Konferensi utama 193 pemimpin negara dan delegasi mereka untuk tetap mempertahankan keutuhan planet bumi di Kopenhagen, pada akhir 2009 ini, merupakan jejak sejarah dan tekad manusia untuk menghadapi berbagai krisis akibat perubahan iklim. Konferensi tingkat tinggi (KTT) prakarsa PBB -the UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)- untuk mempertegas upaya pengurangan emisi karbon khususnya di negara-negara industri maju dan berkembang, harus didukung seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pertemuan penting untuk mengatasi dampak perubahan iklim ini juga disebut COP15 atau 15th Conference of the Parties. Konferensi Kopenhagen merupakan lanjutan Earth Summit-KTT Bumi tahun 1992 di Brasil serta referensi Protokol Kyoto 1997. Referensi kedua KTT Bumi tersebut mendorong COP13 di Bali tahun 2007 dan mengangkat promosi perbaikan bumi melalui Bali Action Plan.
Dengan demikian, selain pertemuan-pertemuan strategis, seperti APEC di Bogor dan WOC di Manado 11-15 Mei 2009, Indonesia telah membuat sejarah dalam rangka merundingkan kemajuan ekonomi dan pembangunan manusia. Khususnya bagaimana mengatasi dampak perubahan atau pemanasan iklim global.
Konferensi Kopenhagen tanggal 7-18 Desember 2009 dengan 16.500 anggota delegasi bertujuan utama mengurangi emisi karbon dioksida atau emisi gas rumah kaca hingga level 20 persen. Sesuai Protokol Kyoto 1997, pengurangan emisi gas rumah kaca tahun 1990 sebesar 5 persen yang masa berakhirnya tahun 2012. Ada kritik, bahwa KTT Kopenhagen tidak mengagendakan masalah air.
Simaklah pendapat tiga tokoh yang berkaitan dengan KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen atau bahasa populernya tingkat pemanasan global. Mereka adalah Sekretaris Eksekutif KTT COP15 Yvo de Boer, Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan Al Gore, mantan Wapres AS, penerima Nobel Lingkungan. Memang pernyataan ketiganya berbeda, namun substansinya tetap sama, yaitu bertekad mengurangi polusi atau emisi gas rumah kaca demi menyelamatkan bumi.
Empat Standar
Sekretaris Eksekutif UNFCCC, De Boer, menegaskan, empat standar berhasilnya KTT Kopenhangen, yakni pertama, seberapa pedulinya negara-negara industri maju mengurangi emisi yang telah ditetapkan Protokol Kyoto. Kedua, tekad negara berkembang Tiongkok dan India membatasi atau menahan pertumbuhan emisi gas rumah kaca. Ketiga, kepedulian negara-negara maju membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi serta beradaptasi menghadapi efek perubahan iklim. Keempat, kesungguhan negara-negara dan bangsa mengelola dana untuk tujuan-tujuan utama, sehingga KTT bisa meratifikasinya sebagai keputusan global-PBB yang harus dijalankan bersama.
Sekjen PBB Ban Ki Moon mengenai krisis global mengatakan, umat manusia sering menghadapi berbagai krisis, sehingga mereka tidak akan pesimistis dalam melihat kekalutan dunia. "PBB memang dibentuk untuk menghentikan bencana peperangan dan berbagai akibatnya. Tidak cukup kalau hanya mengerahkan pasukan perdamaian ke zona konflik, maka saya melihatnya lain. Intinya adalah menyelesaikan soal-soal ekonomi dan keamanan yang bertumpu pada pembangunan yang berkelanjutan -sustainable development. Kuncinya harus menangani isu besar, kemiskinan, stabilitas politik dan terutama iklim serta lingkungan yang merupakan bagian-bagian dari seluruh masalah," tegasnya.
Kemudian, Al Gore menegaskan, pada September 2008, negara-negara miskin memerlukan bantuan mengatasi dampak lingkungan! Caranya, adaptasi- pun mengurangi upaya pencegahan kerusakan lingkungan!" Pernyataan Al Gore mengubah sikap para pencinta lingkungan dan ekonom dunia. Waktu itu Kongres AS menyediakan bantuan US$ 20 juta untuk upaya adaptasi lingkungan global. Pernyataan ketiga tokoh ini secara intuitif kita pahami, selain sebagai harapan, acuan-acuan ini membantu kita memahami substansi KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen.
Biaya Adaptasi
Saya mencatat biaya global untuk mengadaptasi pemanasan global, ditetapkan pada 2008. Dari UNDP, Badan Pembangunan PBB, tersedia US$ 86 miliar, UNFCC US$ 26-27 miliar hingga 2030, Bank Dunia tahun 2006-2008 sebesar US$ 9-41 miliar, Oxfam-Inggris US$ 50 miliar, dan Stern Review US$ 4-27 miliar (2006-2008). Totalnya US$ 302 miliar biaya adaptasi perubahan iklim global dan AS.
