MALANG(SI) – Penghargaan Adipura bagi Kota Malang tahun ini ternyata berbanding terbalik dengan fakta penanganan sampah.Dari tahun ke tahun jumlah sampah yang tak tertangani meningkat.
Setidaknya hal ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang yang terangkum dalam buku Malang dalam Angka 2008.Hingga 2007,jumlah sampah di Kota Malang yang mampu terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) mengalami peningkatan yang cukup tajam. Bahkan pada 2007,jumlah sampah yang tidak terangkut baik oleh swasta maupun pemerintah adalah 3.240 meter kubik dari total volume sampah pada tahun itu yang mencapai sebanyak 259.636 meter kubik.
Peran Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang dalam pengangkutan sampah ke TPA memang sangat besar. Setiap tahun volume sampah yang diangkut rata- rata di atas 240.000 meter kubik, sementara peran swasta masih sangat minim yakni rata-rata hanya mencapai 20.000 meter kubik/tahun. Kepala DKP Kota Malang Mardjono mengakui, masih banyaknya sampah yang menumpuk disebabkan terbatasnya armada pengangkut sampah yang dimiliki.
“Selain itu, juga ada problem letak geografis yang sulit terjangkau armada pengangkutan sampah,terutama di pinggiran Kota Malang,”terangnya. Untuk mengatasi problem tersebut, Mardjono mengaku saat ini pihaknya terus mencoba memaksimalkan program pembuatan kompos di masing-masing tempat pembuangan sementara (TPS) yang sudah berjalan selama empat tahun terakhir.Namun, program yang sebenarnya bertujuan untuk menekan jumlah sampah yang harus diangkut ke TPA tersebut saat ini terkendala dengan nilai jual kompos yang dihasilkan.
Harga kompos di pasaran ternyata hanya Rp150–300 per kilogram. Tahun lalu program pembuatan pupuk kompos masih dianggarkan pemerintah.Namun, tahun ini program ini harus bisa mandiri, yaitu dibiayai dari hasil penjualan kompos. Kondisi ini menurut anggota Komisi D DPRD Kota Malang Nurul Arba’ati harus mendapatkan perhatian serius dari Pemkot Malang agar masalah sampah ini tidak sampai menimbulkan problematika yang berantai di masyarakat.
“Kalau pengangkutannya terhambat, sementara sampahnya dibiarkan menumpuk di TPS tentunya bisa memicu pencemaran udara dan juga menimbulkan masalah penyebaran penyakit pada manusia,” ungkapnya. Solusi untuk mengatasi masalah sampah dengan program komposting, menurut dia,sudah sangat ideal, namun sayangnya program tersebut tidak berjalan secara berkesinambungan sehingga menjadi tidak bermanfaat. Masalah penumpukan sampah di dalam kota ini tentu saja ironis.
Sebab saat ini telah beroperasi laboratorium penangkap gas metan pertama di Indonesia TPA Supiturang Kota Malang.Laboratorium ini dibangun atas kerjasama segitiga antara Pemkot Malang,Univ-ersitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan BGP Engineering Belanda. Menurut Direktur Pusat Kajian Energi, Lingkungan dan Pembangunan Daerah UMM,Prof. Laode Kamaludin, alat beserta instalasi yang telah terbangun itu murni dana hibah dari BGP Engineering Belanda sebesar Rp1 miliar.
Dia mengemukakan, laboratorium penangkap gas metan di TPA Supiturang tersebut menggunakan teknologi tinggi yang dilengkapi solar sel dan komputer yang tersambung langsung ke internet Komputer tersebut, katanya, mampu merekam banyaknya gas metan yang telah terbakar dan data- data itu secara otomatis langsung ditransfer ke “reciever”UMM dan BGP engineer Belanda.
Ia mengakui,gas metan yang ditangkap melalui alat penangkap gas metan (flaring) dibakar dan menghasilkan CO2 yang mampu mencegah kerusakan alam dan pemanasan global. “Gas metan ini merupakan salah satu gas yang berbahaya yang memiliki daya rusak 21 kali lipat ketimbang CO2.Gas metan ini mampu merusak lapisan ozon sehingga harus diamankan,”katanya. Pembangunan laboratorium gas metan di TPA Supiturang tersebut dimulai awal November 2008 dan menurut rencana akan dikembangkan untuk pengolahan gas metan secara komersial,karena gas metan yang berhasil ditangkap mampu menghasilkan energi listrik.
Hasil penelitian yang dilakukan tim dari UMM bersama Belanda beberapa waktu lalu disebutkan, potensi gas metan yang dikelola melalui TPA Supiturang di Kota Malang, rata-rata mencapai 118,3 juta meter kubik per tahun untuk lahan seluas 5 hektare. Selain menghasilkan gas metan, TPA Supiturang juga mampu menghasilkan energi listrik minimal 5,6 juta Kwh per tahun dari volume sampah yang dibuang ke TPA rata-rata 700 sampai 800 meter kubik per hari dari 75 Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di daerah itu. (yuswantoro)
Post Date : 17 Juni 2009
|