Harapan dari Sampah Akhir Tahun

Sumber:Kompas - 29 Desember 2009
Kategori:Sampah Jakarta

Sebuah rencana sudah disusun Iwan Saryono (45), seorang pemulung, untuk malam pergantian tahun 2009 ke 2010: memungut sampah di kawasan Monas, Jakarta, mulai pukul 19.00 hingga pukul 03.00.

Peralihan tahun 2009 ke tahun 2010 menjadi momen berharga bagi Iwan untuk meraih sesuatu yang lebih dari biasanya, sekaligus ajang perjuangan yang membutuhkan kekuatan ekstra. Sebab, pada malam Tahun Baru nanti, ia akan bekerja pada tengah malam. Tidak seperti pada hari biasa, di mana ia hanya bekerja dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00.

Kerja lembur ini akan dilakukan Iwan karena ia yakin, pada malam pergantian tahun, Monas akan ramai dikunjungi wisatawan. Dengan demikian, sampah plastik yang dibuang di tempat itu juga akan ikut naik hingga dua kali lipat dari kondisi biasa.

Iwan harus bekerja lembur karena jika tidak langsung diambil pada malam pergantian tahun, sampah plastik dan kertas bekas itu akan direbut oleh pemulung dadakan yang datang dari berbagai penjuru.

”Mereka sengaja datang ke Monas saat malam Tahun Baru karena sampahnya pasti banyak. Kadang suka ada ribut-ribut kecil antarpemulung gara-gara rebutan sampah,” ujar Iwan saat ditemui, Minggu (27/12) pagi.

Pada hari biasa, pria asli Ciamis, Jawa Barat, ini bisa mengumpulkan sekitar 100 gelas air mineral plastik dan beberapa lembar koran serta kardus bekas dari sekitar Monas.

Semua sampah yang diperoleh dikumpulkan di pojok rumah dinas penjaga pintu air Masjid Istiqlal, Jakarta. Sejak tahun 2007, ia menumpang tidur di teras rumah dinas tersebut setelah sempat menggelandang di Jakarta.

”Kalau gelas dan kardus sudah menumpuk, kira-kira muat satu karung, saya bawa ke pengepul,” kata ayah dua anak itu.

Satu kilogram gelas plastik (isi 200 buah) dijual Iwan kepada pengepul seharga Rp 4.500, sedangkan kardus dan koran bekas dijual sekitar Rp 1.000 per kilogram. Ia menyetor sampah tersebut ke pengepul dua atau tiga hari sekali dan mengantongi uang Rp 15.000 sampai Rp 20.000.

Selain sebagai pemulung, Iwan kerja sampingan sebagai joki di jalur three in one dengan upah Rp 5.000-Rp 10.000 per mobil. Dari pekerjaannya ini, setiap bulan Iwan bisa mengirimkan uang sekitar Rp 300.000 kepada istrinya di Ciamis.

Hidup dengan tumpukan sampah juga menjadi keseharian dua warga asal Jawa Tengah, Milah (47) asal Purwokerto dan Sariri (47) asal Tegal.

Milah mengaku hanya sebagai buruh pemulung yang setiap hari kerjanya membersihkan berbagai sampah plastik hingga siap dijual ke pengepul. Untuk setiap kilogram sampah yang dibersihkan, ia mendapat Rp 500. Sehari, rata-rata ia dapat membersihkan 20 kilogram sampah.

Milah menjadi buruh pemulung sejak 20 tahun lalu, bersama dengan suaminya, Samsuri (60). Pekerjaan utama Milah adalah penyapu jalan di Pecenongan, Jakarta, dengan upah Rp 14.000 setiap hari. Ia menjadi buruh pemulung setelah selesai menyapu jalan. Pekerjaan menyapu jalan dia lakukan mulai pukul 01.00 hingga pukul 09.00.

Sebulan sekali Milah mengirim uang Rp 200.000 kepada anaknya di Purwokerto, yang diasuh keluarganya. ”Biar hasilnya sedikit, asal halal,” kata Milah.

Berbeda dengan Iwan dan Milah, Sariri tidak sekadar menjadi pemulung, tetapi juga membersihkan Pintu Air Masjid Istiqlal dari sampah yang terbawa arus sungai.

Dari hasil memungut sampah di pintu air tersebut, Sariri mendapatkan uang tambahan sebesar Rp 50.000. Ia mencari sampah dengan menggunakan rakit yang terbuat dari sepuluh batang bambu sepanjang 6 meter, yang diikat melintang, dibantu dengan alat penangkap sampah yang dibuatnya sendiri, yakni sebuah tutup kipas angin yang diikatkan pada sebilah kayu.

Menurut Sariri, ia terpanggil untuk ikut membersihkan sampah di sungai karena lokasinya berada di sekitar Masjid Istiqlal. Sampah yang mengenang di dekat pintu air yang tak jauh dari masjid mengganggu pemandangan. ”Enggak enaklah kalau dekat masjid banyak sampah,” ujarnya.

Pengepul

Sampah yang dikumpulkan para pemulung di sekitar Monas biasanya disetor kepada pengepul rongsokan yang ada di bawah jalur layang rel kereta api di Stasiun Juanda, Pasar Baru, Jakarta.

Seorang pengepul, Basuni (42), mengaku setiap hari menerima sekitar 1 ton sampah gelas plastik dan kertas dari pemulung. Dua kali seminggu, sampah itu ia kirim ke perusahaan pendaur ulang sampah di Serang dan Tangerang, Banten, untuk kemudian diolah lagi menjadi produk daur ulang, seperti kertas hias dan kantong keresek.

Dari usaha jual beli sampah yang telah ditekuni selama sekitar 10 tahun ini, Basuni bisa menyekolahkan anak-anaknya di Solo, Jawa Tengah.

Bagi orang seperti Iwan dan Basuni, apa yang mereka lakukan mungkin sekadar mencari nafkah untuk menyambung hidup. Namun, tindakan mereka sebenarnya juga menjadi bagian dari langkah nyata untuk menjaga dunia yang saat ini sedang disibukkan oleh berbagai isu seperti pemanasan global. YOGA PUTRA dan DIDIT PUTRA ERLANGGA



Post Date : 29 Desember 2009