|
Potensi gas metana hasil pembakaran sampah Indonesia mencapai 404 juta meter kubik per tahun. Setara dengan Rp 118 milyar per tahun. Pembangkit listrik tenaga sampah mulai berproduksi. Ke depan, sampah pun diharapkan dapat mengatasi krisis listrik. Bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, sampah kini bukan lagi barang bermasalah dan menjijikkan. Mereka justru membutuhkan lebih banyak sampah. Betapa tidak, dari gunung sampah, Pemkot Bekasi justru mendapat tumpukan laba mencapai jutaan euro. Bagaimana bisa? Laba itu terwujud berkat clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih. Proyek CDM telah banyak dijalankan sesuai dengan amanat Protokol Kyoto untuk mengurangi pemanasan global. Hingga kini, menurut catatan Bank Dunia, setidaknya ada 860 proyek CDM yang terdaftar dari 49 negara. Mereka yang menjalankan proyek CDM memperoleh sertifikat reduksi emisi (certified emission reduction --CER), yang dapat diperjualbelikan. Hitungannya, menurut Protokol Kyoto, satu unit reduksi emisi gas rumah kaca sebanding dengan 1 metrik ton CO2. Sertifikat itulah yang kemudian dijual ke negara maju, untuk membantu mengurangi target pengurangan emisi gas rumah kaca di negaranya. CDM diharapkan menghasilkan 2,6 milyar CER hingga periode Protokol Kyoto berakhir pada 2012. Harga CER di pasar spot dunia kini 10 euro hingga 12 euro per ton CO2. Nah, Pemkot Bekasi kemudian memilih menjalankan proyek CDM dengan membakar gas metana (CH4) yang timbul dari gunungan sampah. Gas metana termasuk golongan gas rumah kaca yang memiliki nilai global warming potential lebih kuat sebesar 21 kali ketimbang karbondioksida (CO2) sebagai penyebab pemanasan global. Karena itu, Pemkot Bekasi mendirikan instalasi pembakaran gas (landfil gas flaring) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu, Bekasi. Di sinilah gas metana yang timbul langsung dibakar sebelum mengotori udara. ''Kami telah meneken kontrak kerja sama dengan Pemerintah Belanda, yang sepakat membeli 600.000 ton CER hingga 2019,'' kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Bekasi, Dudy Setiabudi. Pemkot Bekasi dapat mengeruk keuntungan dari gas sampah ini tanpa setor modal sepersen pun. Mereka hanya perlu menyetor sampah sesuai dengan kebutuhan. Soalnya, dalam menjalankan proyek CDM ini, Pemkot Bekasi menggandeng PT Gikoko Kogya Indonesia untuk membangun instalasi pembakaran gas. Gikoko Kogya memang berpengalaman dalam hal ini. Mereka pernah membuat proyek yang sama di Pontianak. Khusus untuk Bekasi, Gikoko juga bekerja sama dengan Bank Dunia dan Netherlands Clean Development Mechanism Facility, untuk membangun instalasi pembakaran gas yang menghabiskan dana US$ 1,2 juta. Mesin yang digunakan dapat membakar gas hingga 930 derajat celsius. ''Alat ini mampu bekerja selama 24 jam tanpa henti,'' kata Shodiq Suhardianto, konsultan PT Gikoko Kogya Indonesia. Fasilitas pembakaran gas metana itu dibangun di atas lahan seluas 10 hektare di Sumur Batu. Teknik pembakaran gas metana, menurut Shodiq, dikenal sebagai sistem landfill gas flaring. Cara kerjanya cukup sederhana. ''Tumpukan sampah yang mengeluarkan gas metana itu kami tangkap, lalu dibakar,'' ujar Shodiq. Untuk menangkap metana, mereka memasang pipa-pipa yang ditancapkan ke gunung sampah. Gas metana disedot masuk ke pipa-pipa yang telah dilengkapi dengan kipas penyedot. Gas itu kemudian dialirkan ke sebuah tabung berdiameter sekitar 5 meter untuk dibakar. