|
MATA yang dingin dan tajam, namun tampak lelah itu, berbinar ketika menceritakan tentang pekerjaannya. Mimpri Masduri, sosok pria tua tersebut, sudah puluhan tahun menjaga Pintu Air Manggarai, tampak sangat bahagia ketika diminta menceritakan suka dukanya menjadi penjaga pintu air. Bapak seorang anak yang juga sudah memiliki seorang cucu ini mengaku sangat bahagia dengan pekerjaannya ini. Menurutnya, tidak pernah tebersit sedikit pun di dalam dirinya untuk berpindah pekerjaan. Karena kecintaannya terhadap pekerjaan menjaga pintu air Manggarai yang sudah dilakukannya selama 29 tahun ini, ia rela untuk jarang pulang ke kampung halamannya. Tanggung jawab, mungkin kata itulah yang cocok menggambarkan sosok pria tua ini. Bekerja menjaga pintu air selama 24 jam sehari kalau bukan karena rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap masyarakat banyak, mungkin tidak akan mampu membuatnya bertahan selama bertahun-tahun di sana. Awalnya, Mimpri muda datang dari kampung halamannya di Yogyakarta dengan membawa sejuta mimpi untuk memperoleh penghidupan yang layak di Jakarta. Dengan modal nekat, pada 1968 ia memutuskan pergi merantau ke Jakarta. Begitu tiba di Jakarta, ia menumpang di rumah seorang kakaknya yang kebetulan tinggal di kawasan pintu air Manggarai. Pertama tiba di Jakarta, segala macam pekerjaan berusaha dilakukannya, yang penting dapat menghidupinya. Sesudah enam tahun hidup di Jakarta salah seorang koordinator penjaga pintu air Manggarai mengajaknya untuk kerja sebagai penjaga pintu air. Dengan senang hati ia menerima pekerjaan tersebut dan mulai bekerja pada 1974. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi pegawai negeri tetap. Menurut pria tua yang hanya sempat menduduki bangku pendidikan hingga SMP ini, ia jelas menerima pekerjaan tersebut dengan pertimbangan daripada harus menganggur. Dengan istri dan seorang anaknya ia rela tinggal di pos penjaga pintu air walaupun dengan ruangan yang hanya berukuran 4x4 meter. "Sampai sekarang, walaupun telah berpuluh tahun bekerja, saya masih belum memiliki rumah sendiri, tetapi hal itu tidak menjadi masalah, yang penting saya bisa terus bekerja mengawasi pintu air," ujarnya dengan penuh keyakinan. "Walaupun pekerjaan yang saya lakukan ini tidak ada yang mengawasi, namun karena rasa tanggung jawab saya terhadap masyarakat banyak, saya akan tetap setia memantau ketinggian air." Menurutnya, saat ini jumlah pegawai yang menjaga pintu air Manggarai ada empat orang, termasuk dirinya. Sehari-hari, selama 24 jam, mereka bertugas secara bergantian mengawasi dan mencatat ketinggian air. Tidak ada pembagian tugas yang spesifik di antara mereka. Semua diatur hanya berdasarkan rasa kekeluargaan saja. Dengan cara kekeluargaanlah mereka berempat secara bergantian melakukan tugas mengawasi dan mencatat ketinggian air. "Memang, kerja sehari-hari kami tidak seberat pekerjaan buruh bangunan atau pekerja kasar lainnya, namun orang yang melakukan pekerjaan ini harus punya rasa tanggung jawab dan kesetiaan yang tinggi terhadap pekerjaannya," tegas Mimpri. Pada saat musim kemarau dengan curah hujan yang sangat rendah, misalnya, pencatatan ketinggian air dilakukan setiap dua atau tiga jam sekali. Sedangkan di kala musim penghujan, apalagi jika diperkirakan bakal terjadi banjir di Jakarta dan dalam suasana darurat, maka pencatatan ketinggian air dapat dilakukan setiap lima menit sekali selama 24 jam. Dan ketinggian air tersebut selalu dilaporkan kepada pihak Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Jika ketinggian air dirasakan sangat membahayakan dan diperkirakan bakal terjadi banjir, maka hasil pencatatan ketinggian air tersebut juga akan dilaporkan kepada pihak komando distrik militer (kodim) dan pihak komando rayon militer (koramil) yang akan meneruskannya kepada masyarakat. Selama 29 tahun ia menjaga Pintu Air Manggarai, sudah begitu banyak peristiwa yang dialaminya. Tetapi, menurutnya, yang paling berkesan baginya adalah ketika banjir besar melanda Jakarta pada 2002. Itu adalah banjir terbesar yang terjadi di Jakarta selama dirinya menjaga pintu air. Selain 2002, banjir besar yang pernah dialaminya adalah pada 1976. Pada saat banjir besar 2002 itu ketinggian air mencapai di atas 950 cm sehingga dua pintu air yang mengarah ke Banjir Kanal harus dibuka lebar-lebar. Dan pintu air yang mengarah ke Istiqlal hanya dibuka sedikit. Karena pintu air ke arah Istiqlal hanya dibuka sedikit, ternyata menimbulkan reaksi masyarakat sekitar, yang datang berdemo untuk meminta agar pintu air tersebut dibuka lebar karena menimbulkan masalah bagi mereka. Padahal, menurut Mimpri, jika pintu air tersebut dibuka, maka seluruh Jakarta bisa mengalami kebanjiran. Lagi pula, wewenang keputusan bahwa pintu air tersebut dibuka atau tidak adalah atas perintah gubernur. "Karena adanya demo tersebut menyebabkan beberapa kompi tentara dikerahkan untuk menjaga kami," ujar Mimpri. "Dulu pada zaman Gubernur Ali Sadikin, pada saat situasi banjir kami juga dijaga oleh marinir dan polisi, karena saat itu banyak masyarakat yang datang membawa golok untuk melakukan demonstrasi," kenangnya. Apalagi, ketika itu, untuk menjaga pintu air, mereka harus bekerja keras untuk membuka dan menutup pintu dengan cara manual. Sehingga pada saat itu jumlah petugas yang menjaga pintu air sebanyak 12 orang yang dibagi dalam dua {shift]. "Sekarang, sistemnya sudah lebih canggih yaitu dengan menggunakan teknologi hidraulik, sehingga hanya butuh empat orang saja," ujar pria yang jabatan terakhirnya hanya golongan 2C di bawah Pemda DKI ini. Biasanya, cerita Mimpri, hanya pada saat musim-musim rawan banjir saja banyak masyarakat, wartawan, maupun pejabat-pejabat pemerintahan yang mau datang mengunjunginya, dan memberikan bantuan ala kadarnya. Dan pada saat musim rawan banjir, telepon tidak henti-hentinya berdering menanyakan kondisi terakhir ketinggian air. "Bila saat musim kemarau, atau segala sesuatunya berjalan seperti biasa, kami seakan dilupakan," ujar pria yang murah senyum ini. Tetapi, katanya lagi, itu semua kan risiko pekerjaan. "Dalam kondisi rawan banjir ataupun tidak, ada bantuan atau tidak, saya dan teman-teman akan tetap setia melakukan pekerjaan ini." (Christina) Post Date : 11 Februari 2004 |