|
CIMAHI, (PR).Empat pemerintah daerah, Pemprov Jawa Barat, Pemkot Cimahi, Pemkot Bandung, dan Pemda Kab. Bandung dituntut segera merehabilitasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. Karena, setelah tiga bulan pasca musibah longsor, belum ada langkah kongkret untuk menangani TPA Leuwigajah, termasuk menyelesaikan ganti rugi kepada keluarga dan korban longsor TPA. Pemerintah, hanya terfokus menyelesaikan hal-hal administrasi yang belum ada hasilnya. Jadi, sebaiknya segera berhentilah rapat-rapat terus. Karena TPA menunggu segera direhabilitasi. Tentukan kemampuan Jawa Barat itu apa, kongkretnya apa, DPRD setuju atau tidak. Ternyata kalau kepepet bisa juga. Buktinya, Kota Bandung katanya dapat berapa miliar untuk TPA baru. Mungkin, itu dari Jawa Barat. Saya tidak tahu, ujar Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, Pakar Lingkungan dari ITB yang juga Anggota Satgas ITB Peduli TPA Leuwigajah dan Sampah Bandung Raya kepada PR, Senin (16/5). Hal itu disampaikannya seusai menjadi pembicara pada Seminar Sehari Farmasi dan Lingkungan tentang Optimalisasi peran mikroba dalam mencari solusi terbaik penanggulangan TPA Leuwigajah yang diselenggarakan Fakultas MIPA, Program Studi Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi, di Gedung Sasana Krida, kemarin. Bergantung pemprov Diakui Enri, para birokrat mempunyai aturan main dan prosedur dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Terlebih lagi, penanggulangan TPA Leuwigajah serta proses ganti rugi terhadap keluarga dan korban longsor membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sedangkan, kemampuan APBD masing-masing daerah relatif terbatas, sehingga masih bergantung pada pemerintah pusat. Sementara permasalahan yang dihadapi pemerintah pusat sendiri lebih banyak. Jadi, saya kira sebetulnya tergantung Jawa Barat. Dari pada rapat terus, hanya berkutat soal mencari dananya dari mana dan sebagainya. Jadi, tidak hanya sekadar taraf pembicaraan, tapi perlu didukung langkah kongkret. Receh-receh diambilin dan sudah berhenti rapat-rapat itu. Buktinya, sudah tiga bulan kok nggak selesai-selesai, tandasnya. Padahal, kata Enri, masyarakat tidak mungkin tinggal terlalu lama di rumah kontrakan. Mereka tentu ingin kembali hidup seperti semula, termasuk mendapatkan kembali penggantian bagi sawah mereka yang tertimbun sampah. Jika hal itu terlalu lama dibiarkan, tentunya hal itu akan menimbulkan permasalahan sosial baru lainnya, seperti penolakan masyarakat jika TPA Leuwigajah dibuka kembali. 10-15 tahun lagi Padahal, katanya, TPA itu masih bisa dimanfaatkan lagi antara 10-15 tahun ke depan setelah dikelola kembali. Namun, baik itu akan dimanfaatkan atau tidak, tentunya pemerintah dan pengelola TPA berkewajiban menata ulang atau merehabilitasnya lagi, sehingga tidak akan menimbulkan dampak sosial lainnya. Jadi, sekalipun tidak lagi digunakan, para pengelola atau pihak-pihak yang pernah menggunakan TPA itu tidak boleh lari setelah TPA itu ditutup pascamusibah. Tapi, semua pihak berkewajiban merehabilitasinya kembali, tuturnya. Enri juga mengakui anggaran yang dibutuhkan memang sangat besar. Kebutuhan itu ditaksir kurang dari Rp 200 miliar seperti yang pernah disampaikan Pemkot Cimahi. Anggarannya disebut-sebut Rp 200 miliar. Kaget saya. Padahal, sebetulnya kurang dari itu, katanya. Munculnya alasan bahwa tidak segera ditanganinya TPA itu karena TPA itu sudah dikelilingi police line, hal itu dibantah Enri. Seharusnya, rehabilitasi itu segera dilaksanakan. Tapi, kok mereka beralasan police line. Padahal, saya berulang-ulang ke sana, nggak ada itu police line. Mahasiswa saya masuk berulang-ulang sampai ke dalam, nggak ada masalah, ungkap Enri. (A-136) Post Date : 17 Mei 2005 |