|
Di sebelah timur Kabupaten Bandung terdapat daerah industri yang dapat menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Secara kasat mata, daerah yang berada di Kecamatan Rancaekek ini, memberi kontribusi yang cukup besar dalam kemajuan ekonomi di Jabar. Namun, bila dihitung-hitung, ancaman yang akan timbul dari daerah ini sangat besar. Seperti diketahui, permukaan air di cekungan Bandung, setiap tahun, terus menurun, termasuk yang terjadi di Rancaekek. Sementara, tiap perusahaan tekstil, memerlukan air yang cukup besar untuk proses produksinya. Namun, penggunaan air yang sudah sangat besar ini, terkadang disalahmanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan. Buktinya, mereka mengambil air dalam jumlah yang lebih banyak tanpa izin. Ada sejumlah perusahaan yang memerlukan cukup banyak air, di antaranya Kahatek. ''Perusahaan ini, memang perusahaannya besar dan membutuhkan air yang banyak. Tapi tidak bisa dipungkiri, Kahatek merupakan perusahaan yang bandel dan ngotot,'' ujar Kepala Seksi Bina Produksi Dinas pertambangan Jabar, Acep Turisno. Pada 2002, kata Acep, pemprov membatasi perizinan penggunaan sumur artesis untuk Kahatek, hanya 23 sumur. Saat itu, kata dia, Kahatek mendesak kepada pemprov untuk memberikan tambahan izin, namun pemprov tidak menghiraukannya. Memasuki otonomi daerah (otda), provinsi tidak mempunyai wewenang untuk membatasi ataupun memberikan izin. Akhirnya, Pemkab Sumedang memberikan tambahan izin menjadi 33 sumur artesis. Pemberian tambahan izin, kaat Acep, sebenarnya bukan masalah. Namun, secara teknis, hal itu tidak layak karena daerah tersebut termasuk tanah merah. ''Artinya, daerah tersebut daerah kritis atau daerah yang airnya kritis,'' katanya menegaskan. Acep menjelaskan, jika pengambilan air, bahkan pengeksploitasian air ini terus berlangsung, maka pengaruhnya sangat buruk. Permukaan air akan terus menurun, dan hal ini sudah terjadi di Rancaekek yang merupakan bagian dari Cekungan Bandung. Selain itu, kata dia, pengambilan air tersebut akan mengakibatkan pergeseran tanah dan mengakibatkan pengeroposan tanah. ''Jika tanah di Rancaekek keropos, maka jalur Rancaekek-Cicalengka terancam amblas,'' katanya menandaskan. Hal ini, karena penurunan air sudah sangat tinggi. Kondisi ambalasnya tanah akibat pengeroposan tanah, pernah terjadi di sebagian ruas Jalan Tol Padalarang-Cileunyi (Padaleunyi). Untuk mengantisipasi hal itu, kata Acep, ada berbagai langkah yang harus diambil pemerintah. Yakni, tidak memberikan izin baru bagi perusahaan yang notabene memerlukan air dalam jumlah yang besar. Sedangkan bagi perusahaan yang sudah berdiri, disarankan untuk menggunakan air permukaan bukan, air tanah seperti bendungan. Selain itu, kata Acep, pemerintah tidak menerbitkan syarat teknis dalam pemberian izin. Maksudnya, pemerintah akan memberikan izin jika pemilik perusahaan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Kalaupun tidak, kata dia, pemerintah mengurangi debit maksimal pengambilan air yang diizinkan dalam perpanjangan izin. Untuk perusahaan lain, kata dia, yang memiliki lebih dari tiga sumur sebanyak 20 perusahaan. Perusahaan lainnya, hanya memilkki 3-10 titik sumur artesis. Selain persoalan air tanah, Acep menjelaskan, Kahatek dan sejumlah perusahaan lainnya memiliki persoalan air limbah. Berdasarkan izin yang ada, Kahatek setiap hari hanya diperbolehkan membuang libah sebanyak 100-120 meter kubik per hari. Kalau dikalikan dengan 33 sumur artesis yang dimiliki, maka limbah yang akan terbuang mencapai 3.960 meter kubik per hari. ''Berarti dalam satu bulan, limbah yang dibuang mencapai 100 ribu m3. Namun kenyataannya, limbah yang terbuang mencapai 150 m3 per hari,'' katanya menjelaskan. Sementara itu, Direktur PDAM Kota Bandung, Maman mengatakan, PDAM menggunakan tiga sumber air, yaitu air permukaan, air tanah, dan sumber mata air. Namun, pasokan air tanah, saat ini, mengalami penurunan sekitar 60 persen dari debit air semula yang berkisar 20-40 liter per detik, menjadi sekitar lima liter per detik. Maman mengatakan, menipisnya pasokan air tanah, di antaranya disebabkan semakin banyaknya sumur artesis dan peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Akibatnya, penggunaan air sulit terkendali. ''Saat ini, semakin banyak ruang terbuka yang kini dibangun perumahan,'' katanya. ( reni susanti ) Post Date : 05 Juli 2005 |