|
Lokasinya tidaklah terlalu besar, paling berkisar 330-an meter persegi dan berada di tepian sungai kecil. Dari jauh, sampah sudah terendus menyengat hidung. Enam atau tujuh orang, yang masing-masing menenteng karung dan ganco, berseri ketika melihat sebuah truk tua tersaruk-saruk pelan masuk tempat pembuangan sampah. Semuanya sigap menyambut. Tanpa dikomando, para pemulung, yang kebanyakan warga setempat, langsung merogoh barang-barang sisa itu berlomba dengan lalat yang juga tak mau ngalah. Tak ada rasa ragu, apalagi takut bau, kala mereka menyatu dan berada di tengah bukit sampah itu. Sesekali, satu dua orang melempar canda begitu kawannya mengangkat sebuah bung-kusan, yang ternyata isinya tak sesuai harapan. Seorang ibu menghumbar senyum karena di tengah potingan sayur dan buah-buahan busuk yang diacaknya itu, terlihat sebuah kain pel yang telah terlepas dari gagangnya, namun masih cukup oke. Setidaknya, oke menurut dia. Di sisi lain, pemulung lainnya, yang berusia tak lebih dari 18 tahun, terus mencandai kawannya sambil menyeret-nyeret keranjang di atas tumpukan sampah. Ini suasana yang tertangkapdi lokasi pembuangan sementara sampah ilegal di Desa Parigi Baru, Kecamatan Pondok Aren, Tanggerang. Disebut ilegal karena lahan yang tepatnya terletak di RT 02/06 ini, bukan ditunjuk pemerintah derah Kabupaten Tanggerang sebagai tempat pembuangan sampah, melainkan milik pribadi yang disewakan kepada perusahaan yang bekerja sama dengan pengembang untuk urusan pengelolaan sampah. Ditemui ANDBIN di lokasi, pe-ngemudi truk mengatakan, sampah-sampah yang dibawanya itu berasal dari beberapa perumahan di sekitar Serpong. Namun, yang terbesar adalah sampah dari perumahan Villa Melati Mas. Di-ambahkan lelaki ini, saban hari, ia mengangkut sampah ke Desa Parigi Baru sebanyak dua kali bolak-balik. Istilahnya, dua rit, kata dia. Sementara sang pemilik tanah, H. Suratman, mengatakan, awalnya, tawaran untuk memberdayakan lahan nganggur itu memang menarik. Ketimbang tanah tak terpakai, jadi Tempat Pembuangan Sementara (TPA) sampah, sepertinya boleh juga. Toh, ada uang tahan nafasnya atau kompensasi. Begitu pikir Suratman saat tanah miliknya ditawari untuk dijadikan TPS. Uang tahan nafas yang diterima Suratman senilai Rp. 500 ribu per bulan, terhitung sejak pertengahan 2004 silam. Sejak itu, maka berbondong-bondonglah sampah dilempar ke lokasi TPS ilegal tersebut. Dengan adanya tampat sampah itu, profesi pemulung mulai hidup di sekitar lokasi. Sebagian warga setempat memulung sampah yang dianggap masih layak untuk dijadikan duit kepada seorang bos, yang juga berkantor tak jauh dari Parigi Baru. Hasilnya, menurut beberapa pe-mulung, mencapai Rp. 100 ribuan per minggu. Kalau lagi bagus, bisa dapat Rp. 200 ribu seminggu, kata seorang diantara pemulung kepada ANDBIN. Tapi, namanya sampah, hanya pemulung saja yang kuat bernafas saat berada di tumpukannya. Lain itu, mungkin bisa berhenti bernafas sebentar. Tak heran bila belum genap setahun tempat sampah itu beroperasi, suara sumbang mulai mengitari lokasi. Termasuk Suratman, belakangan baru terasa, ternyata, tak enak tinggal berdekatan dengan lokasi pembuangan sampah. Rencana menutup usaha sampingan itu dilontarkan. Tapi, uang tutup hidung dinaikan menjadi Rp. 700 ribu per bulan. Tergodalah pria paruh baya ini. Namun, mengingat sampah-sampah itu terus menggunung, Suratman kembali cemas. saya pikir, sampah yang dikirim ke sini tidak banyak. Jadi, waktu ditawarkan untuk jadi tempat pembuangan sampah, saya setuju saja. Tapi, lama-kalamaan, ternyata, jumlahnya luar biasa besar hingga menggunung, ujar Suratman. Apalagi pihak kontraktor, yang mengelola sampah dari Melati Mas, tidak disiplin dalam membuang sampah. Artinya, sampah-sampah itu dibiarkan menumpuk begitu saja tanpa dipadatkan ke dalam tanah, hingga baunya menyebar kemana-mana, tandas Suratman, seraya menerangkan, ia tetap pada pendirian semula, dimana akan menghentikan aktivitas ini sebelum lewat bulan Juli. Saya sudah mempersiapkan bambu untuk membangun pagar di sekitar lokasi lahan TPS, agar tidak ada lagi yang bisa membuang sampah di sana. Terserah mereka mau membuang di mana. Informasi yang saya terima, mungkin, sampah-sampah tersebut akan dibuang ke sekitar Serpong, jelas Suratman dengan nada pasti. Ternyata, wangi uang tak lagi menarik ketika bau sampah mulai mendominasi udara. Pantauan ANDBIN di lokasi menunjukan, sampah-sampahdi sana memang sudah mulai menggunung. Sementara, lokasinya tak jauh dari tempat hunian penduduk serta bersebelahan dengan kali Baru, yang aliran airnya mengarah ke kali Angke. Jika pem-buangan sampah tidak dihentikan, bukan tidak mungkin, gunungan barang-barang sisa itu akan mengalami longsor yang berakibat menutup aliran air di kali Baru. Bila ini terjadi, maka siap-siaplah masyarakat desa Parigi Baru menerima kerugian yang lebih besar. Kalau itu terjadi, apakah pengembang anggaplah Melati Mas atau pemda Kabupaten Tanggerang, mau bertanggung jawab ? Kemungkinan terbesar hanya angkat bahu. Itu jawaban paling mudah dan paling sering kita terima dari pemerintah. Apalagi, pemda Kabupaten Tanggerang sendiri, hingga kini, hanya melakukan pengelolaan sampah dengan cara sanitary landfill yang dilakukan di TPA sampah di kawasan Mauk. Model incerator, sepertinya, belum cukup populer di kalangan pemda Kabupaten Tanggerang. Ini menunjukan, pertumbuhan kawasan Kabupaten Tanggerang yang melaju cepat belum diimbangi dengan keseriusan serta kejeliandalam membaca pergerakan teknologi dari aparatur pemerintahannya, terutama di sektor kebersihan. Lihat saja, TPS sampah ilegal masih bertaburan dimana-mana, seolah tidak pernah bisa dihentikan, termasuk oleh pemda. Sementara kita tahu, banyak cara yang lebih manusiawi dari yang sudah dilakukan banyak pihak saat ini. Post Date : 31 Juli 2005 |