|
Meski kini tertimbun sampah, berabad silam alur Sungai Ciliwung adalah urat nadi sekaligus pintu gerbang utama menuju pusat Kerajaan Pakuan Pajajaran di sekitar Bogor, Jawa Barat. Kejayaan kerajaan Hindu ternama di Pulau Jawa itu tidak terlepas dari kelancaran aliran Sungai Ciliwung yang menghubungkan pusat kerajaan dengan pelabuhan dagang Sunda Kelapa. Para pedagang datang dan pergi dari pusat kerajaan yang disebut oleh pengelana Portugis, Tome Pires, sebagai dayo (kemungkinan besar adalah dayeuh yang berarti kampung). Mereka bertemu dengan pedagang dari luar di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa dewasa ini. Sejarawan Adolf Heuken dalam Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta menegaskan, dalam prasasti Batutulis (1333 Masehi) tercatat tentang keberadaan Kota Pakuan Pajajaran di sekitar Bogor. Untuk bepergian ke arah pelabuhan, di masa itu orang menyusur jalan sampai Muaraberes lalu menyusur Ciliwung. Perjanjian Sunda-Portugis yang dilakukan sekitar tahun 1512-1521 menandakan peran penting Ciliwung. Pihak Pasundan meminta Portugis membangun benteng di ujung Ciliwung untuk melindungi jalur masuk-keluar kerajaan tersebut dari ekspansi Demak-Cirebon. Peran Sungai Ciliwung tidak sebatas sebagai sarana transportasi. Pengelana Belanda, Jacob Cornelisz van Neck, kapten armada Belanda kedua yang mencapai Nusantara pada tahun 1598, misalnya, mendapati sebagian besar penduduk di Jawa terutama di sekitar Sunda Kelapa yang kelak mereka sebut Batavia mengonsumsi ikan dan nasi (Indonesian Heritage terbitan Grolier tahun 1996). Ikan tersebut diperoleh dari laut, kolam, dan Sungai Ciliwung. Jan Pieterzoen Coen mendirikan Batavia tahun 1619 sebagai pusat perdagangan Belanda di Nusantara. Sekitar tahun 1730, sekeliling kawasan muara Ciliwung berkembang pesat menjadi Kota Batavia yang sudah tersohor sebagai Ratu dari Timur (Queen of the East). Posisi strategis Sunda Kelapa dan Bogor dipertahankan oleh kolonial Belanda dan Inggris. Pelabuhan dagang setelah Banten jatuh dipusatkan di Sunda Kelapa, sedangkan pusat pemerintahan di Bogor (Buitenzorg). Meski Belanda piawai dalam sistem pengairan dan membangun beragam kanal di Batavia, kerusakan lingkungan mulai terjadi. Salah urus pengelolaan lingkungan terjadi akibat perambahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung untuk pengembangan industri gula dan mengakibatkan wabah malaria sekitar tahun 1790. Akibatnya, kawasan Kota Tua di sekitar Museum Fatahillah sekarang ini ditinggalkan penduduk. Mereka, terutama orang Belanda dan Eropa, hijrah ke daerah selatan Jakarta di sekitar Weltevreden (belakang Istana Merdeka hingga Stasiun Gambir). Seiring dengan pembangunan Jalan Pos semasa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), transportasi darat mulai berkembang dan menjadi pilihan lebih cepat untuk transportasi dari Batavia ke pusat pemerintahan di Buitenzorg. Tetapi kondisi Ciliwung masih bisa dibilang normal meski banjir tahunan mulai muncul di Batavia, yang saat itu mendapat julukan sebagai Venesia van Oost alias Venesia dari Timur. Hingga pertengahan abad silam, tahun 1940-an, wartawan Alwi Shahab dalam Robin Hood dari Betawi menulis, sungai masih jernih sebagai tempat mandi, mencuci, dan mengambil air wudu. Itulah masa-masa keemasan Ciliwung dari masa Kerajaan Pajajaran hingga runtuhnya kolonialisme Belanda. Jalur sampah Sampah dan Ciliwung menjadi bagian tidak terpisahkan dalam perjalanan Indonesia modern. Masyarakat yang tak peduli serta pemerintahan yang tidak berdaya dan tidak memiliki visi melengkapi proses kehancuran lingkungan Sungai Ciliwung. Penyusuran Ciliwung di tengah musim hujan lalu membuktikan betapa tidak pedulinya masyarakat dan pemerintah. Sepanjang perjalanan dari arah Cawang hingga Kampung Melayu (5 kilometer), tumpukan sampah dan tempat pembuangan sampah resmi menghiasi tebing dan tepian Ciliwung. Beberapa petugas kebersihan memarkir gerobak sampah dan membongkar muatan di tepi sungai. Sampah pun langsung masuk sungai. Timbunan sampah itu langsung berbatasan dengan permukiman sehingga tidak banyak ruang hijau tersisa. Padahal, di sela-sela sampah dan permukiman masih tersisa rumpun bambu, tebing batu, dan kerimbunan Batavia tempo doeloe. Kondisi masa lalu itulah yang seharusnya dikembalikan untuk meminimalisasi atau menghentikan bencana tahunan yang sudah menjadi ikon Jakarta. Anggota Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta Sarwono Kusumaatmadja yang memimpin rombongan menjelaskan, upaya revitalisasi Ciliwung selama ini baru menyentuh kawasan selepas Pintu Air Manggarai hingga muara. Padahal, inti persoalan banjir terdapat di daerah hulu Ciliwung. Kawasan pinggiran sungai perlu ditata ulang dan masyarakat terutama di bantaran Ciliwung diajar untuk berpartisipasi menjaga lingkungan. Pemerintah juga harus membuat kebijakan terintegrasi dengan wilayah lain, seperti Bogor dan Cianjur, katanya. Langkah awal yang dilakukan Sarwono, selain penyusuran sungai dan sosialisasi, revitalisasi bertahap dilakukan di sekitar kawasan Kota Tua. Paguyuban Kota Tua yang dimotori Jakarta Old Town Kotaku menyambut baik upaya revitalisasi tepian dan sungai Ciliwung. Sebelumnya, upaya percontohan sudah dilakukan di Kalibesar dan berhasil membersihkan wilayah itu dari sampah. Tahap kedua adalah pembersihan sungai dekat pecinan, Pancoran-Glodok. Inisiatif ini diharapkan akan memicu masyarakat yang selama ini langsung terkena dampak dari minimnya kesadaran dan ketiadaan ketegasan dari pemerintah. Ciliwung seharusnya kembali menjadi salah satu urat nadi kehidupan Jabodetabek dan bukan sekadar menjadi saluran limbah bersama. Sungai adalah salah satu ikon kota besar. Bangkok dengan Chao Praya, Seoul dengan Han, Ho Chi Minh City dengan Mekong, dan sederet nama sungai selalu tampil bersama kebesaran kota yang dialirinya. Akankah nama Ciliwung bersanding dengan kebesaran Jakarta? Iwan Santosa Post Date : 23 Februari 2006 |