Bagi warga sekitar Bukit Wonopotro di Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Endar Progresto (42) dianggap sebagai guru. Ilmu yang diajarkannya sederhana, yaitu ”menanam air” dengan menghijaukan Bukit Wonopotro yang tandus.
Manfaat ilmu tersebut sudah dirasakan oleh ratusan warga di kaki Bukit Wonopotro. Sejak tahun 2006 atau sekitar enam tahun setelah sepak terjang Endar dan beberapa warga, masyarakat menikmati debit air dari sumber di bukit itu yang kian bertambah.
Beberapa tahun sebelumnya warga harus menuruni tebing terjal dan mengantre air setiap musim kemarau. Kini mereka tinggal memasang pipa paralon kecil dan menunggu air dari sumber di bukit mengalir ke bak-bak penampungan di desa, sebelum diteruskan ke rumah-rumah warga.
Endar bukanlah juru kampanye lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ia hanya warga biasa yang tinggal di desa. Rumahnya berada sekitar satu kilometer dari Bukit Wonopotro, salah satu dari sekian banyak bukit atau gunung tandus di Kabupaten Boyolali. Dalam ”beraksi”, ia tak membentuk LSM, tetapi ”menyusup” ke organisasi yang sudah eksis.
Mulai tahun 2000, atau dua tahun setelah menyelesaikan studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Endar bergabung dengan organisasi karang taruna di Glagahombo, yakni Ikatan Muda Mudi Tanah Glagahombo (Imtag). Ia kemudian mulai menyuarakan ide untuk mengembalikan kerimbunan Bukit Wonopotro seperti tahun 1980-an. Bukit seluas puluhan hektar yang mencakup dua desa itu rusak setelah dirambah pembalak kayu pada akhir 1990-an.
Gerakan awal hanya diikuti 10 pemuda. Endar membawa mobil bak terbukanya menuju Kecamatan Kemusu, lebih kurang 15 kilometer dari Klego, sekadar mencari bibit pohon di lahan milik Perum Perhutani. Dengan kemampuan ekonomi terbatas, Endar dan anggota Imtag menyurati Perhutani, meminta izin mengambil bibit tanaman yang terserak.
”Ada macam-macam tanaman keras. Akhirnya kami tanam di Wonopotro. Enggak pakai perhitungan teknis apa-apa, yang penting bisa hidup dan bukit hijau,” kata dia.
Tidak hanya selesai dengan menanam, Endar mengajak muda-mudi Imtag ronda di sekitar bukit. Tujuannya melindungi pohon di sekitar bukit tersebut dari penebangan liar. Ia juga mulai menyusup ke berbagai aktivitas masyarakat. Endar menyuarakan pentingnya memperbaiki kerusakan lingkungan. Dia mendatangi acara wayangan, pernikahan di desa, sampai pertemuan RT untuk menyampaikan maksudnya. Hasilnya, belasan hektar lahan gundul di Bukit Wonopotro sudah menghijau. Kian banyak pula burung-burung bersarang di bukit itu.
Mendapat cemooh
Kampanye lingkungan Endar sungguh sederhana. Alih-alih berbicara dalam bahasa tinggi soal kerusakan lingkungan atau kampanye perubahan iklim, dia hanya menjanjikan satu hal kepada masyarakat desanya. Menanam pohon di Bukit Wonopotro akan membantu diri mereka. Semakin rimbun pepohonan di bukti itu, semakin banyak air yang terserap ke dalam bumi sehingga akhirnya masyarakat pula yang menerima manfaat dengan kelimpahan air.
Bagi Endar, tahun-tahun pertama aktivitasnya penuh dengan cobaan. Tak jarang muncul suara-suara sumbang. Beberapa warga menilai penghijauan itu hanya akan memberi ”nama” kepada Endar. Sebagian lainnya berpikir untuk apa mengeluarkan tenaga menanam pohon di bukit tanpa mendapat uang.
”Kadang orang berpikir gawe entuk duit (bekerja dapat uang). Jadi, kalau enggak ada anggaran, ada yang ngelokro (tak bersemangat). Namun, setelah warga merasakan dampaknya (air berlimpah), jadi lebih mudah. Berapa banyak uang yang harus keluar kalau membeli air literan,” ujarnya.
Dana yang harus dikeluarkan Endar dari kocek pribadinya juga tak sedikit. Ia harus membiayai transportasi pencarian bibit, ataupun sekadar menyediakan makanan atau minuman jika ada kegiatan. Baru beberapa tahun terakhir mulai ada donatur untuk aktivitas ini, sebagian besar berupa bantuan bibit pohon.
Ia menganggap semua dana itu sebagai bentuk tanggung jawab sosial ”perusahaan” kecil-kecilannya yang bergerak di bidang desain grafis dan studio foto. Di pelosok Boyolali, Endar menyediakan layanan jasa sablon kaus, baliho, dan spanduk. Jika kebetulan berkunjung ke Klego dan datang ke sekitar Wonopotro, akan dengan mudah ditemukan spanduk atau papan bertuliskan larangan berburu burung atau ajakan menjaga lingkungan dengan logo usaha desain grafis Endar.
Meski begitu, Endar mengaku sama sekali tak berniat mendapat pujian dari aktivitas ini. Maka, ia pun bisa dengan enteng menerima ketika namanya batal diusulkan mewakili Jawa Tengah sebagai calon penerima Kalpataru tahun 2010. Alasannya sederhana, Endar lupa mendokumentasikan kondisi bukit sebelum penghijauan.
”Dokumentasi foto yang ada itu hanya iseng-iseng saja karena memang awalnya enggak terpikir untuk mengajukan guna mendapat penghargaan,” tuturnya tersenyum.
Lalu apa yang dicari dari aktivitas ini? ”Yang penting lingkungan kembali pulih. Sekarang ini saya puas. Kalau mengajak masyarakat kerja bakti penghijauan bukit, puluhan atau seratus orang di desa bisa ikut,” tuturnya.
Seni daya hidup
Soal aktivitas Endar di Bukit Wonopotro, Guru Besar Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta Dwi Marianto punya pendapat khusus. Ia mengangkat sepak terjang Endar dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, akhir April 2010, yang bertajuk ”Relasi Bolak-balik antara Seni dan Daya Hidup”. Menurut dia, aktivitas Endar di Wonopotro dapat dikatakan sebagai karya seni lingkungan yang membutuhkan keterlibatan penuh. Hal ini membangkitkan daya hidup bagi masyarakat sekitar dan lingkungan.
”Dia (Endar) membayangkan tanah gundul di perbukitan tak ubahnya kanvas kosong yang dapat diisi dengan garis dan warna. Jadi, ketika menanam, ia membayangkan seperti melukis,” ungkap Dwi dalam pidato pengukuhannya.
Enggar mesem-mesem saja mendengar pidato pengukuhan itu. Ia bangga, tetapi masih banyak hal yang ingin dicapainya, termasuk menyebarkan semangat penghijauan. Maka itu, ia mulai bergerilya di kalangan muda, dari sekolah ke sekolah. Ia berharap semangat yang sudah ditanam di Bukit Wonopotro juga bisa menyebar di wilayah lainnya sehingga kian banyak orang yang akan ”menanam air”.... Antony Lee
Post Date : 06 September 2010
|