Globalisasi Sampah Bekasi

Sumber:Majalah Tempo - 21 Juli 2008
Kategori:Sampah Jakarta

WALI Kota Bekasi Mochtar Mohamad sedang getol berburu sampah. Barang sisa enam ribu ton per hari dari dua juta warganya itu masih kurang. Itu sebabnya, ia memerintahkan anak buahnya membujuk Bogor agar membuang sampah ke wilayahnya.

Padahal, tujuh tahun lalu, ketika masih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bekasi, Mochtar paling nyaring menolak masuknya sampah dari Jakarta. Bahkan barang buangan Ibu Kota itu, selama sebulan, sempat dilarang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi.

”Kini saya menerima sampah dari daerah lain,” katanya, Kamis dua pekan lalu. Perubahan radikal ini terjadi setelah ia merasakan nikmatnya berjualan sampah. Bukan dengan mengumpulkan barang bekas untuk didaur ulang, tapi dengan menjual sertifikat pengolahannya dalam perdagangan karbon dunia.

Bekasi membakar metana yang dihasilkan sampah, sehingga menjadi karbon dioksida. Kegiatan itulah yang ditukar dengan uang. Ini ada kaitannya dengan Protokol Kyoto 2007, yang mewajibkan negara industri mengurangi emisi karbonnya. Upaya mengurangi pemanasan global itu tidak harus dengan memangkas produksi, tapi bisa dengan membeli kredit karbon dari negara lain.

Penghijauan atau pemeliharaan hutan merupakan kegiatan yang bisa diuangkan. Begitu juga dengan pembakaran metana, karena gas ini mempunyai daya rusak lapisan ozon 21 kali lebih dahsyat daripada karbon dioksida.

Masuknya Bekasi sebagai salah satu pionir pengurangan pemanasan global bermula dari kerja sama dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia dalam mengelola sampah di pembuangan Sumur Batu, Bekasi Selatan. Perusahaan Jepang yang meneken kontrak penjualan dua juta ton kredit emisi besertifikasi dengan Bank Dunia ini menanggung biaya operasional US$ 1,2 juta (Rp 11 miliar lebih).

Gikoko kemudian berhasil menggaet Netherlands Clean Development Mechanism Facility, yang siap membeli 250 ribu ton emisi setara CO2 hasil pemba-karan metana sampah Bekasi sampai akhir 2012. Dalam kerja sama yang diteken dua pekan lalu itu, pemerintah Bekasi mendapat bagian 17 persen. Dengan harga gas 10 euro per ton, Bekasi mendapat Rp 2,4 miliar per tahun.

Jatah Bekasi ini dibagi dua, yang 10 persen menjadi pemasukan daerah, dan sisanya disalurkan ke warga di sekitar Sumur Batu untuk program pengembangan sumber daya manusia.

Sampah di Sumur Batu itu dikelola dengan sistem landfill gas flaring. Cara yang digunakan cukup sederhana. Sampah ditimbun sampai setinggi 13 meter dan ditutup rapat dengan plastik tebal. Di bagian bawahnya tertancap pipa sampai ke tengah gunungan sampah. Gas yang masuk ke pipa dialirkan ke sebuah tabung berdiameter 5 meter sebelum dibakar di sebuah tanur dan dibuang ke udara.

Otak penggerak mesin pembakar metana adalah supply fan. Kipas itu berfungsi menyedot gas dan menyalurkannya ke tungku pembakaran. ”Sederhana sekali, tapi alat ini bisa bekerja 24 jam tanpa henti selama 15 tahun proyek beroperasi,” kata Neville Jolly, konsultan asal Australia yang bekerja di Sumur Batu.

Timbunan sampah yang gas metananya tersedot itu perlahan akan menyusut. Untuk menambah pasokan gas metana, sampah perlu ditambah terus-menerus.

Meski pengelolaan sampah Sumur Batu belum berjalan seratus persen karena menunggu validasi dari badan yang mendapat akreditasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Dudy Setiabudi sudah bisa sedikit lega. Kini ia tidak perlu pusing mengurus pengolahan enam ribu ton sampah setiap hari seperti sebelumnya, ketika buangan ini hanya ditumpuk, sehingga menimbulkan polusi.

Wajah Sumur Batu pun berubah jadi lebih rapi, tidak seperti tetangganya, Bantargebang, yang juga berada di Bekasi Selatan. Pembuangan sampah milik pemerintah Jakarta ini masih menggunakan metode lama, yaitu menutup timbunan sampah dengan tanah.

Karena penutupan dilakukan enam bulan sekali, gas metana dan bau meruap sampai belasan kilometer. Lagi pula, tidak ada jaminan air lindi, yang dapat merusak ekosistem dalam tanah, akan terbendung. Di samping itu, sampah yang terbuka menjadi tempat berkembangnya vektor seperti lalat, nyamuk, kecoak, dan tikus.

Pengelolaan model Bekasi ini sebenarnya bukan yang pertama di Indonesia. Gikoko tahun lalu melakukannya di Pontianak, dan proyek ketiga akan digelar di Makassar. Tapi, dari jumlah hitungan produksi, Bekasi paling tinggi, dengan target 300 ton kredit karbon per bulan, hampir tiga kali lipat dari yang dihasilkan Pontianak atau Makassar.

Upaya di Bekasi ini dipuji Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg. ”Pihak yang paling diuntungkan adalah Indonesia sendiri, karena mampu menemukan cara inovatif untuk meningkatkan pembangunan daerah serta ikut mengatasi persoalan pemanasan global,” katanya.

Pemerintah Bekasi rupanya tidak hanya ingin membakar metana. Mereka melangkah lebih jauh dengan menyiapkan proyek pembangkit listrik tenaga gas karbon dioksida di Sumur Batu. Menurut Deputi Menteri Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman, listrik yang dihasilkan bisa mencapai satu megawatt.

Ia berharap langkah Bekasi ini diikuti kota lain. ”Bayangkan jika semua kota di Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga sampah, berapa daya listrik yang dihasilkan. Hal ini akan mengurangi pasokan dari Perusahaan Listrik Negara,” katanya. Di samping itu, target pemerintah untuk mengurangi 17 persen emisi gas rumah kaca akan tercapai. Yudono Yanuar, Untung Widyanto, Hamluddin (Bekasi)



Post Date : 21 Juli 2008