|
Dalam konteks adaptasi terhadap perubahan iklim, yang diperlukan sekarang ini sebenarnya adalah perubahan dalam seluruh gaya hidup bangsa ini, mulai dari birokrasi di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sektor swasta, hingga masyarakat pada umumnya. Termasuk di sini adaptasi dalam cara berproduksi dan berkonsumsi. i sektor pertanian, adaptasi ini berarti diversifikasi dalam hal produksi atau usaha tani serta diversifikasi dalam konsumsi pangan. Dalam produksi, adaptasi yang dilakukan meliputi, antara lain, perubahan pola tanam, pemilihan varietas baru, pengenalan teknologi (misalnya bagaimana memanen air/water harvesting) serta sistem tanam yang lebih efisien dalam penggunaan air, pupuk, lahan, dan pakan ternak. Selain itu, tak kalah penting adalah repositioning terhadap mereka yang mengalami dampak paling parah dari perubahan iklim. Dalam hal ini adalah petani dan nelayan skala kecil yang tidak berdaya. Perubahan iklim yang ekstrem tidak memungkinkan lagi bagi pertanian pangan kita untuk terus bergantung pada pertanian sawah yang sangat rentan pada perubahan iklim. Dalam kaitan konsumsi, adaptasi antara lain dilakukan dengan mendorong diversifikasi pangan dengan menghidupkan kembali sumber-sumber kalori alternatif nonberas, seperti jagung dan sagu. Dalam hal ini, diversifikasi konsumsi pangan hanya bisa kita lakukan jika kita berhasil melakukan diversifikasi produksi. Pencetakan sawah Salah seorang panelis menyebut salah satu contoh "tidak nyambung-nya" pusat dan daerah adalah soal perlunya perubahan pola tanam untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim. Pemanasan global menuntut dilakukannya adaptasi seperti diversifikasi produksi, termasuk dengan mengurangi ketergantungan pada sistem bertani sawah yang, selain boros air, juga menyumbang besar pada emisi metana, salah satu gas rumah kaca. Anehnya, ada tuntutan dari pusat kepada daerah yang didukung dengan alokasi dana dekonsentrasi untuk perluasan sawah atau pencetakan sawah baru dalam skala besartermasuk dengan menebang hutanguna mendukung pencapaian target produksi beras nasional. Terlihat di sini pesan tidak sampai. Antara kebijakan pusat dan implementasi di daerah tidak sinkron sebab Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) bukanlah kepanjangan tangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Bahkan, di sejumlah daerah tidak ada Bappeda. "Bappeda seharusnya nyambung dengan Bappenas. Mulai dari yang sederhana, yakni target pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai jika daerah-daerah melakukan A, B, C, D, dan seterusnya. Kemudian baru turun dari pertumbuhan ekonomi ke target produksi, target pangan, target strategi pola tanam, strategi mitigasi. Jadi nyambung antara pendanaan dengan strategi dan implementasi di daerah," ujar seorang panelis. Jangankan antara pusat dan daerah, beberapa panelis melihat antarkompartemen dalam satu departemen kadang kala belum satu pendapat. Bahkan, para birokrat sendiri belum semuanya memiliki pemahaman yang benar dan sama mengenai isu pemanasan global. Tidak sedikit di antara mereka yang masih melihat isu perubahan iklim ini sebatas sebagai isu lingkungan. Akibatnya, belum ada sinkronisasi antara perubahan iklim dan perencanaan program pembangunan atau sistem ekonomi. Argumennya adalah, bukan hanya petani yang masih perlu belajar soal adaptasi, tetapi juga aparat dan sistem birokrasi. Kalaupun ada kementerian atau departemen yang lebih siap, katakanlah Kementerian Negara Lingkungan Hidup, masih ada kekhawatiran rencana aksi yang disusun institusi itu akhirnya hanya masuk laci. Peran swasta Salah satu yang juga masih menjadi pertanyaan terkait upaya mitigasi dan adaptasi nasional adalah peran swasta yang sejauh ini belum jelas. Di kalangan industri, terutama industri perkebunan dan kehutanan, memang sudah ada yang sangat sadar dengan isu pemanasan global dan dampaknya. Akan tetapi, kepedulian mereka masih terbatas atau terperangkap pada