GEOMATIKA MENCARI LOKASI PEMBUANGAN SAMPAH IDEAL

Sumber:Republika - 26 Maret 2010
Kategori:Sampah Jakarta

Tempat pembuangan sampah atau lokasi pengelolaan sampah terpadu (LPST) sering kali menjadi masalah. Volume sampah bertambah setiap harinya, sedangkan lahan pembuangan sampah semakin menyempit dan terbatas.

Apalagi, tempat pembuangan sampah mengeluarkan bau menyengat dan tak sedap sehingga mengganggu pemukiman yang terletak di sekitarnya.Masalah lain yang muncul belakangan ini adalah musibah longsor di beberapa LPST. Misalnya, seperti terjadi di Leuwi Gajah-Bandung dan di tempat pembuangan akhir (TPA) Galuga-Bogor, Jawa Barat.

Rendahnya kualitas bangunan fisik di TPA juga dapat berkontribusi terhadap masalah ini. Musibah di TPA Galuga Bogor mungkin akan dapat dicegah, jika aspek teknis dan etika kerja lebih diperhatikan.

Untuk mencegah kecelakaan terjadi lagi di masa depan, maka diperlukan berbagai aturan. Aturan ini mulai dari pembuangan sampahnya, pemulung, hingga pengaturan pengelolaan sampah. Pada saat yang sama didapatkan volume yang lebih besar dari sampah yang dapat di-recycle . Aturan kedua adalah untuk bangunan-bangunan fisik di areal TPA. Yang ketiga, aturan untuk jangka panjang guna mencari lokasi TPA ideal.

Menurut peneliti Bidang Geografi di Balai Penelitian Geomatika, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Kris Sunarto, pemilihan lokasi untuk TPA ideal sudah ada ketentuannya. Hanya, untuk pemilihannya memang harus mempertimbangkan beberapa aspek teknis yang perlu melibatkan teknologi untuk mempermudah penelitian yang dilakukan.

Lokasi cadangan sangat perlu dicari guna mengantisipasi TPA Galuga yang sering didemo dan menurut Sistem Informasi Geografi (SIG) memang tidak sesuai. Galuga dekat dengan sawah potensial, sungai, wilayah yang sempit, dan dekat dengan pemukiman. Di Bantar Gebang, walaupun telah kontrak 20 tahun lagi, selalu mendapat ancaman tutup, sementara LPST Nambo belum beroperasi.

Pemilihan lokasi

Lokasi TPA ideal harus memperhatikan tidak cuma kapasitas lahan yang mampu menampung sampah sekian tahun ke depan, tetapi juga faktor lingkungan fisik dan sosial yang mendukung. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mencari lokasi TPA ini adalah dengan teknologi geomatika.

''Teknologi geomatika melibatkan data dari penginderaan jauh ( remote sensing ), analisis multikriteria dengan sistem informasi geografi (SIG), dan penentuan posisi dengan GPS,'' kata Kris beberapa waktu yang lalu dari Bakosurtanal, Cibinong, Bogor, Jawa Barat.

Dengan teknik ini, maka di satu daerah dapat diketahui apakah di sana sesuai lokasinya untuk LPST. Kesesuaian itu dilihat berdasarkan aturan-aturan yang sudah digariskan untuk penentuan lokasi tempat pembuangan akhir. Penelitian yang dilakukan Bakosurtanal dengan bantuan hibah dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) mengambil areal percontohan di daerah Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi TPA sampah yang kini sedang dibangun di Kabupaten Bogor adalah di kawasan Nambo. ''Jika sudah dapat dioperasikan, ada kemungkinan Galuga akan ditutup,'' kata Kris.

Bakosurtanal mengkaji lebih jauh dan rinci di daerah Bogor Barat, tepatnya di Cigudeg-Jasinga. Daerah itu dilihat dari beberapa ciri dan ketentuan dalam penetapan LPST. Syarat-syaratnya adalah daerah yang jauh dari pemukiman, tidak di lahan yang subur atau tanah pertanian, tak boleh dekat sungai atau sumber bahan baku air bersih, porositas tanah yang kecil, melihat pertimbangan hidrologi, dan kelerengan tempatnya tak lebih dari 20 derajat. ''Persyaratan-persyaratan itu sudah merupakan standar nasional Indonesia (SNI), bahkan juga internasional.''

Dalam mengkaji daerah tersebut, Kris juga memasukkan kriteria-kriteria lain yang masuk dalam persyaratan internasional untuk pemilihan LPST. Kriteria-kriteria itu antara lain, jauh dari lapangan terbang, jauh dari gedung-gedung pemerintahan yang penting, tidak searah aliran angin, dan lain-lain. ''Kita juga harus melihat bahwa secara geografis dan penginderaan jarak jauh, serta GPS, bahwa lokasi itu dekat dengan sumber sampah. Ini adalah untuk memperhitungkan masalah angkutan dari sumber sampah ke LPST,'' jelasnya.

Selain itu, sambungnya, untuk LPST diharuskan memiliki daerah penyangga ( buffer area/zone ).  Buffer zone itu harus dipastikan agar kesesuaian LPST tetap terjaga dan tidak ada upaya legal dan administrasi yang membuat LPST itu terganggu. Contohnya, adanya upaya mendirikan pemukiman di sekitar daerah LPST, di saat lokasi itu sudah menjadi tempat pengelolaan sampah. Dewi Mardiani



Post Date : 26 Maret 2010