Hak Atas Air Warga Jakarta Dipertanyakan

Sumber:Kompas - 13 September 2011
Kategori:Air Minum

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Advokasi Hak atas Air mempertanyakan hak warga Jakarta atas air yang terabaikan dan menjadi rancu lantaran layanan yang tidak memenuhi standar. Akar masalah, menurut tim ini, adalah adanya swastanisasi atas air.

"Masalah air di Jakarta sebenarnya berawal dari privatisasi air sejak 1997," kata Tommy A.M. Tobing, kuasa hukum Tim Advokasi dari LBH Jakarta, dalam Konferensi Pers di LBH Jakarta, Selasa (13/9/2011).

Akibat penyerahan hak pengelolaan kepada pihak swasta, PT PAM Jaya, dan Pemprov DKI akhirnya terkesan lepas tangan terhadap permasalahan air yang menjadi hajat hidup warga. Tidak hanya itu, PT PAM Jaya, lanjut Tommy, harus menanggung kerugian yang dibebankan kepadanya oleh pihak pengelola akibat ketidakseimbangan yang mengikat kedua belah pihak dalam kontrak konsesi air.

"Pemprov DKI sangat dirugikan. Saat ini beban utangnya sebesar 348 Miliar. Jika dihitung sampai akhir kontrak pada 2022, bebannya sudah mencapai Rp 18 triliun," urai Tommy. Utang ini pun akhirnya dibebankan pada keuangan negara yang tidak lain dari hasil pembayaran pajak warga negara.

Sejak tahun 1997, penyediaan air minum bagi warga Jakarta ditangani oleh dua perusahaan, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta. Hal tersebut terikat dalam kontrak konsesi yang kemudian diperbaharui pada tahun 2001 .

Salah satu perjanjian yang disepakati adalah adanya penyesuaian tarif air tiap enam bulan. "Tapi sejak tahun 2007, Gubernur DKI menolak kenaikan tarif air," kata M. Reza, salah seorang anggota koalisi. Ia melanjutkan, Gubernur berpandangan, tarif air DKI sudah terhitung paling tinggi se-Indonesia dan termasuk mahal untuk kawasan ASEAN. Kerugian yang diakibatkan oleh penyesuaian tarif tersebut harus ditanggung oleh PT PAM Jaya atau Pemprov DKI.

Padahal, layanan air minum oleh kedua perusahaan pengelola terhitung belum memuaskan. Tingkat cakupan layanan, kata Reza, baru mencapai 60 persen warga DKI, dengan tingkat kebocoran air yang cukup tinggi, mencapai 40 persen.

Wanda Hamidah, anggota DPRD Provinsi DKI, menyatakan, seharusnya privatisasi air ditiadakan dari Indonesia karena hak warga atas air dijamin UUD '45. "Air termasuk hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat," kata Wanda. Ia menyayangkan ekses dari privatisasi yang berakibat warga terus-menerus dirugikan dan Pemprov DKI pun ikut dibebani utang yang terus menumpuk.



Post Date : 13 September 2011