|
SARGIAT (43), warga Desa Ngestirejo, Kecamatan Tanjungsari, sebentar-sebentar melongok ke depan rumahnya. Setiap terdengar bunyi mesin kendaraan bermotor dari kejauhan, ia bergegas keluar rumah, seakan hendak menyongsong sesuatu. Namun, seperti biasanya pula, ia masuk kembali dengan wajah lesu. SUDAH tiga hari ini saya menunggu truk tangki air lewat di depan rumah. Persediaan air di bak sudah habis. Nek mboten nyegat truk, kulo mboten gadah banyu (Kalau tidak mencegat truk tangki air yang lewat, saya tidak punya air)," keluh Sargiat. Bak penampung air hujan (PAH) milik Sargiat memang telah mengering. Bak dengan daya tampung sekitar 5.000 liter itu, hanya menyisakan air berwarna kehijauan, dengan ketinggian tidak sampai 10 cm. Tomorejo (61), warga Dusun Kunang, Desa Banjarejo, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, mengandalkan cara lain untuk mendapatkan air bersih. Ia berjalan sekitar lima kilometer dari rumahnya menuju sumber air di Pantai Sundak, Kecamatan Tanjungsari. Dipikulnya dua jeriken, masing-masing berkapasitas sekitar 20 liter air. "Kalau untuk keperluan saya dan ternak, dua jeriken air habis dalam sehari," kata pria yang memelihara seekor sapi. Kesulitan air bersih tidak hanya dirasakan Sargiat dan Tomorejo. Sebagian besar warga Gunung Kidul kesulitan air sejak kemarau Juni lalu. Air tadah hujan di sejumlah PAH milik warga telah habis, padahal air tadah hujan itu menjadi andalan warga untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari. Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Kemarau juga mengakibatkan sebagian besar telaga di Gunung Kidul mengering. Hingga bulan Agustus, tercatat 251 dari 264 telaga atau sekitar 95 persen kekeringan, padahal air telaga yang berwarna kecoklatan itu dimanfaatkan untuk keperluan mandi, mencuci, dan minuman ternak. Mengeringnya air telaga membuat sebagian warga praktis hanya mengandalkan pembelian air. Berbagai cara ditempuh warga untuk mendapatkan air, di antaranya membeli air dari sumur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Rp 100-Rp 250 per jeriken. Namun, hanya sedikit wilayah yang mendapatkan fasilitas air PDAM. Jangankan fasilitas air, sejumlah pipa air PDAM tidak mengalirkan air sejak dipasang. "Dulu pipa dan meteran air di sini pernah berfungsi, tetapi hanya sebentar. Sejak lima tahun lalu, airnya sama sekali tidak mengalir. Malahan pipanya sudah dirusak oleh warga yang kesal karena air tidak mengalir," keluh Sumarti (38), warga Desa Serpeng Kidul, Kecamatan Semanu. Jaringan pipa PDAM di beberapa kecamatan di Gunung Kidul tidak lagi berfungsi. Ketika jaringan itu selesai dibangun tahun 1998-1999, dan sumber air dengan debit air yang memadai banyak ditemukan, pemerintah kabupaten kekurangan mesin pompa untuk menyedot dan mengalirkan air. Warga yang tidak mendapat pasokan air PDAM, terpaksa membeli air bersih dari pedagang. Air dalam tangki berkapasitas 5.000 liter dibeli dengan harga Rp 25.000-Rp 100.000. Harga jual air dipatok berdasarkan jarak tempuh truk ke rumah warga. Untuk wilayah yang sulit dijangkau, terjal, berbatu-batu, dan letaknya jauh, harganya lebih mahal. Namun, air dari tangki tersebut hanya cukup untuk kebutuhan dua minggu hingga satu bulan. Maka, pembelian air terus dilakukan hingga musim hujan tiba. Ini dirasakan berat oleh warga Gunung Kidul yang mayoritas adalah petani sawah tadah hujan. KESULITAN air sepanjang kemarau merupakan masalah rutin yang dihadapi warga Gunung Kidul. Berdasarkan data Bagian Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, warga penderita kekeringan tahun ini berada di 11 dari 18 kecamatan, meliputi Kecamatan Tepus, Tanjungsari, Girisubo, Purwosari, Ponjong, Panggang, Semanu, Paliyan, Saptosari, Rongkop, dan Wonosari. Penderita kekeringan di 11 kecamatan mencapai 37.930 keluarga atau 132.625 jiwa yang tersebar di 322 dusun dan 51 desa. Dari jumlah ini, 16.699 keluarga atau 58.601 jiwa tergolong miskin. Warga yang kekeringan tahun ini, meningkat dibandingkan tahun 2003 yang berjumlah 29.980 keluarga atau 119.045 jiwa, dan 93.928 jiwa di antaranya tergolong miskin. Selama tiga tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunung Kidul memberi bantuan air bersih kepada warga miskin. Bantuan disalurkan melalui truk-truk tangki air berkapasitas 4.000 liter. Dari bantuan tersebut, setiap keluarga miskin mendapat jatah air rata-rata dua jeriken setiap bulan. Jatah ini umumnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari. Bantuan air dari pemerintah dipasok dari enam sumur, yaitu sumur di Desa Wareng, Karangrejek, Pancuran, Siraman, Baleharjo, dan Ngeposari. Dana yang disediakan untuk bantuan air tahun ini Rp 400 juta dari APBD Gunung Kidul. Kepala Sub-bidang Industri, Pariwisata, Pertambangan, dan Energi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Gunung Kidul, Birowo Adhie mengungkapkan, Gunung Kidul yang memiliki jajaran Pegunungan Sewu merupakan wilayah potensial sumber air. "Pegunungan sewu di Gunung Kidul memiliki kandungan sungai