SEMARANG, KOMPAS - Genangan rob atau limpasan air laut pasang di Kota Semarang wilayah utara mencapai 2.115 hektar atau naik dari genangan pada tahun 2007 yang masih seluas 1.556 hektar. Pembangunan dan pengambilan air bawah tanah di kawasan itu dibatasi untuk mengurangi laju penurunan tanah.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Perencanaan, Pengembangan Wilayah, dan Infrastruktur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang Nurkholis di Kota Semarang, Jumat (21/5), menyebutkan, genangan rob di Kota Semarang semakin parah. Areal yang tergenang rob semakin luas.
"Kawasan Pasar Johar, misalnya, baru sekitar tiga tahun terakhir tergenang rob. Di tempat lain, genangan rob semakin meluas ke selatan," kata Nurkholis.
Kawasan yang paling luas terkena rob adalah kawasan di sekitar Kali Tenggang (532,19 hektar di enam kelurahan) serta di Kelurahan Tanjung Emas, Semarang Utara (384,34 hektar).
Semakin luasnya genangan rob itu, menurut Kepala Bidang Penanganan Sengketa Lingkungan dan Pemulihan Kualitas Lingkungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang Gunawan Wicaksono, terutama disebabkan oleh kenaikan muka air laut dan penurunan tanah. Di Kota Semarang, muka air laut meningkat 8 milimeter per tahun, sedangkan permukaan tanah turun 3,5-10 sentimeter per tahun.
"Namun, ada juga sebab-sebab lain, seperti pembangunan yang marak sehingga membebani tanah, sistem drainase yang buruk, dan tingginya sedimentasi di saluran air. Itu semakin memperparah rob," kata Gunawan.
Ada enam sistem drainase di Kota Semarang yang terdiri atas 22 subsistem drainase. Namun, secara umum, kondisi 22 sungai tersebut bermasalah dengan tingginya sedimentasi sehingga tidak mampu menampung debit air.
Menurut Nurkholis, sistem yang paling tepat untuk mengatasi rob dan banjir di Kota Semarang adalah dengan sistem polder. Pemkot Semarang memulai tahun 2009 dengan megaproyek penanganan banjir senilai Rp 1,7 triliun. Rob yang terjadi di kawasan Semarang Utara akan diatasi dengan Polder Banger yang persis seperti sistem polder yang ada di Belanda.
"Kami juga membatasi pembangunan gedung tinggi di wilayah utara Semarang. Pembangunan gedung tinggi membuat beban tanah makin tinggi. Pengambilan air bawah tanah juga dilarang di wilayah itu," ujar Nurkholis. (UTI)
Post Date : 22 Mei 2010
|