kepentingan sempit. Sekarang ini ada kesan para pemilik konsesi dan perkebunan berlomba-lomba mengambil keuntungan dari proses perdagangan karbon (carbon trade). Namun, secara umum, perilaku sehari-hari mereka dalam memperlakukan alam tak berubah. Istilah seorang panelis, mereka menjadi agen global dan mendadak jadi "pedagang arang fiktif" sehingga yang terjadi adalah perluasan kapital yang tidak ada hubungannya dengan adaptasi perubahan iklim. Mereka yang merusak hutan justru yang paling diuntungkan dari perdagangan karbon ini. Ironisnya, yang digadaikan atau dihipotekkan juga hutan tropis yang mereka jarah. Sementara itu, tidak mungkin tidak melibatkan mereka dalam gerakan nasional mitigasi dan adaptasi ini jika sejumlah besar lahan hutan di Indonesia sekarang dikuasai oleh para pemegang konsesi yang hanya segelintir orang tersebut. Ada nuansa ketidakadilan di sini. Menurut seorang panelis, harus ada suatu mekanisme yang mengatur, misalnya, industri-industri yang tidak layak diberi insentif tidak perlu didukung kebutuhan energinya. Sebaliknya, ada industri-industri tertentu yang justru harus didorong, misalnya pertanian. Sikap tidak tanggap terhadap isu perubahan iklim juga ditunjukkan oleh sektor keuangan. Contohnya, perbankan belum terlihat responsnya. Di sejumlah negara lain, industri perbankan sudah sangat tanggap terhadap perubahan iklim. Ini, antara lain, terlihat dari adanya proyek-proyek terkait konservasi lingkungan yang bisa dijadikan kolateral. "Di sini, boro-boro jadi kolateral, diundang rapat untuk ini saja susahnya minta ampun. Jadi, memang butuh waktu untuk mengintegrasikan isu perubahan iklim ini ke dalam isu pembangunan," keluh seorang panelis. Di pihak pemerintah sendiri, kontradiksi juga terlihat dalam kebijakan antardepartemen. Contoh paling nyata adalah benturan kepentingan antara Departemen Kehutanan, Departemen PU, Departemen Perhubungan, dan Departemen ESDM terkait proyek-proyek pertambangan atau infrastruktur dengan konservasi hutan. Contoh lain, di Bappenas sendiri tidak ada suatu kerangka kebijakan perluasan perkotaan atau industri yang bisa dipertanggungjawabkan. Semua departemen yang portofolionya ikut bertanggung jawab dalam kaitan isu pemanasan global pun begitu terfragmentasi. Semua memiliki konsep dan sistem pengetahuan mengenai tata ruang sendiri, kebijakan sendiri-sendiri, yang tidak jarang berbenturan. "Adaptasi ini harus merupakan sebuah pembaruan yang betul-betul bermakna di dalam modalitas pengaturan struktur mekanisme dari perluasan ekonomi," ujarnya. Pemanasan global tidak mungkin dicegah sehingga, mau tidak mau, sistem ekonomi kita memang harus beradaptasi dengan kondisi perubahan iklim yang ada. Yang diperlukan sekarang ini adalah semacam penyadaran bersama (mass education). Bahkan, ada usulan skema-skema belajar bersama atau social learning scheme secara institusional, dikombinasikan dengan pendekatan di luar birokrasi, karena jika hanya mengandalkan pada birokrasi, dalam kondisi seperti sekarang ini akan sulit membuat gerakan cepat. Kebijakan adaptasi yang akan disusun tidak hanya tidak boleh sektoral, tetapi juga harus benar-benar menyangkut persoalan struktural. "Jika tidak, akhirnya seperti pendekatan terhadap bencana, sifatnya emergency terus," ujar seorang penanggap. Dalam kaitan ini, diperlukan komitmen penuh dari semua pihak terhadap pemulihan ekosistem dan sustainabilitas dari fisiologi ekosistem sebagai semacam visi baru bangsa ini. Hal ini mengingat di semua tempat dan pulau, proses perusakan secara sistematis terhadap hutanyang sudah dimulai sejak era Orde Baru melalui program Revolusi Hijauterus berlangsung hingga sekarang. Pendeknya, yang diperlukan adalah suatu gerakan sosial skala nasional, mulai dari level akar rumput, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, pendidik, hingga mereka yang ada di birokrasi dan pucuk pimpinan bangsa ini. Ini yang belum terlihat. Oleh Sri Hartati Samhadi Post Date : 01 Desember 2007 |