|
Lewat budidaya tanaman pepaya, Hadi Suroto yang hanya berpendidikan sekolah dasar bisa berpenghasilan ratusan ribu rupiah dalam seminggu. Hal itu merupakan hasil perjuangannya selama 25 tahun memanfaatkan limbah sayuran di pasar dan kotoran ternak sebagai pupuk. Awal terjunnya Hadi Suroto (69) dalam budidaya pepaya tak lepas dari kehidupannya yang selalu terjepit. Kemelaratan dialaminya selama 35 tahun tinggal bersama orangtua di Ponorogo, Jawa Timur. Hadi hanya mengenyam pendidikan setingkat sekolah dasar. Lulus sekolah, ia tak tahu mau bekerja di mana. Apalagi setelah dia menikahi Marmi (kini 50 tahun), tetangganya di desa, pada tahun 1971, kesusahan hidup semakin mengimpit. Sebuah tekad kuat mengantar Hadi dan Marmi merantau ke Kampung Nelayan di Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, tahun 1973. Pekerjaan awalnya sebagai buruh nelayan. Namun, penghasilan dari buruh nelayan jauh dari mencukupi kebutuhan hidup, terlebih setelah mereka mempunyai anak. Selama itu pula Hadi akrab dengan hidup susah. Sembilan tahun kemudian ia bertemu dengan Suyoto, Syahbandar Pelabuhan Kasang, Kota Jambi. Melihat kesulitan hidup Hadi, Suyoto menawari dia untuk menggarap sebuah kebun di Kampung Kebon Kolim, Kelurahan Tangkit, Kecamatan Sungai Gelam, Jambi. Di hamparan kebun seluas dua hektar itulah Hadi mulai bertanam pepaya jenis lokal. Seluruh bibit ia pungut dari kebun-kebun sekitar yang berbatasan dengan hutan. Lalu Hadi mengumpulkan kotoran ayam sebagai pupuk organik. Dari petugas sampah Selepas bekerja di pelabuhan, Hadi kerap mampir ke Pasar Angso Duo, Kota Jambi. Saat melihat sejumlah pekerja tengah membersihkan sampah sayuran di pasar, tebersit ide dalam benaknya. "Saya meminta tolong petugas sampah di pasar untuk mengantar sampahnya ke kebun pepaya. Saya tak punya banyak uang, tetapi saya hanya memberi mereka sebungkus rokok dan minum," tuturnya. Meski hanya dengan upah sebungkus rokok, petugas sampah di pasar tak keberatan mengantarkan limbah sayuran ke kebun Hadi. Sampah ini yang disebar ke sekeliling kebun, dua bulan setelah bibit pepaya tumbuh. Sampah-sampah itu tidak disebar di atas tanaman, tetapi hanya di tiap gang di antara batang-batang pohon pepaya. Hal ini agar suhu panas sampah tak mengganggu pertumbuhan tanaman, tetapi dapat menyuburkan tanah dan memacu pembuahan. Pada awal-awal penantian berbuahnya pepaya, Hadi sungguh-sungguh tak percaya. Dalam delapan bulan sejak ditanam, deretan tanaman pepaya telah menghasilkan buah yang berdaging tebal dan panjang. Berat pepaya per buah mencapai 3-4 kilogram. Sejak bertanam tahun 1982 hingga 1990, Hadi yang getol mengumpulkan bibit pepaya untuk ditanam berhasil menanam 500-an pohon pepaya. Produktivitas tiap pohon mencapai 20-an buah per minggu. "Dalam satu minggu saya panen sekitar 500 pepaya," tutur Hadi yang kulit tubuhnya menjadi legam kasar akibat sering tersengat terik matahari. Hadi semula hanya menjual hasil panennya ke pasar-pasar tradisional. Namun, sejak 1990-an produksi pepayanya diminati eksportir asal Batam dan Tungkal. Dari usaha kebun pepayanya itu, penghasilan ayah lima anak ini Rp 300.000- Rp 450.000 per minggu. Saat itu penghasilan tersebut terbilang besar mengingat harga pepaya Rp 600 per buah. Sedangkan kini harga pepaya mencapai Rp 3.000-Rp 3.500 per buah. Itu pun harga di kebun. Ikut bertanam Keberhasilan Hadi mengembangkan budidaya pepaya dengan pupuk kandang dan limbah sayuran dari pasar menarik minat masyarakat kampung nelayan yang dulu pernah tinggal bersama. Banyak warga kampung nelayan ikut pindah ke Kampung Kebon Kolim, dan bertanam pepaya. Sepanjang tahun 90-an itu, setidaknya ada 70-an keluarga secara bergelombang ikut bermukim di Tangkit, dan membuka kebun-kebun pepaya. Awalnya mereka menumpang atau menyewa tanah penduduk setempat. Saat budidaya pepaya membuahkan hasil, mereka mulai membeli sedikit demi sedikit lahan untuk dijadikan kebun. Hadi sendiri sudah memiliki hampir satu hektar kebun pepaya, yang kini juga ditanami pisang, jagung, dan sayur-sayuran. Pupuknya tetap limbah sayuran dan pupuk kandang. "Sekarang hampir seluruh keluarga sudah punya kebun pepaya sendiri. Saya juga mengajari mereka cara pemupukan yang pas dari limbah sayuran dan pupuk kandang," paparnya. Tahun 1984 Kampung Kebon Kolim menjadi lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Lokasi itu hanya berjarak 200 meter dari rumahnya. Tumpukan sampah di lokasi pembuangan ini dimanfaatkan masyarakat setempat menjadi pupuk tanaman. Sejak tahun 1999 Pemerintah Kota Jambi memindahkan TPA Kebon Kolim ke Kampung Talang Gulo. Namun, masyarakat tetap memanfaatkan sampah organik sebagai pupuk. Selain pepaya, mereka juga membudidayakan pisang dan sayur-mayur. Sekarang ini Kampung Kebon Kolim dipenuhi hamparan kebun-kebun pepaya dan pisang berselang-seling dengan permukiman warga. Gundukan tanah dipenuhi hamparan sampah sebagai pupuk dan di atasnya tumbuh tanaman pepaya setinggi rata-rata dua meter. Sebagian orang mungkin merasa risi melihat kebun-kebun berbau sampah. Namun, dari sampah inilah kehidupan warga dapat berlanjut, bahkan hingga generasi berikutnya. Selama 25 tahun menekuni budidaya pepaya, Hadi berhasil menyekolahkan lima anaknya, Rupingatin (33), Nurleli (30), Edi Saputro (23), dan Bambang Pranoto (18), hingga ke jenjang pendidikan menengah atas. Anak bungsunya, Nurul Kurnia (13), masih sekolah menengah pertama. Hadi membiayai semuanya dari limbah sampah. Lahir: Ponorogo, 1938 Istri: Marmi (50) Anak: Rupingatin (33), Nurleli (30), Edi Saputro (23), Bambang Pranoto (18), dan Nurul Kurnia (13) Pendidikan: Sekolah Rakyat, Ponorogo. Keberhasilan Hadi Suroto Bertanam pepaya dengan pupuk limbah sayuran dan kotoran ternak, mendorong semangat buruh-buruh nelayan di pesisir timur Jambi untuk ikut menjadi petani. Setidaknya sekitar 70 nelayan kemudian "banting setir" menjadi petani pepaya. Sebagian di antaranya bahkan berpenghasilan lebih besar daripada dia. Irma Tambunan Post Date : 19 April 2007 |