan keterpisahan pulau Bangka dengan Benua Asia dikarenakan turunnya permukaan air laut.

Namun hingga saat ini kata Freddy, belum ada hasil penelitian yang dapat merincikan kubikasi jumlah air tanah di pulau Bangka dengan struktur batuan massif (padu) dan intrusi granit tersebut dapat diduga kuantitas air tanah di Bangka tergolong kecil.

Data ini dikuatkan hasil penelitian Soenarso Simoen dan Sudarmadji pada tahun 1998 dari Fakultas Geografi UGM tentang keberadaan air tanah di wilayah sekitar Air Gegas (Bangka Selatan) dengan menggunakan metode geolistrik menunjukkan, air tanah di wilayah itu potensinya sangat terbatas.

Kuantitas Sedang

Dikatakan, berkenaan keberadaan batuan plutonik masam yang ada di bawah lapisan permukaan pulau Bangka, berdampak terhadap kualitas air tanah yang ada. Diperkirakan derajat keasaman air (pH air) berkisar 5,5 - 6. Sementara hasil dari penelitian Tim MREP (Marine Resources Evaluatin Project) tahun 1998 pada bekas kolong/waduk penambangan timah di Kecamatan Tempilang (Bangka Barat) yang baru 6 bulan berhenti beroperasi, pH air hanya berkisar antara 3 - 3,5. Sedangkan penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian Tanah IPB Bogor terhadap tanah pulau Bangka secara keseluruhan pH tanah sekitar 5,0.

Freddy mengatakan, berdasarkan peta hidrogeologi pulau Bangka diperkirakan potensi dan prospek air tanah dalam kuantitas sedang, sebagian besar ada di wilayah pesisir barat pulau Bangka, sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Mancung, bagian utara DAS Sungai Selan, DAS Sukal (Air Belo - Mentok), DAS Mendo - Kotawaringin dan muara DAS Bangka Kota, sedangkan di pesisir Timur berada di bagian selatan DAS Baturusa.

Sedangkan iklim pulau Bangka tergolong klasifikasi Schimdt-Ferguson yaitu wilayah bertipe iklim A untuk klasifikasi Oldeman termasuk dalam zone agroklimat B1. Dengan dasar klasifikasi kedua iklim ini dapat diterjemahkan bahwa tipikal iklim pulau Bangka merupakan wilayah kondisi iklimnya sangat basah pada bulan basah atau curah hujan akan turun antara 7-9 bulan berturut-turut dan bulan kering kurang dari 1,5 bulan. Perbedaan antara bulan kering dan bulan basah tidak tampak jelas karena pada bulan kering masih ada curah hujan, demikian data dari BAPPEDA Kabupaten Bangka tahun 1999.

Sementara itu data curah hujan dari Badan Metereologi dan Giofisika (BMG) stasiun Bandara Depati Amir Pangkalan Baru tahun 1961-2001 berdasarkan kurun waktu 40 tahun menunjukkan, kondisi klimatologis pulau Bangka akan mengalami musim hujan pada bulan-bulan Nopember s/d April dan musim kemarau pada bulan Juni hingga September dengan kisaran curah hujan berkisar antara 185,91 mm hingga 235,19 mm/bulan.

Jika berpijak pada data curah hujan di pulau Bangka, ini dapat dilakukan pendugaan walaupun jumlah air tanah tergolong kecil.

Akan tetapi karena pasokan air permukaan melalui curah hujan yang berlebihan sepanjang tahun akan berdampak terhadap neraca sumber daya air di pulau ini akan mengalami kelebihan pasokan sepanjang tahun.

Post Date : 14 April 2004