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membuat agar gas metana dapat optimal tersedot ke tempat pembakaran. Untuk itu, sampah perlu ditumpuk hingga mencapai 10 meter. Pada saat ini, ada dua gunung sampah dengan luas sekitar 4 hektare yang siap menghasilkan gas metana. Bagian atas gunung sampah itu ditutup dengan plastik tebal. Penutupan ini berfungsi agar bau sampah tidak menyebar ke mana-mana. ''Juga berfungsi menahan gas metana agar tidak menguap,'' kata Shodiq. Gas metana itu terbentuk secara alami di TPA akibat adanya proses dekomposisi (pembusukan dan penguraian) berbagai material organik. Umumnya, gas yang dihasilkan di TPA mengandung 60% gas metana dan 40% sisanya adalah CO2. ''Oleh sebab itu, proyek pembakaran gas metana ini sekaligus merupakan bagian dari kontribusi Pemkot Bekasi untuk dunia dalam program penurunan gas rumah kaca,'' ujar Dudy. Masih ada satu tumpukan sampah lagi yang sedang dibangun dari pasokan sampah TPA Sumur Batu, yang mencapai 6.000 ton per hari. ''Dengan adanya proyek ini, pasokan seperti itu pas-pasan. Kami membutuhkan pasokan sampah lebih banyak,'' katanya. Karena itulah, Pemkot Bekasi kini berburu sampah hingga ke Bogor. Mereka membujuk Pemkot Bogor agar menyumbangkan sampahnya ke Bekasi. ''Semakin banyak sampah, akan semakin bagus. Sebab gas metana yang dihasilkan juga akan semakin banyak,'' tutur Dudy. Dan itu tentu berarti keuntungan yang didapat akan bertambah. Kini, menurut Dudy, Pemkot Bekasi bakal mendapat jatah 17% dari hasil penjualan pembakaran gas metana itu. Dana yang masuk ke kantong pemkot itu akan dibagi dua. ''Yaitu 10% untuk pengembangan soal sampah, seperti pembelian truk pengangkut sampah, sedangkan 7% sisanya digunakan untuk kepentingan masyarakat pemulung dan warga sekitar TPA Sumur Batu,'' kata Dudy lagi. Dana itu dapat digunakan untuk membangun sarana pendidikan dan fasilitas sosial. ''Pokoknya, proyek ini sangat menguntungkan semua pihak. Pemkot mendapat dana tambahan, masyarakat juga menikmati. Dan yang lebih penting, lingkungan menjadi bersih dan sehat,'' ujar Dudy sambil tersenyum. Proyek hijau dan bersih lingkungan ini tentu dapat ditiru daerah lain. Lihat saja, khusus mengenai produksi sampah, Indonesia memang jagonya. Data Bank Dunia menunjukkan, produksi sampah di perkotaan di seluruh Indonesia mencapai 10 juta ton. Potensi emisi gas metana yang dihasilkan dari timbunan sampah itu mencapai 404 juta meter kubik per tahun. ''Angka itu, bila diuangkan, setara dengan Rp 118 milyar per tahun,'' kata Shodiq. Tidak hanya itu. Menurut Dudy, bila mau diubah menjadi energi listrik, bisa menghasilkan daya sekitar 79 megawatt. Itulah target selanjutnya yang akan dicapai Pemkot Bekasi. Mereka mulai melirik proyek pembangunan landfill gas to energy. Yaitu proyek pengembangan energi pembangkit listrik berbahan sampah. ''Semoga saja, dalam satu atau dua tahun ini, proyek landfill gas to energy itu bisa gol,'' tutur Dudy. Harapan Dudy bukan angan-angan kosong. Gagasan mengolah sampah sebagai bahan bakar penghasil listrik telah banyak dilakukan, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah Proyek IPST Sarbagita di TPA Suwung, Bali, yang dikelola Badan Pengelola Kebersihan Wilayah Sarbagita beserta sejumlah perusahaan lainnya (lihat: Sampah Pembangkit Listrik). Tak hanya itu. Bahkan para ahli energi alternatif menemukan banyak bakteri di tempat sampah yang benar-benar dapat menghasilkan listrik (lihat: Bakteri Pun Menghasilkan Listrik). Niat Pemkot Bekasi mengolah sampah menjadi listrik itu disambut baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). ''Kami juga mendorong agar upaya itu ditingkatkan