Habis Banjir Terbitlah Pilkada

Sumber:Suara Publik - 01 Maret 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Banjir 2007 masih menyisakan duka dan setumpuk masalah bagi para korban. Namun tidak bagi para elit politik. Sejumlah kandidat gubernur pengganti Sutiyoso sudah bersiap menjalankan mesin politiknya. Bersama partai politik, para kandidat mulai menjajakan diri di depan publik. Sayangnya, konsep para calon tentang penanganan banjir masih tanda tanya besar.

Masa jabatan Sutiyoso sebagai Gubernur DKI dipastikan ikut tenggelam bersama Banjir 2007. Setelah dua kali menjabat gubernur propinsi Jakarta, purnawirawan Jenderal Angkatan Darat bintang dua ini harus menyerahkan kursi Jakarta Satu kepada penggantinya. Menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, masa jabatan Gubernur dibatasi hanya dua periode. Sutiyoso yang menjabat Gubernur DKI sejak 1997 akan mengakhiri dua periode jabatannya pertengahan 2007. Siapa kandidat yang akan mengambil tongkat kekuasaan Jakarta 1?

Di tengah kesedihan dan persoalan yang dihadapi warga korban banjir, mesin politik pencalonan gubernur DKI mulai menderum. Hal ini tampak dari ramainya pos-pos kesehatan korban berikut kibaran bendera partai politik di berbagai wilayah banjir. Partai Politik berkampanye? Mungkin tidak persis begitu. Namun sulit dipungkiri, pemasangan bendera dan simbol partai di banyak posko bencana, menunjukkan usaha partai politik agar diingat oleh masyarakat, minimal dalam hal penanganan bencana banjir. Tidak ada yang salah dengan itu. Makin banyak pihak peduli, semakin baik. Yang penting tidak ada pemaksaan atau intimidasi terhadap warga oleh pihak manapun.

Yang jadi masalah, jika terjadi pengkapling-kaplingan wilayah penanganan banjir oleh banyak pihak sehingga mempersulit upaya pemulihan dan penanganan. Dua minggu setelah banjir surut, masih banyak wilayah bekas banjir yang belum tertangani dengan baik. Jalanan masih dipenuhi sampah, bangunan rusak milik warga terbengkalai tak terurus, bantuan yang dijanjikan pemerintah tersendat disana-sini, warga keleleran di jalanan mengais bantuan umum, dan berbagai hambatan lain yang sulit ditangani sendirian oleh warga. Jika penanganan bencana rutin di ibukota Negara saja begitu semrawut, bagaimana di daerah?

Situasi itulah yang membuat akhir masa jabatan Sutiyoso sebagai Gubernur DKI terasa tragis. Gaung kesuksesan Sutiyoso memimpin Jakarta selama 10 tahun, seakan tenggelam ditelan kritik dan kekesalan warga korban banjir. Tetapi Sutiyoso membantah jika dikatakan tidak berbuat apapun untuk mencegah banjir. "Namanya musibah. Kapasitas yang disediakan Pemda tak sebanding dengan banjir yang datang," kilah Bang Yos saat mengirimkan 73 truk pengangkut sampah ke berbagai wilayah korban banjir. Di tengah hujan kritik dan ancaman gugatan korban banjir, Sutiyoso kembali melontarkan ide Megapolitan sebagai konsep penanganan banjir secara menyeluruh. Yang dimaksud ialah perbaikan lingkungan kawasan hulu seperti Depok, Bogor, dan Cianjur, serta penataan di wilayah hilir seperti Jakarta, Tangerang dan Bekasi.

Masterplan Penanganan Banjir 2003

Lontaran Sutiyoso mendapat sambutan pemerintah pusat. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan aparatnya agar menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2005 tentang kompensasi pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Macetnya upaya pembebasan kawasan Banjir Kanal Timur (BKT) selama lebih dua tahun rupanya membuat pemerintah pusat gerah. Belakangan, pemerintah propinsi DKI membuka kembali rencana induk (masterplan) penanganan banjir tahun 2003 yang melibatkan lima menteri dan tiga gubernur. Yaitu Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Bappenas. Sedangkan gubernur dari tiga propinsi meliputi DKI, Jawa Barat, dan Banten.

