NIAT Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel) menggandeng investor asal Singapura untuk mengelola sampah warga kota tersebut dinilai mengada-ada. Selain tidak ada dana alokasi dari Bank Dunia untuk pembangunannya, pengelolaan sampah berbasis teknologi mutakhir membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk operasionalnya. Pemkot Tangsel dinilai sedang berhalusinasi tentang persoalan sampah ini.
Menurut konsultan masalah sampah perkotaan, Sodik Suhardianto, mengurusi sampah tidak semudah yang dibayangkan. Terlebih, jika tidak ada uluran tangan dari Bank Dunia mengenai pengelolaan sampah ini termasuk jika ingin menggunakan teknologi mutakhir. "Ini hanya sebuah jalan keluar dan penyederhanaan pemikiran mengenai sampah oleh pemkot," kata Sodik, Minggu (14/2).
Untuk penyediaan tempat pengelolaan sampah terpadu dan berteknologi mutakhir, kata konsultan persampahan Dinas Kebersihan DKI ini, diperlukan dana miliaran rupiah serta wajib ramah lingkungan dan sesuai UU No 18 Tahun 2008 Tentang Pengolahan Sampah.
"Semua itu belum termasuk biaya operasional pengelolaan sampah yang jumlahnya cukup besar. Karena itu harus diterapkan tipping fee atau retribusi sampah. Sehingga patut dipertanyakan jika Pemkot Tangsel ingin menggandeng investor Singapura untuk mengelola sampah mereka. Kalau memang ada, investor tadi akan mengambil keuntungan melalui retribusi yang dipungut," tutur Sodik.
Dicontohkan Sodik, untuk menghadirkan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Ciangir yang dibangun Pemerintah Kabupaten Tangerang dan DKI memerlukan waktu yang lama.
Sebelumnya Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tangsel, Didi Supriadi Wijaya mengatakan, kerja sama dengan investor Singapura untuk membangun TPST Cipeucang siap ditandatangani.
Pemkot Tangsel, kata Didi, tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk pembangunannya. "Hanya menyediakan lahan dan membenahi infrastruktur jalan dan jembatan," kata Didi. Penandatanganan kerja sama yang sedianya dilaksanakan Rabu (10/2) pekan lalu diundur dengan alasan masih dalam pembahasan.
Upaya ini menurut Didi ditempuh karena pemerintah daerah ini memang tidak memiliki cukup dana untuk membuat TPA sendiri. Investor tersebut menurut Didi mendapat keuntungan dari listrik yang dijual. Padahal, menurut Sodik, jika listrik laku dijual, uang yang diperoleh masih jauh dari cukup untuk menutupi biaya operasional.
Post Date : 15 Februari 2010
|