menjadi upaya membangun listrik tenaga sampah. Kita mendapat keuntungan ganda, dari penjualan pembakaran gas, sekaligus mendapatkan listrik,'' kata Sulistyowati, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim KLH. Namun, untuk mewujudkan pembangkit listrik tenaga sampah, perlu benar-benar memperhatikan jenis sampah yang ada. ''Setidaknya, 50% kandungan sampah yang ada harus organik,'' ujar Sulistyowati. Untuk bisa menghasilkan energi listrik, jumlah sampah yang dibutuhkan minimal 400 sampai 500 ton per hari. Tinggi timbunan sampah ini minimal 10 meter. Namun, sebelumnya, harus ada timbunan sampah 1,5 sampai 2 juta meter kubik. Menurut kalkulasi Sulistyowati, 176 ton sampah setidaknya bisa menghasilkan 2 megawatt setrum. ''Itu bisa digunakan sampai 400 keluarga,'' katanya. Sejauh ini, menurut Sulistyowati, KLH melihat banyak kawasan lain yang berpotensi mengolah sampah untuk listrik. Misalnya Bandung, Surabaya, dan Semarang. Sulistyowati bahkan melihat kandungan dan jenis sampah di tiga kawasan itu lebih potensial menghasilkan listrik dibandingkan dengan Bekasi. ''Keuntungan dan manfaat yang didapat bisa lebih besar,'' ujarnya. Toh, yang lebih penting adalah kesadaran dan kemauan untuk mengolah sampah. Sayang, menurut Sulistyowati, tak banyak pemerintah kabupaten atau kota yang punya perhatian terhadap sampah. ''Mereka pikir, sampah tak mungkin bisa menghasilkan sesuatu yang menguntungkan,'' kata Sulistyowati. Padahal, lewat CDM, gas sampah pun bisa dijual. ''Selain mendapat untung, lingkungan jadi bersih dan nyaman,'' katanya. Sampah Pembangkit Listrik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Bali, punya luas kawasan hingga 25 hektare. Setiap hari, TPA yang berjarak sekitar 10 kilometer dari kota Denpasar itu menerima setidaknya 800 ton sampah. Timbunan sampah itu berasal dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (wilayah Sarbagita), yang merupakan kawasan industri turisme. Tentu, jika gunung sampah itu ditumpuk begitu saja, kawasan TPA Suwung tak akan muat lagi. Karena itulah, Badan Pengelola Kebersihan Wilayah Sarbagita (BPKS), lembaga yang mengurus TPA Suwung, menerapkan teknik pengolahan sampah yang disebut ''Galfad'', kependekan dari gasification, landfill gas and anaerobic digestion. Metode ini diklaim sebagai metode pertama yang dilakukan untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. Namun, untuk menerapkan dan menjalankan Galfad, BPKS tentu tak bekerja sendiri. BPKS sudah lama menjalin kontrak dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), perusahaan joint venture antara PT Navigat dari kelompok bisnis General Electric (GE) Energy dan Organics Group, perusahaan pengolah limbah dan energi alternatif dari Inggris. Proyek itu diresmikan di Bali pada pertengahan Desember tahun lalu. Tapi kerja sama di antara mereka terjalin sejak 2004. Ketika itulah, PT NOEI memperkenalkan metode Galfad kepada BPKS untuk dapat diterapkan di TPA Suwung. Kini proyek IPST Sarbagita mampu menghasilkan listrik yang berasal dari gas metana (CH4). Gas metana itu disedot dan diolah menjadi listrik dengan mesin gas Jenbacher JGS 320 GS-BL produksi GE. Generator ini mampu menghasilkan listrik 1,06 megawatt (MW). ''Kami sedang memasang empat mesin gas lagi, yang akan menghasilkan total 4 MW listrik dari bahan bakar biogas,'' kata Bernt Harald Bakken, Manajer Humas NOEI. Selain itu, pihak NOEI juga meneken kontrak jual-beli dengan PLN melalui mekanisme PPA (power purchase agreement) untuk 15 tahun. ''PLN membeli listrik dari NOEI seharga kira-kira