Sekretaris Daerah Pemerintah Propinsi DKI Ritola Tasmaya menjelaskan, masterplan yang dibuat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu berisi pengendalian tata ruang kota, perbaikan drainase, pembangunan volder, pembangunan situ-situ baru, pembangunan pemukiman untuk warga di bantaran kali, dan revitalisasi situ-situ dan sungai. Di dalam masterplan itu bahkan sudah diatur anggarannya secara detil. "Total anggarannya sekitar 64 Triliun, dengan perincian 16 triliun untuk penanggulangan banjir di Jabodetabek, Rp 48 Triliun untuk program penanggulangan banjir di daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang. Yang belum jelas, dari mana anggaran sebesar itu diperoleh dan siapa yang akan menanggungnya. Apakah pemerintah daerah -DKI, Jabar, Banten- atau sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah pusat?

Banjir dan Pilkada DKI

Di tengah hiruk pikuk penanganan masalah banjir, sejumlah elit politik melakukan persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2007. Di tengah masyarakat, sudah beredar sejumlah nama calon pengganti Sutiyoso. Diantaranya, Mayjen Purn. Bibit Waluyo (mantan Pangdam Jaya), Letjen Purn. Agum Gumelar (mantan Danjen Kopassus dan Ketua KONI), Komjen Polisi Adang Dorojatun (Wakil Kepala Polri), Fauzi Bowo (Wakil Gubernur DKI sekarang), Faisal Basri (pengamat ekonomi), dan Sarwono Kusumaatmadja (anggota DPD DKI Jaya). Para kandidat ini sedang mencari partai politik yang bisa dijadikan kendaraan untuk meraih kursi Jakarta-Satu.

Sampai pertengahan Februari, baru dua kandidat yang memastikan kendaraan politiknya, yakni Fauzi Bowo yang dicalonkan Partai Golkar, dan Adang Dorojatun yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun semua calon memiliki peluang sama, Fauzi dan Adang mengantongi keuntungan politik ekstra karena diusung parpol pemenang Pemilu DKI. Namun kandidat lain tak boleh dianggap remeh. Faisal Basri misalnya, beberapa kali tampil dalam debat publik di televisi untuk menyampaikan gagasannya tentang isu banjir. Calon gubernur lain Sarwono Kusumaatmaja, bahkan tampil pede dalam iklan layanan masyarakat di televisi bertemakan "kesiagaan warga menghadapi banjir". Adapun nama Agum Gumelar, belakangan meroket setelah memenangkan survei popularitas yang diadakan lembaga survei Sugeng Saryadi Syndicates.

Di tengah berbagai manuver politik para kandidat, publik sendiri tampaknya masih menunggu munculnya calon alternatif yang lebih baik dari Sutiyoso. Berbeda dengan pemilihan gubernur sebelumnya, Pilkada DKI 2007 akan berjalan dalam sistem pemilihan langsung oleh masyarakat. Disitu publik bisa memilih langsung calon yang disukainya, bahkan bisa mengalahkan suara dari partai politik. Sejauh ini belum jelas konsep yang diusung para kandidat mengenai apa yang akan dilakukan jika terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Belum jelas juga konsep mereka tentang penanganan banjir dan ancaman bencana lainnya. Yang pasti, warga Jakarta dan sekitarnya sudah lelah dengan ancaman banjir yang tiap tahun berulang. Tidak berlebihan jika warga berharap calon gubernur pengganti Sutiyoso mampu membuat Jakarta tidak lagi kebanjiran. Mungkinkah? (EM/dari berbagai sumber).



Post Date : 01 Maret 2007