|
Bandung, Kompas - Rencana Pemerintah Kota Bandung mengolah sampah menjadi energi listrik belum tentu menguntungkan secara ekonomi. Pemerintah tetap harus menutupi 75 persen dari dana yang dibutuhkan. Kondisi ini diperparah dengan kualitas sampah di Kota Bandung. Demikian diungkapkan Prof Dr Ir Enri Damanhuri dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (29/6). "Walaupun disebut pengolahan sampah akan menghasilkan energi listrik, maksimum hanya menghasilkan 25 persen dari dana yang dibutuhkan. Tidak bisa biaya listrik untuk mengembalikan modal, itu tidak mungkin," katanya. Pernyataan Enri ini sudah dibuktikan secara empiris. Dalam proposal tentang pengolahan sampah yang pernah dipresentasikan di hadapan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta, Enri menjelaskan bahwa kualitas sampah di Kota Bandung masih kurang bagus. Sampah di negara industri seperti China yang kemudian menghasilkan energi listrik setidaknya memiliki nilai kalor (panas) minimal 1.500 kilo kalori (kkal) per kilogram. Selain itu, kapasitas sampah minimal 100 ton per hari, kadar air kurang dari 50 persen, bagian kombustibel minimal 35 persen, dan dioperasikan terus- menerus. Dengan kriteria seperti itu mampu dihasilkan 16-22 megawatt (MW) energi listrik per 1.000 ton sampah. Padahal, menurut hasil penelitian Enri, kadar air sampah di Kota Bandung mencapai 57 persen. Nilai kalornya mencapai 1.600-3.200 kkal per kilogram dan kombustibelnya 58-93 persen. Dengan kondisi sampah seperti ini diperkirakan setiap 1.000 ton sampah hanya mampu menghasilkan energi listrik sekitar 5 MW hingga 7,5 MW. Sebagai perbandingan, beban puncak untuk Kota Bandung mencapai 4.000 MW. Satu kecamatan memerlukan 2 MW. Dengan energi yang dihasilkan dari sampah itu, paling tidak cukup untuk menerangi tiga sampai empat kecamatan. "Itu pun kalau kualitas listriknya layak. Padahal yang dihasilkan nanti belum tentu layak," ujar Enri. Rencana Pemkot Bandung, pabrik sampah menjadi energi listrik ini akan mampu mengolah 1.500 ton sampah yang dioperasikan selama 24 jam per hari dan diperkirakan menghasilkan energi listrik 30 MW. Adapun biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 630 miliar. Kini Pemkot Bandung tengah berupaya mencari dana ke Bappenas sebesar Rp 640 miliar. Bappenas kemungkinan besar tidak akan memberi dana itu, melainkan meminjamkannya. Kalau pinjaman ini tanpa bunga, kata Enri, dibutuhkan dana Rp 150.000 per ton untuk mengganti modal dan biaya operasional. Dengan kapasitas 1.500 ton per hari, setidaknya dibutuhkan dana Rp 22,5 juta per hari. Enri mengatakan, selama Pemkot Bandung memiliki cukup dana, rencana ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi kalau harus pinjam, dikhawatirkan menyedot dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung. Untuk itu, Enri menawarkan konsep pengolahan sampah secara pararel. Sampah harus dikelola mulai dari rumah tangga, RW, kelurahan, hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Tidak melulu dikelola secara sentralistik dengan mengandalkan TPA. "Berdayakan masyarakat dengan komposting. Kalau bisa dikurangi, kenapa harus diperbanyak," kata Enri. Ketua Komisi B DPRD Kota Bandung Endrizal Nazar sepenuhnya sepakat dengan konsep Enri di atas. "Kalau memang bisa dikelola dengan sederhana, kenapa harus dengan energi canggih. Sebab, ini terkait dengan biaya. Semakin sederhana teknologi, semakin kecil biayanya," ujarnya. Meski demikian, Wali Kota Bandung Dada Rosada tetap berharap bahwa konsepnya nanti tetap bisa goal. "Kami yang membuat konsep dan yakin bahwa sampah bisa selesai, tinggal biaya. Konsep kami harus goal, harus dipertahankan," kata Dada. (MHF) Post Date : 30 Juni 2006 |