|
PADA bulan Januari lalu, warga Kota Makassar kalang kabut. Ketika hujan deras nyaris tanpa henti, warga ibu kota Sulawesi Selatan ini justru dipusingkan oleh persoalan air bersih. Bagaimana tidak, Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar menyetop pasokan air bersih berhari-hari lantaran tingkat kekeruhan air akibat tercampur lumpur melebihi baku mutu. Setelah menyetop suplai air pada 14 Januari, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar kembali menghentikan pasokan air pada 20 Januari. Kalau penyetopan yang pertama hanya berlangsung sekitar tiga hari, penyetopan yang kedua tak tanggung-tanggung; tujuh hari. Kontan saja 55.000 dari 123.000 pelanggan PDAM yang tersebar di tujuh kecamatan di Kota Makassar resah dan panik. Jangankan tujuh hari, satu hari saja air bersih tidak mengalir, warga sudah mengernyitkan dahi. Tak mengherankan, antrean dan rebutan air menjadi pemandangan yang biasa di berbagai sudut kota. Di permukiman warga, kedatangan mobil tangki PDAM tak pelak langsung menjadi ajang rebutan dan pusat antrean. Di kantor pusat PDAM Makassar di Jalan Ratulangi, antrean warga terlihat setiap hari sejak pagi hingga lepas tengah malam. Memang, membuka keran-keran air di kantor PDAM yang bisa diambil secara gratis dan pembagian air melalui 14 mobil tangki yang berkeliling dari pagi hingga malam adalah salah satu upaya pihak PDAM untuk tetap mendistribusikan air ke pelanggannya. Betapapun juga, upaya itu nyatanya tetap tak menjangkau seluruh pelanggan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka. "Air itu kan sangat vital. Untuk masak, mencuci, mandi, minum, dan banyak lagi. Kalau berhenti untuk waktu yang tidak dapat ditentukan, lalu bagaimana kami bisa melangsungkan aktivitas sehari-hari," kata Marlina (29), warga Perumahan Hartaco di Kecamatan Tamalate. Marlina tentu tidak sendiri berkeluh kesah. Sekitar 350.000 jiwa dari 842.654 warga Makassar lainnya yang menjadi pelanggan PDAM juga merasakan hal sama. Bahkan, Rina (35), warga Perumnas Panakkukang, sampai jatuh sakit lantaran berhari-hari memforsir tenaga untuk mengangkat air dari sumur tetangga. "Saya sakit gara-gara terlalu capek mengurusi air. Habis mau apalagi, belum pernah air tidak mengalir sampai seminggu," katanya mengeluh. Dialirkannya kembali air pada hari kedelapan pascapenyetopan, tidak berarti persoalan selesai. Pasalnya, distribusi ini hanya bersifat sementara. "Tingkat kekeruhan air turun lagi menjadi 4.000 NTU (nephelometric turbidity unit, satuan kekeruhan air-Red). Sepanjang masih berkisar 4.000-6.000 NTU, kami masih bisa mengolah dan mengalirkan air. Tapi kalau kekeruhannya kembali di atas 10.000 NTU, kami terpaksa menyetop produksi lagi," ujar Kepala Humas PDAM Jufri Sakka. Penyetopan produksi Instalasi Pengolahan Air (IPA) Somba Opu jelas membuat PDAM kewalahan melayani pelanggannya. Pasalnya, dari lima IPA yang dioperasikan saat ini, hanya dua, yakni IPA Somba Opu dan IPA Panaikang, yang memproduksi air hingga 1.000 liter per detik. Tiga lainnya, yakni IPA I Ratulangi hanya 50 liter per detik, IPA III Antang 90 liter per detik, dan IPA IV Maccini Sombala 200 liter per detik. Dalam keadaan normal bila semua instalasi beroperasi, produksi air sebanyak 2.340 liter per detik ini didistribusikan untuk 842.654 jiwa penduduk dari 1.145.406 jiwa total penduduk Kota Makassar. DI tengah kemarau yang sudah berlangsung beberapa bulan, musim hujan tentu saja menjadi anugerah bagi sebagian besar warga kota. Ibaratnya, hujan ini seperti oase di padang gersang. Akan tetapi, bagi PDAM Kota Makassar hujan nyatanya adalah bencana. Bagaimana tidak, bersamaan dengan datangnya hujan, tingkat kekeruhan air yang masuk ke IPA Somba Opu