|
Jakarta, Kompas - Hak guna usaha yang diatur dalam pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengarah kepada privatisasi air. Hal itu dikhawatirkan akan memperkecil akses pemanfaatan air bagi rakyat kebanyakan, terutama untuk irigasi pertanian. Demikian terungkap dalam keterangan saksi ahli Gatot Irianto PhD dalam sidang perkara pengujian UU Sumber Daya Air terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, Selasa (14/12). Panel hakim dipimpin hakim konstitusi Prof Dr H Moh Laica Marzuki. Uji materi (judicial review) terhadap UU Sumber Daya Air diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh sedikitnya 16 organisasi nonpemerintah (ornop). Mereka menilai UU tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945. Hak guna usaha yang diatur dalam Pasal 9 UU Sumber Daya Air, menurut Gatot, membuka peluang bagi pihak swasta untuk menguasai sumber air yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, seperti digariskan dalam Pasal 33 UUD 1945. "Jelas akan terjadi komersialisasi. Akan tetapi, kontrol pemerintah terhadap sistem dan mekanisme dalam alokasi dan distribusi air inilah yang menjadi biang keladi kekhawatiran akan eksploitasi air yang berdampak terhadap sektor pertanian," tutur Gatot yang juga Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Ia menambahkan, petani tidak mungkin dapat berkompetisi dengan perusahaan air yang memiliki modal besar dan menguasai teknologi. "Industri air minum sudah powerful, akses teknologinya bagus, modalnya kuat, dan punya akses ke birokrasi. Itu tidak mungkin proporsional berhadapan dengan petani yang relatif miskin, tertinggal, dan pendidikannya terbatas," katanya. Gatot mengungkapkan hasil studinya pada beberapa daerah tangkapan air (catchment area) yang diambil airnya oleh perusahaan air minum, yang menunjukkan terjadinya penurunan intensitas tanam pertanian akibat kekurangan air irigasi. Pada waktu airnya belum dieksploitasi oleh PDAM, petani bisa menanam lima atau enam kali dalam dua tahun. Akan tetapi ketika airnya diambil, pasokannya untuk irigasi makin menyusut, dan akibatnya petani hanya bisa menanam tiga atau empat kali dalam dua tahun. Penguasaan air P Raja Siregar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan bahwa UU No 7/2004 itu memberi ruang yang luas bagi swasta untuk menguasai sumber air (air tanah, segala bentuk air permukaan, dan bahkan sebagian badan sungai). "Instrumen hak guna usaha dalam UU itu menjadi dasar alokasi dan penguasaan sumber-sumber air kepada swasta-individu dan badan usaha. Dapat dibayangkan bagaimana hak guna usaha air bagaikan pengaplingan sumber air oleh pemodal, layaknya hak pengusahaan hutan di sektor kehutanan," kata Siregar yang menjadi salah seorang kuasa pemohon judicial review UU Sumber Daya Air. Siregar menjelaskan, pengaturan dengan instrumen hak guna, mirip dengan instrumen water right dari Water Management Policy dari Bank Dunia. Instrumen yang sama juga telah didesakkan oleh Bank Dunia kepada Pemerintah Sri Lanka dalam penyusunan pengelolaan air dan irigasi pertanian pada tahun 1996. "Instrumen hak guna ini menjadi dasar pengelolaan air dan menjiwai sebagian besar pasal-pasal dalam UU Sumber Daya Air ini," ujarnya. Sementara itu, Amstrong Sembiring yang juga kuasa pemohon mengatakan bahwa konstitusi telah menggariskan secara tegas dan mencantumkan bahwa dasar demokrasi ekonomi Indonesia adalah kemakmuran bagi semua orang. Maka jelaslah, dengan menyerahkan penyediaan air kepada swasta atau pemilik modal perseorangan, apalagi pihak asing, tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. (LAM) Post Date : 15 Desember 2004 |