US$ 0,07 per kWh,'' ujar Bernt. Karena itu, NOEI membuat jaringan listrik dari pembangkit IPST Sarbagita ke jaringan listrik PLN. Kapasitas listrik Sarbagita pun akan terus ditingkatkan. Pada tahap kedua akan diterapkan sistem gasifikasi (phyrolisis), tahun 2010. Dari proses gasifikasi ini, pembangkit akan menghasilkan listrik 5,6 MW. ''Ini berarti, proyek IPST Sarbagita akan menghasilkan total 9,6 MW listrik,'' kata Bernt. Proyek sampah-listrik itu, menurut Direktur Eksekutif GE Indonesia, Gatot Prawiro, merupakan proyek inovatif yang dapat diterapkan di kawasan lain di Indonesia. ''Potensi gas metana sangat besar di Indonesia sebagai energi terbarukan. Kita dapat memanfaatkannya untuk mengatasi krisis energi listrik,'' ujar Gatot kepada Gatra. Bakteri Pun Menghasilkan Listrik Suatu ketika, sampah dan limbah sebagai benda buangan bakal sederajat dengan bahan bakar minyak bumi yang makin langka. Apakah itu bualan belaka? Yang jelas, sampah kini menjadi pilihan para ahli energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Itulah yang sedang dikembangkan para ahli dari Departemen Mikrobiologi, Institut Bioteknologi Universitas Minnesota, Amerika Serikat. Mereka menemukan, suatu bakteri, shewanella, yang sering ditemukan di air dan tanah, mampu mengubah komponen organik seperti lactic acid menjadi energi listrik. ''Para ahli sudah lama mengetahui shewanella mampu menghasilkan listrik, tapi tidak tahu bagaimana proses terjadinya. Kini kami tahu bagaimana bakteri itu melakukannya,'' kata Daniel Bond, pimpinan tim peneliti, kepada pers. Daniel Bond, Jeffrey Gralnick, dan sejumlah anggota tim ahli lainnya memaparkan hasil penelitian mereka pada jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences, Maret lalu. Tim itu menyimpulkan, bakteri-bakteri yang dikembangkan pada elektroda secara alamiah memproduksi senyawa riboflavin, yang dikenal sebagai vitamin B2. Riboflavin juga dikenal mampu membawa partikel elektron dari bakteri itu menuju elektroda. Ini mengakibatkan meningkatnya produksi listrik hingga 370%. Karena itu, jika ingin memacu produksi listrik pada shewanella, cukup dengan cara meningkatkan kadar riboflavinnya. Temuan itu, menurut Bond, membuka cakrawala baru pengolahan limbah dan sampah. Produksi listrik bakteri-bakteri yang terkandung dalam limbah dapat ditingkatkan dengan menambah unsur riboflavin. Tak hanya tim Bond yang getol meneliti bakteri penghasil listrik. Para ahli dari University of Birmingham telah menggabungkan dua jenis bakteri dalam sebuah bioreaktor untuk menghasilkan hidrogen sebagai bahan bakar. Menurut Mark Redwood, ketua tim peneliti University of Birmingham, sejumlah mikroorganisme tertentu mengambil energi yang dibutuhkan dengan melepaskan senyawa hidrogen di lingkungan mereka. ''Mikroba seperti heterotrophs, cyanobacteria, dan microalgae memproduksi biohidrogen sesuai dengan cara masing-masing,'' kata Redwood. Walau masih dalam tahap awal percobaan, Redwood percaya, jasad-jasad renik itu dapat dikembangkan untuk menghasilkan bahan bakar. Redwood melaporkan penelitiannya dalam jurnal Microbiology Today, edisi Agustus. Selain itu, Redwood juga menemukan, sejumlah enzim yang dihasilkan bakteri itu dapat digunakan untuk menguraikan sisa-sisa pembakaran kendaraan bermotor. ''Jadi, bioteknologi yang akan dikembangkan benar-benar bersih dan bermanfaat,'' ujarnya. Tentu saja temuan bakteri penghasil listrik dan hidrogen itu masih perlu dikembangkan. Tapi, sejauh ini, pintu rintisan telah terbuka. Nur Hidayat Post Date : 10 September 2008 |