JAKARTA Tumpukan tahu goreng khas Kalisari disuguhkan kepada rombongan Kementerian Riset dan Teknologi serta Bupati Banyumas, yang mengunjungi Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Mei tahun lalu.
Pada hari itu pemerintah daerah meresmikan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) industri tahu yang telah diusahakan secara swadaya sejak 8 bulan sebelumnya.
Dua unit IPAL telah berdiri di perkampungan yang terkenal sebagai sentra penghasil tahu tersebut. "Proyek IPAL industri tahu di Banyumas adalah proyek percontohan untuk Indonesia," kata Arif Rahman, Kepala Bidang Penguasaan dan Pengembangan, Deputi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, kepada Tempo, dua pekan lalu.
Proyek yang masing-masing menelan biaya Rp 100 juta tersebut membawa misi penting: mengolah limbah air tahu menjadi ramah lingkungan sambil menangguk keuntungan ekonomi.
Selama ini warga Kalisari cemas akan limbah air tahu yang digunakan dalam proses pembuatan tahu. Hasil akhir proses pencucian sampai penumbukan kedelai tersebut mengandung gas berbahaya bagi lingkungan, seperti karbon dioksida, metana, sulfur, dan amoniak.
Air yang terkontaminasi gas beracun ini biasanya dialirkan begitu saja ke Sungai Kalisari, menyebar ke lahan pertanian dan peternakan ikan. Gas beracun tersebut menurunkan produktivitas pertanian dan perikanan warga desa lain.
Gas juga naik ke udara, menambah kandungan gas rumah kaca yang selama ini dikenal menjadi penyebab pemanasan global.
Pencemaran lingkungan oleh limbah air tahu ini terendus Kementerian. Di Indonesia, terdapat 84 ribu industri tahu dengan kapasitas produksi 2,56 juta ton per tahun.
Limbah yang dihasilkan produksi sebesar ini cukup signifikan mengganggu sektor usaha lain dan menyumbang pada pemanasan global. Delapan puluh persen industri tahu yang berada di Pulau Jawa menyumbangkan 0,8 juta ton CO2 ekuivalen setiap tahun.
Bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian mengembangkan IPAL industri tahu yang bisa menetralkan limbah dan menjadi sumber energi. Kabupaten Banyumas dibidik sebagai proyek percontohan.
Cara Kerja IPAL
Prinsip kerja IPAL industri tahu cukup sederhana. Air limbah dari unit industri tahu dialirkan ke kolam penampungan melalui jaringan paralon. Tempat penampungan diletakkan pada sepetak tanah yang dihibahkan pemerintah daerah. Kolam itu mampu menampung 1,2 ton air limbah setiap hari. Dari kolam, air limbah dipompakan ke bioreaktor.
Bioreaktor pada IPAL industri tahu menerapkan mekanisme "fixed bed reactor". Bioreaktor dibuat dari sebuah tabung penampungan yang sebagiannya ditanam di dalam tanah.
Tabung-tabung bambu kecil sepanjang 10 sentimeter dengan diameter 5-10 sentimeter dijejalkan secara teratur di dalam tabung reaktor. Tabung-tabung ini berfungsi sebagai tempat menempelnya mikroba pengurai gas beracun. Semakin banyak bambu, semakin besar luas permukaan tempat menempelnya mikroba.
Mikroba pengurai yang digunakan berasal dari mikroba pengurai pada kotoran kerbau. Bakteri itu sanggup melakukan proses degradasi anaerobik senyawa organik.
Proses degradasi inilah yang menguraikan gas metana dan karbon dioksida dari air limbah. Air limbah kini bersih dari gas beracun dan aman untuk dialirkan ke sungai.
Perjalanan gas metana belum berakhir. Gas itu dialirkan ke ruang penampungan gas berupa tabung serat karbon yang ringan tapi kuat. Tabung ini bersifat fleksibel sehingga bisa mengembang hingga dua kali lipat jika gas yang dihasilkan lebih besar dari daya tampung awal. Daya tampung tabung penampungan gas mencapai 20 meter kubik.
Dari tabung penampungan, gas metana dialirkan ke rumah warga sehingga bisa dimanfaatkan sebagai biogas untuk keperluan memasak. Setiap hari IPAL Desa Kalisari menampung 625 kilogram air limbah dari 15 unit usaha tahu dan mampu mengalirkan biogas ke 25 rumah di desa tersebut.
Uniknya, pengaliran air limbah dan gas pada keseluruhan proses dilakukan dengan cara alami. "Memanfaatkan prinsip gravitasi dan tekanan," ujar Arif. "Jadi tidak perlu energi listrik."
Minimnya konsumsi energi untuk menghasilkan biogas dari limbah air tahu membuat masyarakat tak lagi mengeluarkan ongkos untuk membeli gas yang setiap bulan bisa mencapai Rp 50 ribu per rumah.
Meski demikian, masyarakat masih memiliki kewajiban menyumbang uang sebesar Rp 10 ribu per bulan guna perawatan IPAL. Uang itu digunakan untuk membayar seorang tenaga pengawas yang menjaga jaringan IPAL bebas dari kerusakan.
Kementerian Riset dan Teknologi juga memberikan pelatihan dan buku panduan kepada warga untuk merawat IPAL. Warga juga diminta membentuk Paguyuban Biolita (Biogas Limbah Tahu) yang bertugas melakukan perbaikan swadaya jika terjadi kerusakan IPAL.
Menurut Arif, IPAL industri tahu juga memiliki keuntungan daripada tabung gas. Gas yang dialirkan ke rumah melalui IPAL industri tahu memiliki tekanan kecil sehingga lebih aman dari potensi ledakan. Kemungkinan terburuk, seperti kebocoran pipa, bisa diatasi dengan menyertakan katup yang bisa mengisolasi kebocoran gas.
Dalam dua tahun terakhir, Kabupaten Banyumas telah memiliki tiga unit IPAL industri tahu yang dibangun di Desa Kalisari dan Ciroyom hasil binaan Kementerian dan BPPT. Kesuksesan pembangunan IPAL menarik minat pemerintah kabupaten. Rencananya, pemerintah daerah juga membangun unit pengolahan limbah ini di sentra industri tahu lain di Kabupaten Banyumas.
Arif mengatakan semangat pembangunan IPAL limbah tahu ini akan terus disebarkan ke sentra tahu di daerah lain, mengingat masih banyak industri tahu yang belum mengolah limbahnya, seperti di Tegal, Pekalongan, Semarang, Cilacap, Sumedang, dan Bandung.
"Membangun IPAL akan mengurangi racun yang beredar di air dan udara sambil menikmati energi murah meriah yang aman," ujar Arif.
Memproduksi Biogas
Dalam proses pengolahan limbah tahu menjadi biogas, terjadi proses degradasi anaerobik senyawa organik. Bahan organik kompleks, seperti protein, lemak, dan karbohidrat, diubah menjadi bahan organik terlarut, glukosa, dan asam amino, melalui proses hidrolisis dan enzim ekstraseluler.
Senyawa organik yang telah diubah menjadi asam-asam volatil pada tahap asidogenesa diolah lagi menjadi metana pada tahap metanogenesa. Asam volatil utama yang menjadi substrat bagi bakteri pembentuk metana adalah asam asetat. Gas metana inilah yang digunakan menjadi biogas. ANTON WILLIAM
Post Date : 21 Juni 2011
|