|
SUDAH banyak orang tahu bahwa sampah bisa menjadi kompos. Namun, tidak banyak orang yang mau membuat kompos dari sampah. Padahal, setiap orang pasti menghasilkan sampah. Mereka tidak tertarik membuat kompos karena selama ini mengira kompos hanya bisa dibuat di tanah lapang. Kompos itu bisa dibuat di mana saja. Dia tidak perlu tanah lapang karena ember pun jadi. Tinggal kemauan kita saja, mau membuatnya atau tidak,? kata Harini Bambang Wahono (72), aktivis lingkungan hidup yang rajin mempromosikan pembuatan kompos dari sampah rumah tangga dengan menggunakan ember. Perempuan bertubuh mungil yang seluruh kulitnya sudah keriput ini tampak sangat bersemangat jika berbicara tentang sampah, lingkungan hidup, dan masalah kesehatan. Minggu lalu dia baru pulang dari Purwokerto dan Cilacap untuk bicara soal sampah. Hari Minggu (18/1), ia datang ke pameran tanaman obat di Bogor. Sehari sebelumnya, dia sibuk seharian di posyandu untuk menimbang dan memberi tambahan gizi kepada anak-anak balita di kawasan tempat tinggalnya di Banjar Sari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Sepak terjang Harini di lingkungan hidup sudah berlangsung puluhan tahun. Setidaknya sejak dia pindah ke Jakarta pada tahun 1980, di mana dia mulai membangun lingkungan yang hijau dan bersih di daerah sekitar tempat tinggalnya. Pada tahun 2000 dia mendapat penghargaan berupa Juara Nasional Konservasi Alam dan Penghijauan yang diselenggarakan Departemen Pertanian dan Kehutanan. Pada tahun 2001, ia dianugerahi penghargaan Kalpataru dari Presiden Megawati. "Yang paling membanggakan, sejak 2002 kawasan kami diusulkan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Selatan menjadi salah satu tujuan wisata Jakarta. Sekarang kami sedang berbenah karena syarat menjadi kawasan tujuan wisata tidak mudah," katanya. Syarat menjadi daerah tujuan wisata antara lain, setiap rumah harus memiliki WC umum, punya produk unggulan, cenderamata, dan ada halaman untuk arena bermain. Ujarnya, "Ini yang paling sulit karena kami tidak punya daerah terbuka. Semula kami ingin ada permainan untuk anak-anak, seperti dokar atau ayunan. Tetapi, rumah-rumah di sini sudah begitu rapat, jadi agak sulit mewujudkan." HARINI tidak bergabung dalam satu kelompok atau lembaga apa pun. Dia bergerak sendiri. Di bawah namanya di kartu namanya hanya tertulis Masyarakat Peduli Lingkungan. "Saya sendiri saja. Kalau saya butuh bantuan dari sebuah instansi, ya saya datangi sendiri. Justru karena sendiri, saya banyak ditolong orang," kata Harini dengan suara serak, tanda dia dalam kondisi capai. Salah satu lembaga yang menolongnya adalah UNESCO, lembaga PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sejak tahun 1996 hingga akhir 2003, dia mendapat bantuan UNESCO untuk membagikan pengetahuan soal daur ulang sampah di rumahnya. "Bantuan itu sudah berakhir. Sekarang, bagi siapa saja yang ingin belajar tentang daur ulang sampah, terpaksa harus membayar Rp 25.000 per orang. Uang itu hanya untuk makan siang peserta, bahan baku, dan fotokopi, sedangkan saya tidak mengambil profit sama sekali," ucap Harini. UNESCO bersedia memberikan bantuan kepadanya karena dia menjadi pelatih pengelolaan sampah terpadu, salah satu program UNESCO. UNESCO melihat bagaimana Harini mengelola sendiri sampah rumah tangga menjadi kompos dan menggerakkan masyarakat sekelilingnya untuk mengelola sampah. "Masyarakat di sini sudah terbiasa memisahkan sampah organik dan anorganik. Jika ada sampah batu baterai dan bahan-bahan berbahaya, mereka langsung memisahkan dari rumah. Tukang sampah di sini sudah tahu bagaimana memperlakukan sampah-sampah berbahaya," cerita istri dari Bambang Wahono, seorang veteran ini. Sampah organik, berupa bahan-bahan alam seperti sayuran, dijadikan kompos. Sampah anorganik dipisahkan dari sampah yang bisa didaur ulang, seperti kertas dan plastik, dengan sampah yang tidak bisa didaur ulang. Sampah yang bisa didaur ulang dipisahkan agar bisa diambil oleh para pemulung. Warga Banjar Sari juga sudah mempercantik rumah mereka dengan tanaman hias dan tanaman obat. Tanaman-tanaman itu sangat subur karena diberi pupuk kompos l dari sampah rumah tangga mereka. Mereka akhirnya membentuk kelompok bernama Kelompok Tani Dahlia dengan Harini sebagai ketuanya. Ketika pergi ke Palangkaraya untuk menerima penghargaan Juara Nasional Konservasi Alam dan Penghijauan tahun 2000, dia pergi atas nama Kelompok Tani Dahlia. Namun, tidak semua warga di daerahnya ikut menjaga kebersihan. "Dulu waktu saya muda, saya ikut perang melawan penjajah. Sekarang di masa tua, saya perang melawan sampah. Ternyata lebih mudah melawan penjajah karena kita semua kompak. Sementara melawan sampah, tidak semua orang mau peduli pada sampah," tegas ibu empat anak ini. DIBESARKAN di lingkungan pedesaan yang akrab dengan hijaunya daun dan padi yang menguning di daerah Solo, Jawa Tengah, Harini tumbuh menjadi penyayang tanaman dan lingkungan. Perempuan kelahiran Solo, 25 November 1931, ini sudah diajarkan almarhum ayahnya, seorang mantri tani Raden Ngabei Tjitro Diwirjo, untuk mengelola tanah dan merawat tanaman. "Ayah memberi satu pohon kepada setiap anaknya. Saya mendapat pohon mangga. Kami harus merawat pohon itu dari kecil hingga berbuah. Ternyata pohon mangga saya paling subur dan berbuah banyak," cerita dia. Pohon mangga itu bisa subur karena Harini rajin menyirami dengan air cucian beras, daging, ikan, dan memberikan pupuk. Begitu juga sepenggal tanah yang diberikan ayahnya, tumbuh subur karena selalu dirawat. "Saya selalu menunggu ibu memasak agar semua air cucian bisa saya pakai untuk menyiram pohon dan tanah itu," kenang dia. Kesempatan mengelola tanah itu membuat dia semakin cinta pada alam. Bahkan, Harini mengaku bisa sengaja turun dari mobil jika dia melihat pohon yang kekeringan di pinggir jalan. "Biar hanya setetes air putih, saya siram pohon itu agar tidak kehausan," tutur ibu empat anak ini. (M CLARA WRESTI) Post Date : 23 Januari 2004 |