Muncullah opini bahwa dua masalah perubahan iklim mengubah sikap. Pertama, terbukti pemanasan global lebih cepat dari perkiraan. Manish Bapna, ahli World Resource Institute menegaskan: "Sungguh terlambat memperkirakan bahaya akibat pemanasan global, maka harus segera beradaptasi!" Kedua, bukti-buktinya cepat bertambah, sehingga membahayakan, khususnya bagi kalangan termiskin dan mereka yang berdiam ke pulau-pulau terisolasi (Pasifik dan Karibia). Artinya mengancam 1 miliar penduduk di 100 negara.
Pemanasan global mengenai si miskin di wilayah pertanian tanah kering, hutan tropis, dan wilayah pantai-nelayan. Pemanasan global merusak pantai, menyebar penyakit khususnya penyakit kekurangan air bersih dan pergantian musim. Mereka, seperti yang di Indonesia, sulit menahan bencana banjir, dan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan.
Seperti dikatakan, ketetapan Protokol Kyoto mengharuskan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa mengurangi emisi gas rumah kaca mereka sebesar 5 persen dari level emisi tahun 1990. Dan masa pengurangan itu berlaku selama lima tahun (2008-2012). Lima skenario KTT Kopenhagen sebagai konvensi perubahan iklim, dan apabila gagal maka bisa diperkirakan, selain terjadi suatu kegagalan sejarah lingkungan, KTT bersejarah tersebut pun akan terlupakan generasi bumi mendatang. Skenario pertama yakni KTT berakhir tanpa kesepakatan.
Seperti sering diutarakan, negara adidaya, khususnya Amerika Serikat, pada era Presiden Bush dikenal sebagai penghalang utama implementasi Protokol Kyoto. Memang, pembelaan Bush berorientasi pada kepentingan ekonomi nasional negara adidaya tersebut. Yakni upaya pengereman atau pembatasan emisi gas rumah kaca, jelas akan menghambat lajunya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Memang dunia mengakui, bahkan negara-negara maju mengetahui bahwa sistem iklim dan perubahannya akibat tekanan revolusi industri yang dimulai pada abad ke-18. Maka, sebenarnya tujuan KTT Bumi di Kopenhagen, Denmark, adalah untuk menstabilkan pemusatan produksi gas rumah kaca di atmosfer pada level tertentu.
Pesan Imperatif
Pesan imperatifnya, mendesak manusia mengurangi berbagai kecenderungan yang membahayakan sistem iklim. Di Indonesia, menurut saya, Pemerintah Presiden SBY termasuk para gubernur, bupati, wali kota, serta biroraksi nasional perlu serius menghayati masalah lingkungan hidup. Terutama dampak perubahan iklim akibat pemanasan global. Banyak indikasi bahwa masa hujan semakin singkat dan permukaan air laut naik, sehingga para petani dan nelayan kesulitan berproduksi.
Banjir tahunan semakin mengancam Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan ibu kotanya, Jakarta. Pengetahuan tentang perubahan iklim global, kunci untuk memecahkannya. Berita terakhir mengenai mencairnya jutaan ton es di Antartika dan Kutub Utara, menunjukkan gejala universal pemanasan global dan perubahan iklim. Indonesia memang memiliki ribuan pulau, dengan lahan pertanian luas, serta garis pantai yang panjang dan laut yang kaya. Dampak perubahan iklim menantang kita untuk selalu awas dan perlu menghadapinya seperti pernyataan Sekretaris Eksekutif KTT Kopenhagen, Yve de Boer, Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan mantan Wapres AS Al Gore. Di Jakarta dan kota-kota besar berpantai, emisi karbon dioksida sistematis menghancurkan terumbu karang dan mengasamkan air laut. Bukankah Bali Action Plan Desember 2007 telah menetapkan pajak karbon dioksida global dan bisa digunakan oleh badan lingkungan internasional. Perusahaan di negara-negara kaya dapat membuat carbon credits yang bernilai niaga. Pada Juni 2008, disepakati 2% nil i pajak tersebut (sekitar US$ 950 juta pada 2012) sebagai dana adaptasi pemanasan global. Penggunaan dana ini diawasi oleh negara donor dan negara/lembaga penerimanya.
Kewaspadaan dan keprihatinan merupakan dua aspek yang perlu dihadapi dengan optimisme, baik oleh pemerintah maupun semua warga bangsa. Kita akan melihat rekomendasi KTT Perubahan Iklim 2009 di Denmark yang akan menjadi agenda nasional untuk dikerjakan menurut profesi dan kemampuan masing-masing. Konferensi Kopenhagen pun merupakan catatan dan referensi akhir tahun yang penting menuju tahun 2010.
Wim Tangkilisan Pemimpin Umum "Suara Pembaruan"
Post Date : 11 Desember 2009
|