|
BOGOR, (PR).- Ratusan orang yang mengaku warga Desa Bojong Kec. Klapanunggal dan Forum Keluarga Karyawan (FKK) Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong berunjuk rasa ke DPRD Kab. Bogor, Rabu (24/8). Para pengunjuk rasa menuntut Pemkab Bogor segera mengoperasikan TPST Bojong dengan harapan mereka bisa mendapatkan lapangan pekerjaan dari TPST tersebut. Selain itu, mereka juga meminta dewan untuk memfasilitasi pertemuan antrawarga yang pro dan kontra TPST. Pasalnya, hingga saat ini situasi di Desa Bojong sangat tidak kondusif. Bahkan warga yang berselisih faham mengenai TPST, satu sama lain masih saling melakukan intimidasi. "Saat ini situasi di desa sangat kacau. Antartetangga saling mencurigai. Bahkan ada anak dan bapak saling bermusuhan karena beda pendapat mengenai TPST. Karena itu, kami menuntut kepastian mengenai kelanjutan TPST ini," ungkap salah seorang anggota FKK TSPT Bojong, Edy. Saking tidak kondusifnya, sambung Edy, beberapa pekan silam ada Satpam PT Wira Guna Sejahtera (WGS) yang dibacok warga kontra TPST. Kejadian itu sudah dilaporkan secara resmi kepada polisi. Namun, hingga sekarang laporan itu belum ditindaklanjuti. Inginkan pengusaha datang Menanggapi tuntutan itu, seorang anggota Komisi A, Johny Tambunan mengatakan, dewan belum bisa mengakomodasi keinginan warga karena Direktur PT WGS sebagai pengelola TPST tidak pernah mengindahkan rekomendasi dari DPRD Kab. Bogor. "Kami menginginkan pengusaha yang datang kemari untuk bermusyawarah, bukan menjadikan warga dan karyawan sebagai martir," ujar Tambunan. Menurutnya, sejak awal PT WGS telah menyalahi aturan. Sebab, izin prinsip dan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dikantongi PT WGS saat ini adalah untuk tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Padahal, yang ada di lapangan sekarang ini berupa tempat pengolahan sampah terpadu (TPST). Karena itu, sebelum TPST diujicobakan, dewan telah merekomendasikan supaya aspek perizinan direvisi terlebih dahulu. Pertimbangan lain, lanjut Johny, kapasitas mesin di TPST Bojong hanya untuk mengolah 500 ton sampah/hari. Padahal, rencananya sampah yang akan diolah di tempat tersebut tidak kurang dari 2.000 ton/hari. Selain itu, PT WGS hanya memiliki satu mesin pengolahan, sehingga jika mesin macet, maka sampah yang sudah telanjur datang ke tempat itu bakal menumpuk tidak terolah. Hal-hal semacam itu, kata Tambunan, tidak bisa dibicarakan hanya bersama masyarakat dan karyawan. Melainkan harus dimusyawarahkan dengan pengusaha dan pihak eksekutif. "Sejauh ini eksekutif dan pengelola TPST Bojong terkesan tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan persoalan ini," timpal Sekretaris Komisi A, Lulu Azhari Lucky. Meski begitu, kata Lulu, faktor utama mengapa uji coba belum bisa dilakukan adalah pertimbangan keamanan. Sekarang ini situasi di Desa Bojong masih ada gejolak, sehingga uji coba tidak bisa dipaksakan. Mendengar jawaban seperti itu, para pengunjuk rasa tampaknya tidak puas. Setelah pertemuan dengan dewan berakhir, mereka bergerak ke kompleks perkantoran Sekretariat Daerah (Setda) Kab. Bogor untuk menyampaikan aspirasi yang sama. Namun, sebelum para pengunjuk rasa berhasil masuk ke ruang lobi perkantoran, sejumlah pasukan Dalmas dari Polres Bogor langsung membentuk barikade tepat di pagar gerbang. Para pengunjuk rasa akhirnya hanya bisa berteriak-teriak memanggil para pejabat untuk menemui mereka. Meski begitu, tak satu pun pejabat Pemkab Bogor yang bersedia menemui. Akhirnya polisi berinisiatif menyediakan kendaraan untuk memulangkan mereka ke tempat asalnya. (A-106) Post Date : 25 Agustus 2005 |