Prihatin atas bahaya sampah perkotaan, sejumlah warga masyarakat dan puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Masyarakat Korban Sampah (Markosam), Senin (21/2) lalu mengelar Garebeg Sampah.
Mereka mengarak gunungan yang berbahan sampah mi instan setinggi dua meter dan menghabiskan 4.382 bungkus mi instan dari kompleks Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara menuju ke Balai Kota Yogyakarta.
Selain mengarak gunungan sampah, peserta membawa juga poster dan spanduk yang berisikan pesan adanya ancaman sampah perkotaan yang butuh perhatian bersama. Ingatkan bahaya daya tampung tempat pembuangan sampah (TPA) Piyungan yang usia teknisnya hanya sampai 2012.
Secara simbolis, gunungan sampah itu diserahkan ke Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto sebagai bentuk keprihatinan dan desakan agar kebijakan pemerintah kota terbitkan aturan pengurangan sampah di perkotaan.
"Kami ingin ingatkan pemerintah tentang bahaya sampah jika tidak dikelola dengan benar, perencanaan konkret pengurangan sampah mendesak dilakukan," kata Agus Hartono, Ketua Masyarakat Korban Sampah (Markosam) di sela aksi.
Agus yang aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) Lestari itu menjelaskan satu perhatian kebijakan yaitu pemerintah kota perlu mengeluarkan aturan yang bisa menekan produksi sampah plastik dari aneka ragam kemasan makanan yang dijual bebas.
Sampah plastik, kini menjadi masalah nasional yang serius. Soal produksi sampah plastik itu, yang kini jadi masalah bersama di perkotaan. Hingga kini belum ada kebijakan pengelolaan yang tegas, program konkret pengurangan sampah sesuai UU 18 Tahun 2008.
Sorotan besar, toko-toko sudah saatnya tak lagi memberikan pembungkus plastik secara gratis. Penggunaan plastik sebagai kemasan makanan seperti perusahaan mi instan, harus perhatikan dampak lingkungan. Apalagi untuk satu merek saja seperti Indomie misalnya, memproduksi kemasan sebanyak 15 miliar dalam satu tahun.
"Mereka menjual isinya saja, mi instan. Pembungkus plastik sebagian besar tidak terolah oleh konsumen dan menumpuk di tempat pembuangan sampah. Mereka menanggung untung, sementara masyarakat mendapat masalah sampah yang menggunung," katanya.
Kebijakan pengelolaan sampah harus melibatkan seluruh stakeholder, lembaga swadaya yang peduli sampah dan masyarakat sebagai produsen sampah. Pemerintah Kota Yogyakarta untuk bisa fasilitasi penerapan teknologi dan label produk yang ramah lingkungan, fasilitasi lebih banyak aktivitas pengguna daur ulang dan pemasaran produk daur ulang.
"Itu sesuai Pasal 20 ayat 2 UU 18/2008. Kami berharap ada juga ketegasan larangan terhadap toko dan pusat perbelanjaan untuk memberikan tas kresek secara gratis dan mengimbau penggunaan bahan daur ulang," kata Agus.
Soal pengelolaan sampah di kota-kota Indonesia hingga kini belum sesuai dengan amanat UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Tingkat produksi sampah di perkotaan sudah pada tahap memprihatinkan. Bahkan jika tak ada pengelolaan pengurangan produksi sampah maka ancaman banjir sampah di Kota Yogyakarta setelah 2012 semakin nyata.
"Kami waswas soal itu, karena hingga kini belum ada solusi konkret masalah tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Piyungan, Bantul," kata Agus.
Pilah Sampah hingga Bank Sampah
Bambang Suwirda, pengelola Bank Sampah di Badegan, Bantul yang turut dalam aksi menyatakan kebijakan pemilahan sampah harus selalu disuarakan, Pemerintah Kota Yogyakarta perlu ajak masyarakat di perkotaan mau memilah, memilih, dan mendaur ulang sampah. Sampah yang terpilah baik organik maupun anorganik sebenarnya bisa memberikan keuntungan.
"Harus ada perubahan perilaku di masyarakat perkotaan. Mereka perlu sadar ada nilai ekonomi yang bisa didapat, asal ada pengelolaan yang tepat. Praktik memilih, memilah dan mendaur ulang, memanfaatkan kembali hingga adanya bank sampah itu contoh hal yang bermanfaat," kata Bambang.
Hendro Plered, warga Bantul yang turut serta dalam aksi menyatakan soal TPA Piyungan harus mendapat perhatian segera. Pengurangan produksi sampah perkotaan harus segera dilakukan.
"Saya tiap hari menjadi korban banyaknya pengiriman truk sampah ke TPA di Bantul, apalagi kalau pas hujan dan baunya menyengat," kata Hendro.
Ia meminta ada upaya konkret untuk mengurangi sampah, di sisi kebijakan ada aturan tegas soal pengelolaan sampah dan masyarakat diajak juga lebih bijak kelola sampah dengan tidak menambah produksi sampah.
"Memulai memilah, memilih, dan tumbuhkan budaya daur ulang sampah perlu dilakukan," katanya.
Menanggapi aksi Markosam, Suyana, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta kepada Jurnal Nasional mengatakan soal kebijakan pengurangan sampah perkotaan sebenarnya sudah ada upaya meninggalkan pola lama, yaitu dari kebijakan kumpul, angkut, dan buang ke TPA.
"Sumber sampah itu dari rumah tangga, kami punya program ke tiap kelurahan, rumah tangga agar mereka mau kelola, pilah sampah terlebih dahulu sebelum dikirim ke titik kumpul, tempat pembuangan sampah," kata Suyana, Rabu (23/2).
Pemerintah Kota Yogyakarta sejak dua tahun terakhir sudah alokasikan anggaran untuk pelatihan pemilahan, pemanfaatan sampah daur ulang di titik kumpul dan rumah tangga.
Hasilnya sudah ada pengurangan volume sampah perkotaan, setidaknya itu bisa terlihat dari data produksi sampah perkotaan, pada 2004-2005 terdapat 300 ton/hari dikirim ke TPA Piyungan, Bantul.
Hingga akhir 2009 lalu hanya 285 ton sampah per hari yang diangkut ke tempat pembuangan sampah akhir. Secara bertahap, program pengurangan sampah ditargetkan pada 2011 bisa turun hingga 30 persen.
"Ada program pengelolaan sampah organik di tingkat komunal dengan memperbanyak komposter. Tahun 2011 ini kami anggarkan Rp700 juta untuk ajak warga masyarakat kelola sampah mandiri," katanya.
Guna mengurangi produksi sampah, kini disiapkan Peraturan Wali Kota untuk kebijakan kelola sampah perkotaan. Kajian akademis untuk peraturan daerah juga sudah siap sebenarnya, namun karena tidak masuk dalam program legislasi daerah, proses legislasi masih menunggu.
"Memang perwal belum keluar, karena masih dalam proses penyusunan," kata Suyana.
Post Date : 24 Februari 2011
|