KOMPAS.com - Keprihatinan terhadap banyaknya sampah yang mengotori lingkungan mendorong Harris Riadi untuk terus berkreasi. Ia mencoba memperpanjang manfaat barang dengan mengolah limbah menjadi karya batik bernilai ekonomis.
Sebelum menjadi pembatik, Harris adalah pelukis. Ia pernah mengenyam pendidikan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta, dan lulus tahun 1979. Ia melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (yang kemudian melebur menjadi Institut Seni Indonesia), tetapi tak tamat.
Mulai tahun 1982, ia malang melintang menjadi pelukis di Jakarta, Solo, dan Bali selama sekitar 15 tahun. Di tengah kesibukan melukis, ia pernah menjadi desainer batik di salah satu perusahaan batik di Solo. Kegiatan itu dilakoninya selama sekitar enam tahun, mulai tahun 1983. Harris kembali ke kota kelahirannya, Pekalongan, pada 1997. Ia ingin mandiri dan berinovasi.
Dia membuka usaha di rumah orangtuanya di Pekajangan, Kabupaten Pekalongan. Kini, pemilik usaha Bintang Batik ini telah memiliki tempat kerja sendiri di Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto, Kota Pekalongan.
Komitmennya sebagai seniman lukis membuat Harris tak membuka usaha batik yang diproduksi secara massal. Alasannya, batik itu seni lukis, pengerjaannya harus benar-benar lewat pikiran.
Saat berlangsung Piala Dunia 2006, ia memanfaatkan momen itu untuk berkreasi. Harris memproduksi sekitar 100 lembar kain batik bermotif bola dan motif orang menendang bola. Saat itu, pesanan batik motif bola diperoleh dari Bandung, Jakarta, Semarang, bahkan Jerman. Pada hari Valentine tahun 2007, ia juga membuat motif batik kodok sedang bercinta.
Kreasi Harris tak sekadar motif baru. Ia juga membuat batik yang ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alam. Selama ini, bahan pewarna kimia telah mencemari dan membuat keruh air sungai di kotanya.
Maka, dia mewarnai batik kreasinya dengan pewarna alam atau pewarna berbahan hasil alam. Misalnya, kulit bawang merah untuk pewarna merah, bunga sepatu untuk warna violet, kulit biji jelawe untuk warna hitam, kayu mahoni untuk warna coklat, dan daun nangka untuk warna kuning. ”Saya tak ingin menambah beban lingkungan.”
Meski demikian, dalam beberapa karya ia juga menggunakan pewarna bahan kimia. Masih sekitar 40 persen karyanya yang menggunakan pewarna kimia.
Kertas pembungkus
Kecintaan pada lingkungan juga membangkitkan kreasi Harris untuk memanfaatkan limbah sebagai bahan batik. Pada 2006 ia memanfaatkan kotoran sapi dicampur kulit tebu dan rumput sebagai pewarna kain batik.
Meski saat itu mendapat reaksi keras dari masyarakat, ia pantang menyerah. Awal tahun 2007 ia membatik di atas kertas atau kantong bekas pembungkus semen. Kantong semen yang hanya menjadi sampah dan dijual secara kiloan itu dia olah menjadi produk batik yang bernilai ekonomis.
Batik dari kantong semen dimanfaatkan Harris untuk membuat gorden, sarung bantal, tas, dan sandal. Namun, dia tak memanfaatkan kertas batik dari kantong semen untuk pakaian dengan alasan estetika.
Harris bercerita, proses pembuatan batik kantong semen tak beda dengan pembuatan kain batik lainnya. Hanya saja, pewarna yang digunakan dalam membuat kertas batik harus alami. Bila menggunakan pewarna berbahan kimia, kantong semen akan hancur.
Dalam sebulan ia memproduksi sekitar 200 lembar kertas bekas pembungkus semen. Sebagian besar produknya itu dikirim ke Jakarta dengan harga puluhan hingga ratusan ribu rupiah per unit.
Harris menuturkan, ada dua metode pembuatan kertas batik dari kantong semen. Metode pertama, membatik kantong semen yang sudah dibersihkan tanpa diolah lebih dulu. Setelah kertas dibatik, ia baru membuatnya sebagai aksesori rumah tangga.
Metode kedua, dengan memilin potongan kantong semen menjadi tali, kemudian merajutnya menjadi berbagai aksesori. Setelah rajutan terbentuk, baru dia membatik di atasnya. Kertas batik yang dipilin ataupun yang tak dipilin sama kualitasnya. Aksesori rumah tangga dari kertas batik itu juga dapat dicuci.
Tak beralih fungsi
Harris mengatakan, upaya memopulerkan kertas batik dari kantong semen berawal saat dia melihat pemulung yang sedang mengangkut kantong semen. Di matanya, kantong semen itu seakan menjadi sesuatu yang tak berharga.
Kreativitasnya untuk memanfaatkan limbah semakin terusik ketika ia menemukan kertas bekas berbahan timah di salah satu tempat pembuangan sampah di Jakarta. Kertas itu tak hancur dibakar dan limbahnya mengotori lingkungan.
Dia lalu memungut kertas itu dan mengolahnya menjadi batik. Upaya yang dilakukannya sejak Juli 2009 itu membuahkan hasil. Kertas berbahan timah yang diduga berbahaya bagi lingkungan bisa dimanfaatkan dan dijadikan produk permanen. Beberapa produk yang dihasilkan dari limbah kertas timah adalah tas laptop, kotak tisu, dan gesper.
”Kalau bumi tak diselamatkan dari limbah, ini berbahaya,” tutur Harris yang masih berusaha mencari kemungkinan untuk mengolah berbagai limbah lain. Limbah yang mengotori lingkungan banyak jenisnya, dan selama ini relatif hanya berpindah tangan, tidak beralih fungsi.
Oleh karena itu, keberadaan limbah harus dikurangi, dengan memperpanjang waktu pemakaian. Caranya antara lain dengan mengolahnya kembali menjadi produk permanen yang bisa memberikan manfaat bagi manusia.
Harris menyadari, memanfaatkan limbah untuk membatik tak mudah dilakukan. Upaya ini membutuhkan ketelatenan dan uji coba berkali-kali. Produk yang dihasilkan juga tak sebanyak produk batik biasa sehingga pendapatan dari usaha ini amat terbatas.
Meski demikian, ia bangga dan senang bisa melakukannya. Harris ingin agar para pembatik lain pun mau akrab dengan lingkungan. Hasil lain yang diperolehnya dengan mengolah limbah adalah keakrabannya dengan para pemulung. Dia juga tak segan menularkan ilmunya kepada orang lain. ”Ini ekonomi kreatif berbasis budaya,” katanya memberi alasan.
Perjalanan Harris sebagai seniman lukis dan batik memang sebuah proses panjang. Saat hendak memulai kehidupan sebagai seniman lukis, ia sempat mendapat tentangan dari sang ayah, mendiang Chairil Kasmuri, seorang tentara. Namun, di akhir hayatnya, sang ayah justru mendukung setelah ia mampu mandiri dari usaha batiknya. ”Saya anak keempat dari sembilan bersaudara, dan hanya saya yang menjadi pekerja seni,” katanya optimistis. Siwi Nurbiajanti
Post Date : 08 Oktober 2009
|