|
JAKARTA seperti tak habis dirundung masalah. Setelah banjir pada pertengahan Januari, kini Jakarta dan beberapa kota lainnya diserang wabah demam berdarah dengue. Wabah ini seakan terulang setiap tahun, dan sepertinya kemampuan warga dan pengelola kota untuk memutus mata rantai perkembangan sumber penyakit ini sudah tidak optimal lagi. Kota seakan sudah berubah menjadi sarang berkembangnya berbagai penyakit yang mengancam jiwa para penghuninya. Kita seakan lupa bahwa korban jiwa berupa kematian dan kerugian harta benda di Jakarta serta kota lainnya akibat wabah penyakit semakin meningkat dibandingkan kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kriminal, atau bencana banjir dan kebakaran. Wabah berbagai penyakit akibat kelalaian atau ketidakmampuan menjaga kebersihan lingkungan seakan menjadi ancaman yang menghantui semua strata sosial yang memilih tinggal di Jakarta. Benarkah Jakarta sudah berubah menjadi kota yang sakit dan bagaimana mewujudkannya sebagai kota yang sehat? Secara sederhana, kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga mampu menghasilkan kehidupan kota yang berkualitas dari berbagai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan budayanya. Kualitas kehidupan yang optimal akan menghasilkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik kota. Dengan demikian, wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Perhatikanlah kota-kota yang menjadi pusat-pusat kegiatan internasional. Daya tarik kotanya dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah pilihan warga dunia untuk mendatanginya. Sehatkah posisi Jakarta saat ini? Jika posisinya diperbandingkan dengan kota-kota lain di kawasan Asia Timur, sulit diprediksikan Jakarta akan meraih rating terbaik. Dilihat dari fenomena pertumbuhan kota, keadaannya sudah semakin padat dan sesak. Kualitas lingkungannya semakin sulit terjaga. Buruknya kualitas lingkungan menjadikan kota ini mudah dijangkiti berbagai penyakit lingkungan dan sosial. Penyakit demam berdarah, diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta meningkatnya angka bunuh diri adalah cerminan buruknya kualitas lingkungan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan rendahnya rasa kepedulian warga terhadap pemeliharaan lingkungan akibat semakin padatnya tingkat permukiman dan buruknya sistem prasarana dan sarana kota serta layanan sosialnya. Jika warga menderita sakit demam berdarah akibat semakin buruknya lingkungan kota, dapatkah dia menuntut gubernur? Belajar dari pengalaman class action warga dalam kasus banjir Jakarta 2002, sulit rasanya warga melalui pengadilan dapat menghukum gubernur. Bentuk tanggung jawab gubernur kepada warga melalui Pemerintah Provinsi DKI saat ini dilakukan dalam bentuk bantuan biaya pengobatan gratis untuk warga miskin, penyemprotan, penyuluhan, dan pembagian serbuk abate. Sementara bentuk perlindungan keselamatan jiwa dari ancaman sebaran penyakit tidak terjawab hingga saat ini. Kasus nyawa yang hilang dan rasa takut yang mencekam oleh gigitan nyamuk, jawabannya diserahkan kepada masing-masing pribadi. JIKA nyamuk dianggap sama dengan manusia, seharusnya nyamuk dapat dianggap sebagai pelaku kriminal karena telah membunuh manusia. Pelaku kriminal harus dihukum, maka konsekuensi hukumnya nyamuk dapat langsung dibasmi atau dijatuhkannya sanksi hukum yang keras dan tegas bagi siapa saja warga Jakarta dan aparaturnya yang tidak menjaga kebersihan lingkungan. Kebersihan lingkungan tidak terwujud mungkin karena sebagian jiwa warga kota banyak yang sakit akibat tekanan lingkungan. Kota yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa yang sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya. Wabah penyakit merupakan cermin kegagalan koordinasi manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dan manajemen pemeliharaan lingkungan kota. Layanan kesehatan bertindak untuk kepentingan individu pasien, yaitu bagaimana menyembuhkan. Untuk mencegah penyakit pasien, sulit untuk sepenuhnya dilakukan karena terkait jenis penyakit, karakteristik sosial warga, dan kondisi lingkungannya. Sementara manajemen lingkungan kota lebih banyak sibuk dengan masalah teknis artifisial kota. Penataan kota hanya untuk "kosmetika" wajah kota dan dilakukan pada lingkungan tertentu saja. Sementara bagaimana membasmi jutaan jentik nyamuk yang sudah bersarang di lingkungan padat dan kumuh hanya sebatas wacana yang kemudian hilang seiring dengan pergantian musim dan berkurangnya jumlah pasien. Tindakan nyata secara sungguh-sungguh hanya dilakukan jika telah mencapai kondisi kejadian luar biasa. Nyawa manusia yang terselamatkan terlambat dilakukan dan jumlah yang mati dihitung dengan statistik, untuk selanjutnya kepentingan perencanaan tindakan selanjutnya. Kota kembali kehilangan potensi sumber daya manusianya. Kegagalan demi kegagalan program serta bertambahnya wabah penyakit tidak memberi banyak pelajaran bagaimana membangun suatu komunitas kota yang sehat dan bebas dari ancaman penyakit. Kematian demi kematian warga hanya dianggap sebagai urusan pribadi dan keluarga. Sumber daya manusia dan besarnya investasi yang telah ditanamkan untuk mengembangkannya hilang tidak terhitung. Siapakah yang harus bertanggung jawab untuk mencegah berlarutnya masalah ini. Mengapa kita gagal meniru cara China dalam penanganan kasus penyakit SARS. Pemerintahnya memburu warga yang sakit untuk dirawat di rumah sakit khusus untuk mencegah penularan. Mereka sangat peduli, apakah kepedulian kita harus menunggu bencana besar lagi yang harus datang? Yayat Supriatna Staf Pengajar Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta Post Date : 15 Februari 2005 |