|
Seorang wartawan yang bertugas di Sumatera mengungkapkan fakta menggelikan sekaligus getir. Masih ada anggota staf instansi lingkungan yang berpandangan, gas rumah kaca, penyebab utama pemanasan global, terbentuk oleh bangunan bertingkat berdinding kaca. Berlatar belakang pemahaman semacam itu, kata anggota staf instansi lingkungan tersebut, dampak pemanasan global tak perlu dikhawatirkan karena jumlah gedung bertingkat di kota itu dapat dihitung dengan jari tangan. Mengenaskan. Pemahaman sama pernah dijumpai di Jakarta, sebelum Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim, Desember 2007. Kini, lambat laun masyarakat sudah lebih paham. ”Salah pengertian mungkin karena pengindonesiaan gas rumah kaca yang kurang tepat. Atau, kurangnya informasi,” kata Manajer Program dan Informasi Komunikasi Yayasan Pelangi Gustya Indriani. Yayasan itu bertahun-tahun mengampanyekan pengarusutamaan mengenai perubahan iklim. Gas rumah kaca (GRK) merupakan terjemahan dari green house gases. Istilah green house gases dikenalkan pertama kali oleh Baron Jean Baptiste Fourier (1820), ahli matematika Perancis (Kompas, 11/9/2007). Konsentrasi gas rumah kaca bersifat menghambat radiasi matahari dari bumi ke angkasa. Akumulasi radiasi panas yang terjebak menyebabkan penghuni bumi seperti berada dalam mobil tanpa pendingin ruangan. Menurut Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC), GRK merupakan hasil kegiatan manusia terkait penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi dan industri, penggunaan peralatan elektronik, penggundulan hutan, dan kebakaran hutan. Karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<) merupakan salah satu unsur penting GRK. Karena itu, pola hidup yang menekan paparan CO>sub<2>res<>res< signifikan bagi kenyamanan bumi. Di samping upaya menekan emisi GRK secara global oleh PBB, upaya mengubah perilaku individu pun tak kalah penting. Hal termudah adalah menghemat konsumsi energi listrik, bahan bakar transportasi, dan plastik. Di bidang transportasi, yang termurah, pakailah kendaraan bermotor bila tak memungkinkan bersepeda atau jalan kaki. Yang lebih mahal, gunakan kendaraan bermotor berbahan bakar nonfosil. Hidup efisien Anda yang hobi berbelanja dapat terlibat dalam gerakan ”antipemanasan global”, misalnya jika tak mungkin naik kendaraan umum, gunakan satu kendaraan untuk banyak orang, dan bawa tas sendiri dari rumah. Pendek kata, seperti diungkapkan Koordinator Perubahan Iklim WWF Indonesia Ari Muhammad, ”Lebih tepatnya, hidup lebih efisien.” Tak nyaman dan ekstrem, itulah kesan keliru tentang hidup ramah lingkungan dan rendah emisi. Efisiensi dalam banyak hal, bagi siapa saja, sebenarnya bukan hanya irit pengeluaran. Dalam konteks pemanasan global, manfaatnya lebih dari itu. Hingga kini, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia berbasis bahan bakar fosil (solar dan batu bara). Standar ramah lingkungan bahan bakar motor pun masih rendah. Karena itu, efisiensi sedikit banyak berperan mengurangi paparan emisi GRK, sekaligus mengimbangi lambatnya pengembangan energi terbarukan. Pemerintah juga menyuarakan efisiensi, tetapi lebih dari sisi ekonomi. Sosialisasi soal pemanasan global masih kedodoran. Sukses mengurus Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim tahun lalu, pemerintah disibukkan serangkaian pembicaraan tingkat tinggi hingga tahun 2012. Di lapangan, sejumlah LSM mendampingi masyarakat. WWF tahun 2007 mendampingi masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Enam bulan kemudian, Gubernur NTB mengeluarkan surat keputusan pembentukan gugus tugas perubahan iklim di Lombok plus rencana aksi. ”Kami hanya mendampingi. Mereka sendiri yang terbuka dan mau menerima hal baru,” kata Ari. Wilayah Lombok rentan terhadap kenaikan permukaan laut sebagai dampak perubahan iklim. Dampak pemanasan global terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan sudah jelas. Maka, kerja keras diperlukan, lebih untuk mencegah dan mengantisipasi dampak. Peran Anda pun amat berarti. Amat sederhana: menyalakan lampu seperlunya.... GESIT ARIYANTO Post Date : 17 April 2008 |