bawah tanah dengan debit air yang tinggi. Akan tetapi, pemanfaatannya belum optimal, sehingga air sungai bawah tanah banyak terbuang ke Samudra Indonesia," katanya. Berdasarkan data PDAM Gunung Kidul, terdapat empat sumber air sungai bawah tanah yang memiliki debit air memadai, yaitu Sumber Air Baron dengan debit air 1.080 liter per detik, Sumber Air Seropan dengan debit 800 liter per detik, Sumber Air Ngobaran dengan debit air 135 liter per detik, dan Sumber Air Bribin dengan debit air 1.000 liter per detik. Namun, kapasitas produksi sumber air itu jauh dari kapasitas. Debit produksi Sumber Air Baron 15-20 liter per detik, Sumber Air Seropan dimanfaatkan 100 liter per detik, Sumber Air Ngobaran digunakan 40-60 liter per detik, dan Bribin 80 liter per detik. "Persoalannya, pompa dan genset untuk menyedot dan mengalirkan air tidak memadai. Pompa yang terpasang tidak sesuai dengan debit air, padahal air harus dipompa secara bertingkat untuk menjangkau wilayah yang paling tinggi," kata FX Wudiyanto, Direktur Teknik PDAM Gunung Kidul. KEBERADAAN proyek pengeboran dan pemompaan air Goa Bribin, atau Proyek Bribin II di Goa Bribin, Dusun Sindon, Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu, Gunung Kidul, yang tengah berlangsung, memberi secercah harapan bagi masyarakat Gunung Kidul. Pengeboran secara vertikal dilaksanakan sejak 8 Juli lalu menggunakan mesin bor M-862 M VSM 2500 berdiameter 2,4 meter. Hingga akhir September 2004, pengeboran mencapai kedalaman 62 meter. Diperkirakan, pengeboran akan mencapai kedalaman 102 meter, hingga menyentuh langit-langit Goa Bribin. Pengeboran dilanjutkan dengan membendung sungai bawah tanah, dan penempatan turbin yang berfungsi memompa air sungai bawah tanah. Proyek pengeboran dan pemompaan air Bribin merupakan kerja sama Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pemerintah Provinsi DIY, Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia melalui Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI), dengan Pemerintah Jerman (Federal Ministry of Education Research), Universitat Karlsruhe- Jerman, dan perusahaan Herrenknecht Aktien Gesellschaft (AG) Schwanau asal Jerman. Perangkat pengeboran dan pemompaan air di Bribin yang bernilai sekitar Rp 70 miliar merupakan sumbangan Pemerintah Jerman, bekerja sama dengan Universitas Karlsruhe- Jerman. Alat-alat penunjang pengeboran, di antaranya mesin pengangkut (tower crane), generator set, dan pelapis baja, disumbangkan Pemerintah Indonesia dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Koordinator tim teknis Proyek Bribin II As Natio Lasman menjelaskan, turbin dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik, sekaligus memompa air hingga kapasitas 138 liter per detik. Selanjutnya, air ditampung pada tandon (reservoir), dan dialirkan bersama air dari Proyek Bribin I yang debitnya 80 liter per detik. Kini, warga Gunung Kidul banyak berharap pada keberhasilan proyek Bribin II yang ditargetkan selesai akhir 2005. Warga berharap, proyek bernilai miliaran rupiah tersebut dapat mengalirkan air ke jaringan pipa milik warga yang selama ini tidak terisi air. Lebih dari itu, warga berharap tidak lagi terbebani biaya pembelian air dari tangki yang relatif mahal. "Kalau air dari Bribin nanti mengalir, insya Allah pipa bisa mengalirkan air lagi. Jadi, warga tidak terus-menerus kesulitan air di musim kemarau," harap Bariah, warga Dusun Candisari. Pertanyaannya, mampukah pasokan air dari Proyek Bribin II memenuhi harapan sebagian besar warga Gunung Kidul untuk mencukupi kebutuhan air? Kepala Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi DIY Tri Harjun Ismaji mengakui, pasokan air dari Proyek Bribin II tak akan disalurkan merata untuk seluruh warga Gunung Kidul. Menurut rencana, air sungai bawah tanah itu hanya untuk lima kecamatan yang telah memiliki jaringan air. Tri Harjun menjelaskan, air dari Bribin akan disalurkan untuk warga yang memiliki pipa jaringan air pada lima kecamatan di sekitar Bribin, yaitu Kecamatan Semanu, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Tepus, dan Kecamatan Rongkop. "Bagaimanapun, ini kan proyek uji coba dari Jerman. Saat ini, kami masih memfokuskan agar air bisa dipompa keluar. Kalau air keluar, sasaran awal pasokan air adalah lima kecamatan yang telah punya jaringan air, supaya penyaluran air lebih mudah," jelasnya. Menteri Riset dan Teknologi Hatta Radjasa, yang hadir pada peresmian Proyek Bribin II, 2 Agustus lalu, mengatakan, pengeboran secara vertikal dan pembuatan bendungan di bawah tanah merupakan proyek pertama di dunia. Meskipun Proyek Bribin II tidak menjangkau sebagian besar warga Gunung Kidul yang kekeringan di musim kemarau, kata Hatta, proyek itu dapat mengurangi kesulitan air sebagian warga. "Proyek ini diharapkan mampu mengatasi kekeringan yang dialami sebagian masyarakat Gunung Kidul. Jika proyek ini berhasil, dimungkinkan proyek serupa di wilayah-wilayah lain yang kesulitan air," kata Hatta. (BM Lukita Grahadyarini) Post Date : 11 Oktober 2004 |