|
Jakarta, Kompas - Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengakui Jakarta memang sudah tidak lagi mempunyai lahan yang memadai untuk membuang sampah. Jika dibiarkan, cepat atau lambat warga Jakarta akan tidur di atas tumpukan sampah. Karena itulah, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bojong diharapkan dapat mengolah sekitar 6.200 ton sampah warga Jakarta per hari dengan sistem teknologi tinggi. "Lahan yang kita miliki sudah dipakai oleh investor. Dalam pengoperasian TPST Bojong, posisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanyalah sebagai klien atau pengguna jasa dari PT Wira Guna Sejahtera," ujar Gubernur Sutiyoso dalam jumpa pers di Balaikota DKI Jakarta, Senin (29/11). Dalam kesempatan itu, Gubernur Sutiyoso juga mendatangkan truk sampah canggih yang direncanakan dapat mengangkut sampah menuju Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong tanpa bau busuk yang sangat ditakuti warga Bojong. Sutiyoso menjelaskan, penanganan sampah merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapi kota-kota besar, baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Luas lahan perkotaan relatif sempit, sementara jumlah sampahnya sangat besar, seperti volume sampah DKI Jakarta yang mencapai 6.200 ton per hari. "Kalau terus-menerus ditolak, kita mau melarikan (sampah) ke mana lagi?" tanya Sutiyoso yang menyayangkan terjadinya penolakan, bahkan kerusuhan yang menyebabkan korban luka-luka di TPST Bojong, Kabupaten Bogor. Sutiyoso mengatakan, kota-kota besar cenderung meninggalkan sistem penanganan sampah secara konvensional menuju sistem berbasis teknologi canggih. "Selama ini kita membuang di Bantar Gebang. Ribuan ton sampah itu masih ditangani dengan sistem sanitary landfill, sampah hanya ditimbun dan ditutup tanah," katanya. Ia menyesalkan sikap warga yang selalu menolak rencana uji coba TPST Bojong sehingga uji coba selalu tertunda. Penundaan terjadi demi stabilitas keamanan selama pemilihan legislatif dan presiden. Gubernur Sutiyoso juga menyayangkan kerusuhan yang terjadi di TPST Bojong. Terhadap tindakan anarkis tersebut, aparat yang berwenang diharapkan mampu mengusut tuntas peristiwa itu. Terutama, menangkap para pelaku dan mengungkap aktor intelektual kerusuhan itu. Secara terpisah, Kepolisian Resor (Polres) Bogor menyatakan pembuatan berkas Berita Acara Penyidikan (BAP) atas 18 warga Bojong yang diduga terlibat kerusuhan telah selesai. Berkas perkaranya sudah diserahkan ke Kejaksaan Ting- gi Bogor Senin kemarin. Ke-18 orang tersebut disangka ter- libat dalam peristiwa perusakan/pembakaran aset TPST Bojong pada 22 November lalu. Pihak Polres juga menyatakan, setelah kegiatan penangkapan pada 22 November itu, aparat kepolisian tidak melakukan penyisiran untuk menangkap warga Bojong lainnya. Untuk itu, warga yang merasa kehilangan anggota keluarganya pascabentrokan/penangkapan itu diimbau segera melapor ke Polres Bogor. "Tanggal 22 November kami memang mengamankan 35 orang yang diduga terlibat perusakan atau pembakaran TPST Bojong. Dari jumlah tersebut, hanya 19 orang yang terbukti memenuhi unsur untuk diproses secara hukum," jelas Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Muhammad Taufik. Dari 19 orang tersangka, ujar Taufik, satu orang atas nama Wawan proses BAP-nya belum selesai. Wawan juga diduga pernah terlibat kasus perusakan TPST Bojong pada tanggal 4 Oktober lalu. Maksimalkan saja Secara terpisah, Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih mempertanyakan, "Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak memaksimalkan saja pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang? Bantar Gebang sudah telanjur jadi tempat pembuangan sampah, kenapa DKI tidak pindahkan saja teknologi pengolahan sampah itu ke sana?" Berdasarkan evaluasi pemantauan TPA Bantar Gebang oleh Konsultan Independen pada tahun 2003, dengan asumsi reduksi sampah oleh pemulung 10 persen dan pemadatan 50 persen, penggunaan lahan TPA dengan ketinggian sampah 12-15 meter masih memiliki kapasitas 417-1.015 hari. Anggota Tim Konsultan Independen TPA Bantar Gebang dari Universitas Islam 1945 Bekasi, Nandang Najmulmunir, mengatakan, "Dinas Kebersihan DKI tampaknya ingin membuang sampahnya secara sapu jagad. Artinya, tidak ada upaya serius dari Pemprov DKI dalam menyortir sampah warganya, bahkan pengolahan sampah dalam skala kecil. Selama penanganan sampah masih seperti itu, ya tidak heran kalau warga lain menolak." Menurut Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Bekasi Dedi Djuanda, penolakan warga terhadap sampah terjadi karena masalah kebersihan lingkungan dan kesehatan diabaikan. Pemprov DKI maunya terima beres asalkan sampahnya bisa dibuang ke daerah lain. "Seharusnya Pemprov DKI berusaha keras mengubah pandangan masyarakat. Konsep TPA yang kerap dianggap jorok atau menjadi sumber penyakit harus diubah menjadi TPA yang teratur dan bersih sehingga tidak merugikan masyarakat," katanya. (ELN/RTS/OSA) Post Date : 30 November 2004 |