|
AWALNYA dua orang ahli sampah milik Indonesia ini hanya teman kuliah. Buku catatan kuliah mengakrabkan mereka. Lalu mereka menikah dan menjadikan sampah sebagai bagian hidup keduanya. PROF Dr Ir Enri Damanhuri (55) dan Dr Ir Tri Padmi (54) adalah pasangan suami-istri yang menggeluti sampah sejak akhir 1970-an. Sejumlah penelitian tentang desain tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, limbah, dan biogas telah mereka lakukan. Kini Enri dikenal sebagai ahli desain TPA dan menjadi Koordinator Kelompok Keahlian Pengelola Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya, serta dosen di Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan Tri menjabat Kepala Laboratorium Buangan Padat dan Bahan Beracun Berbahaya dan dosen di institut yang sama. Saat ini keduanya hampir selalu tampak bersama-sama aktif memecahkan masalah TPA Leuwigajah setelah tragedi longsor sampah Senin (21/2). Enri dan Tri tergabung dalam Tim Satuan Tugas ITB Peduli Leuwigajah dan Bandung Raya. Setelah tragedi longsor di TPA Leuwigajah, Enri mengaku mendapat banyak surat elektronik dari peneliti sampah di luar negeri yang berminat meneliti TPA Leuwigajah. Bulan Maret ini ia kedatangan peneliti dari Jerman dan Jepang. ENRI dan Tri bertemu di ITB pada tahun 1969 saat keduanya menjadi mahasiswa Teknik Penyehatan, ITB (kini berubah nama menjadi Teknik Lingkungan). Selama kuliah, Enri yang mengaku malas mencatat sering mendekati Tri untuk meminjam buku catatan kuliah. Lama-lama hubungan berperantara buku catatan itu berubah menjadi hubungan percintaan. Tri lulus tahun 1974. Enri baru lulus setahun kemudian. Mereka langsung bekerja sebagai asisten dosen di almamaternya. Pada tahun 1977 keduanya memutuskan menikah. Pasangan ini dikaruniai dua anak, Arvinda Tri Pradopo (lahir tahun 1978) dan Ayudia Tri Wardhani (1988). Awalnya, Enri dan Tri memilih bidang persampahan agar tidak terlalu banyak pesaing dalam karier walaupun saat itu sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu diperhatikan. Bidang-bidang lain di Departemen Teknik Lingkungan, seperti bidang kajian air dan udara, memang sudah banyak ditekuni senior mereka. Sementara bidang persampahan di ITB hanya digeluti dosen mereka, Ir Moch Masduki Hardjosuprapto. "Kami juga kasihan melihat Pak Masduki bekerja sendiri, lagi pula perlu ada regenerasi," papar Tri. Tahun 1981 keduanya berangkat ke Perancis untuk mendalami sampah untuk jenjang S-2 di Ecole Nationale des Travaux Publics de Letat (ENTPE), Lyon, Perancis. Lalu Enri dan Tri melanjutkan pendidikan S-3 mengenai limbah dan pencemaran di Universitas Paris 7, Lyon, Perancis. Enri memfokuskan diri ke kajian landfill termasuk biogas dan air sampah, sedangkan Tri mendalami penguraian sampah. Keduanya memilih Perancis karena pengolahan sampah di negara tersebut sudah maju, dan yang paling penting, ENTPE memberikan kesempatan kuliah bagi dua orang. "Karena saat itu kami sudah berkeluarga dan punya seorang anak, jadi kami harus pergi bersama-sama," kata Enri. Enri dan Tri kembali ke Bandung tahun 1988. Sebelumnya, sambil kuliah mereka bekerja sama dengan Kementerian Riset Perancis untuk meneliti geolingkungan Leuwigajah sekitar tahun 1986. KERJA sama dengan Perancis diteruskan dengan membuat proyek percobaan sanitary landfill atau pengolahan sampah dengan perlengkapan teknis untuk melindungi lingkungan, di TPA Pasir Impun, Bandung, di atas tanah seluas 1,4 hektar pada tahun 1988-1989. Salah satunya dengan melakukan penutupan sampah serta pengolahan biogas dan air sampah. "Kami membangun dengan sungguh-sungguh. Tenaga kerja di TPA tersebut sarjana. Kami melakukan rapat setiap hari untuk menentukan sel mana yang dijadwalkan ditimbun sampah hari itu," kata Enri. Sampah di TPA ditutup dengan tanah setiap hari. TPA juga dilengkapi pipa pengevakuasi biogas serta kolam oksidasi untuk menetralkan air sampah sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar. Mereka juga mengoordinasi dan melatih pemulung bekerja bersama dengan mereka. Petugas menyalakan peluit sebagai tanda pemulung bisa menyerbu sampah yang baru dituang. Pada peluit yang kedua pemulung akan lari menyingkir karena sampah akan segera diratakan dengan buldoser. Enri mengenang, proyek percobaan ini sering dijadikan tempat berkunjung pejabat. Namun, setelah percobaan selesai, sistem yang sudah mereka selesaikan bersama para ahli dari Perancis itu diubah menjadi sistem open dumping atau sekadar menumpuk sampah. Saluran air sampah bocor, bau busuk tercium ke mana-mana, dan masyarakat mulai protes karena sumber air tercemar. Meski kecewa, mereka tidak berhenti melakukan kajian soal sampah. Enri dan Tri sempat berkeliling Indonesia untuk menghitung sampah tiap kota di Indonesia. Penelitian mereka menghasilkan rumus timbunan sampah di Indonesia yang dapat menentukan volume sampah yang dihasilkan tiap orang dalam sehari. Dari situ akan didapatkan volume sampah sebuah kota. Setelah tragedi Leuwigajah, keluarga Tri dan Enri justru tidak punya sampah. Mereka membuat kompos sederhana di rumah menggunakan tong sampah tertutup yang berlubang. Sampah kering mereka pisahkan dalam karung dan diberikan kepada pemulung. PADA masa kecilnya, Tri yang asli Solo tetapi menetap sejak kecil di Bandung itu memiliki cara sederhana untuk mengurusi sampah keluarga. Ayahnya yang seorang militer membuat lubang di pekarangan rumah untuk menimbun sampah keluarga. Sementara itu Enri, yang berasal dari keluarga pesantren di Madura dan menetap di Jakarta sejak kecil hingga SMA, semasa kecil bersama sepupu-sepupunya punya kebiasaan yang dilakukan sambil bermain. "Saya sering membawa pagar bambu runcing dan menancapi daun di pekarangan, lalu mengumpulkannya di sebuah tempat," kata Enri seraya menambahkan meski kedua anaknya tidak tertarik mendalami sampah, mereka tetap disiplin menjaga lingkungan. Tri mengatakan, pendidikan lingkungan sebaiknya diajarkan kepada anak sejak dini sebab anak-anak sangat cepat mengaplikasikan pelajaran yang didapatnya. (y09) Post Date : 26 Maret 2005 |