Hari Bumi dan Kepedulian Kolektif

Sumber:Kompas - 22 April 2006
Kategori:Umum
Sejak tahun 1970, setiap 22 April, Hari Bumi dirayakan jutaan orang di seluruh dunia. Merayakan Hari Bumi berarti memikirkan kelangsungan hidupnya, memikirkan bagaimana sumber daya bumi yang terbatas ini bisa menjamin kelangsungan hidup manusia.

Dulu, sewaktu menjabat Sekretaris Jenderal PBB, U Thant pernah mengatakan, "Hari Bumi adalah sebuah momentum yang sangat penting untuk mengingatkan kita bahwa planet ini sangat kecil dan rapuh." Namun, kita sama tahu, planet bumi dari tahun ke tahun justru terus-menerus dicemari dan dirusak, termasuk di Tanah Air.

Akibat pengelolaan hutan yang tidak terkendali sejak awal Orde Baru, misalnya, ditaksir sekitar 65 juta hektar lahan di Indonesia atau sekitar 43 persen dari total 190 juta hektar luas daratan berupa hutan dan nonhutan negeri ini telah berubah menjadi lahan kritis. Dalam dua dekade (1984- 2005) saja, tiga juta hektar hutan Riau hilang, sementara sekitar 85 persen lahan reboisasi rusak (Kompas, 11/1/2005). Kondisi serupa terjadi di seluruh Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.

Kita semua tahu bahwa perlu penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran lingkungan serta pembaruan konsep pembangunan agar berkelanjutan. Namun, semua kondisi buruk tersebut hanya bisa diperbaiki secara langgeng jika terdapat kepedulian kolektif terhadap kelestarian lingkungan. Hal yang mesti dirintis sejak dini lewat proses pendidikan. Pengalaman mancanegara kiranya berguna bagi pencarian konsep pendidikan lingkungan yang tepat bagi Indonesia.

Pendidikan lingkungan

Tahun 1972, laporan penelitian yang disusun Dennis H Meadows dan kawan-kawan yang tergabung dalam Club of Rome berjudul The Limits to Growth mengentakkan kesadaran dunia. Dengan analisis yang sangat tajam, mereka mengungkapkan bahwa basis kehidupan alamiah manusia dalam jumlah yang dramatis telah mengalami kerusakan. Laporan itu senada dengan tema KTT Lingkungan di Stockholm (1972) yaitu "Hanya Satu Bumi". Pada konferensi tersebut dicanangkan sebuah program internasional untuk pendidikan lingkungan.

Ekologi sebagai ilmu pengetahuan hanya bisa dipahami secara komprehensif, di mana biosfer dipandang sebagai organisme hidup. Lingkungan alam sekitar menjadi laboratorium ajar- mengajar. Hal yang memberikan impuls yang sama sekali baru bagi pendidikan lingkungan. Para pendidik berkonsentrasi pada project lessons, di mana untuk waktu tertentu batasan-batasan konvensional antarbahan pelajaran ditiadakan. Ini perlu untuk mengamati kompleksitas sebuah topik dari berbagai sudut. Untuk pertama kalinya, dilaksanakan konsep belajar menyeluruh.

Pendidikan luar ruang yang dikembangkan Joseph Cornell dan Steve van Matre dari Amerika Serikat (AS) banyak memengaruhi pendidikan lingkungan luar sekolah yang berkembang di Eropa dan AS. Penekanan bukan pada transfer pengetahuan lingkungan, tetapi pada penyembuhan hubungan yang retak antara manusia dan alam. Konsep yang ditawarkan bukan berupa penugasan manusia agar memperbaiki lingkungan yang rusak, tetapi menyembuhkan hubungan yang sakit antara manusia sebagai bagian dari totalitas alam. Semakin banyak manusia "mengalami" alam, semakin sadar ia sebagai bagian darinya.

Untuk melakukan perubahan mendasar jati diri manusia modern ini, dilakukan eksperimentasi metodologi yang sama sekali baru. Meditasi alam merupakan pranata tak terpisahkan dari para pendidik. Lalu ada latihan mengamati alam serta dialog diam dengan pohon, sungai, dan binatang. Meski banyak yang ragu atau bahkan mencibir, tetapi hasil dari eksperimen "mengalami" dan "menyatu" dengan alam ini cukup mengesankan mereka yang dalam fantasinya berakar di bumi. Mereka semua mengalami kesan mendalam dalam berdialog dengan alam dengan cara masing-masing. Dari berbicara tentang alam, menjadi berbicara dengan alam.

Ekologi sosial

Kecenderungan ini semakin menguat dalam dekade 90-an hingga kini. Pendidikan lingkungan yang tadinya membatasi diri pada lingkungan alam kini telah merasuk ke dalam semua bidang kemasyarakatan. Generasi mutakhir pendidikan lingkungan ini seakan lepas dari sekat-sekat yang membatasinya menjadi paradigma dasar sebuah pengetahuan baru, yaitu Ekologi Sosial. Artinya, kunci perilaku perorangan yang ramah lingkungan terletak pada aturan sosial dan pada bingkai persyaratan perekonomian.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan yang tadinya membatasi diri pada tema "alam yang sehat" kini melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai pengemban tugas pelestarian lingkungan. Dengan demikian, berbagai hal yang tadinya berada di luar batasan pendidikan lingkungan menjadi bahan bahasan, seperti perilaku konsumtif, permasalahan sosial, kebijakan, dan strategi pembangunan serta globalisasi.

Masyarakat kita, yang konon pernah akrab dengan alam, kini banyak yang menjadi korban kemurkaan alam. Saatnya belajar dua arah berupa pengembangan dan pelestarian kebajikan lama tentang manusia sebagai bagian dari alam sambil mengkritisi nilai dan perangkat baru. Tanpa itu, perusakan lingkungan dengan dampak yang semakin memprihatinkan sulit atau bahkan tak mungkin teratasi.

Semoga pada "ritual" Hari Bumi 2007 nanti kita bisa lebih optimistis.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif IDe (Indonesian Institute for Democracy Education)


Post Date : 22 April 2006