meningkat tajam. Selama ini satu-satunya sumber air baku untuk IPA Somba Opu berasal dari Bendungan Bilibili di Kabupaten Gowa, 30 kilometer timur Makassar. Untuk Bilibili sendiri, sumber air terbesarnya adalah Sungai Jeneberang. Persoalannya, pascalongsor yang terjadi di Gunung Bawakaraeng, Maret 2004, hulu Sungai Jeneberang tertutup sedimen longsoran. Tidak tanggung-tanggung, sedimen yang diperkirakan jumlahnya lebih dari 300 juta meter kubik ini menutup seluruh permukaan hulu Sungai Jeneberang selebar 1-3 kilometer dan sepanjang lebih dari 30 kilometer dengan ketebalan sekitar 40-200 meter. Sebenarnya, saat kemarau keberadaan sedimen ini tidak terlampau mengganggu air sungai. Tetapi, di kala hujan, apalagi dengan curah yang tinggi, air hujan menggiring sedimen ini ke Sungai Jeneberang hingga masuk ke Bilibili dan IPA Somba Opu. Dirut PDAM Ridwansyah Musagani mengatakan, musibah ini adalah kejadian luar biasa yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah berdirinya PDAM Makassar sejak 1924 atau sejak dioperasikannya IPA Somba Opu pada 2001. Pantas memang disebut musibah. Pasalnya, selama ini sebelum longsor terjadi, tingkat kekeruhan air Sungai Jeneberang yang masuk ke IPA Somba Opu hanya berkisar 0-50 NTU dan paling tinggi 100 NTU. Tapi hujan yang terjadi sepanjang Desember 2004-Januari 2005 membuat air Sungai Jeneberang berubah menjadi lumpur. Puncaknya pada 22 Januari, tingkat kekeruhannya menjadi 219.000 NTU dan PDAM terpaksa menghentikan produksi. Sebenarnya, hingga 6.000 NTU penyaringan dan pemberian zat-zat kimia untuk penjernih masih bisa menolong dan menghasilkan air yang cukup baik. Namun, dalam beberapa pekan terakhir tingkat kekeruhannya tak pernah di bawah 10.000 NTU. Dengan tingkat kekeruhan 6.000 NTU saja, dari dua liter yang diolah satu liternya adalah lumpur. Hasil ini pun diperoleh setelah melipatgandakan penggunaan poli aluminium clorite (PAC, bahan kimia yang berfungsi menjernihkan air-Red). Dengan kondisi seperti ini, ke-16 filter air di IPA Somba Opu harus dicuci setiap dua hari. Bandingkan dengan sebelumnya yang hanya perlu dicuci beberapa kali dalam setahun. UNTUK mengatasi krisis air yang kian berlarut-larut ini, pemerintah pusat melalui Dirjen Sumber Daya Air membantu memberi tiga pompa terapung yang dipasang di Bendungan Bilibili. Ketiga pompa terapung mulai beroperasi 1 Februari 2005 ini dapat mengolah air permukaan dengan kapasitas 500 liter per detik. Terjawabkah semua persoalan dengan kedatangan tiga pompa terapung ini? Nyatanya tidak. Sebagaimana kata mantan Pimpinan Proyek Bendungan Bilibili Ir Soeprapto Budisantoso MSc, ibarat obat, penggunaan pompa terapung hanya bersifat penghilang rasa sakit, bukan mengobati sumber penyakit. "Pengoperasian pompa terapung memang dapat digunakan sebagai langkah darurat, tetapi sifatnya hanya sementara. Yang harus diatasi secara permanen adalah menghentikan turunnya material sisa longsoran Gunung Bawakaraeng ke Sungai Jeneberang," katanya. Menurut Soeprapto, material longsoran Gunung Bawakaraeng sampai saat ini masih sangat labil. Karena itulah, setiap turun hujan akan langsung jatuh ke Sungai Jeneberang. Untuk menahan material sisa longsoran itu, satu-satunya jalan adalah membangun cekdam di sepanjang lokasi longsoran. Sayangnya, pembangunan cekdam ini memerlukan dana ratusan miliar rupiah dan waktu yang cukup lama. Setidaknya dibutuhkan waktu tujuh tahun. Gelagat positif tampaknya ada di depan mata. Gubernur Sulsel Amin Syam saat meninjau Bilibili, Sabtu 29 Januari, mengatakan, Pemerintah Jepang siap mengucurkan dana Rp 900 miliar untuk memperbaiki kondisi bendungan itu. (Reny Sri Ayu Taslim/ Reinhard Nainggolan) Post Date : 02 Februari 2005 |