Disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan kerangka teori hak asasi manusia dan teori hak kebendaan serta public trust doctrine. Fokus penelitian adalah mengkaji bagaimana hukum di Belanda, India dan Indonesia mengakomodasi gagasan hak asasi manusia atas air, baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan ataupun dalam putusan-putusan pengadilan. Hasil penelitian ini mendapati bahwa putusan-putusan pengadilan di India dan Indonesia mengakui adanya hak asasi manusia atas air dan mangatribusikan hak tersebut kepada hak hidup yang dijamin oleh konstitusi masing-masing negara. Sementara Belanda, hak asasi manusia atas air tidak pernah menjadi isu, sehingga tidak ditemukan adanya putusan pengadilan mengenai hal tersebut. Konstitusi Belanda sendiri, sebagaimana normalnya konstitusi negara demokrasi modern memberikan perlindungan atas hak-hak fundamental warganegaranya. Penelitian ini juga mendapati bahwa terdapat kesamaan prinsip yang dianut dalam Konstitusi Indonesia dan perkembangan hukum air di India yang berkembang dalam putusan-putusan pengadilannya. Konstitusi Indonesia menganut dua prinsip dasar berkaitan dengan air atau sumber daya air yaitu bahwa air adalah milik publik (public good) dan bahwa air “dikuasai oleh Negara”. Kedua prinsip ini adalah prinsip yang dikandung dalam public trust doctrine yang diakui eksistensinya dalam hukum air India melalui putusan-putusan pengadilannya. Kedudukan air sebagai benda publik ini telah memungkinkan pengadilan-pengadilan India menegakkan hak asasi manusia atas air, utamanya air yang bersumber pada lahan yang dimiliki oleh perorangan. Putusan semacam ini mengubah total paradigma common law yang semula menempatkan air tanah dalam rezim private property rights yang juga merupakan hak fundamental warga negara yang diakui baik oleh konstitusi India maupun Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 2005 bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya air (UUSDA). Oleh karena itu, saran dari hasil penelitian antara lain adalah bahwa masyarakat dapat melakukan setidaknya dua langkah atas itu: pertama, mengajukan uji materil atas PP 16/2005 ke Mahkamah agung dengan menjadikan putusan Mahkamah konstitusi sebagai alat bukti; kedua, mengajukan uji materil kedua atas UUSDA ke Mahkamah Konstitusi dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bukti baru yang menunjukkan bahwa pelaksanaan UUSDA bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas undang-undang tersebut. Ini dimungkinkan karena kesesuaian UUSDA terhdap UUD 1945, menurut Mahkamah Konstitusi, bersifat kondisional (conditionally constitutional).
Post Date : 13 Mei 2009
|