|
Program ekohidrologi yang dilakukan dengan benar dapat menaikkan kembali jasa ekosistem bagi masyarakat setempat hingga 30 persen, ujar Prof Maciej Zalewski dari Polandia dalam paparannya di forum Simposium Internasional Ekohidrologi di Bali, akhir November 2005. Pernyataan itu bukan omong kosong karena berhasil diterapkan di sebuah danau di Polandia. Hanya saja, butuh waktu dan kerja keras semua pihak yang terlibat. Hasilnya, tingkat pencemaran berhasil ditekan, berbagai jenis ikan dan biota akuatik kembali berkembang biak dengan subur, dan kualitas air pun meningkat. Bukan hanya para ilmuwan yang puas, tetapi masyarakat yang menggantungkan ekonomi dari keberadaan danau itu turut merasakan dampaknya. Di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencoba mempraktikkan pendekatan ekohidrologi di Waduk Saguling di bagian hulu Sungai Citarum, Jawa Barat, sejak tahun 2004. Hasilnya? Tunggu dulu. Butuh waktu untuk menilai keberhasilannya. Dan, ukuran waktu penilaian di satu tempat dengan tempat lain berbeda-beda karena banyak faktor yang memengaruhinya. Di Saguling persoalan tergolong kompleks. Ada pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di sana, ada keramba-keramba ikan, ada unsur pariwisata, dan ada pabrik-pabrik di tepian sungai yang bermuara di Saguling. Akibatnya, tingkat pencemaran di sedimen tinggi, baik logam berat, bahan kimia, dan organik. Tentu hal ini berpengaruh pada kualitas air. Saguling pun menjadi semacam tempat sampah bagi beragam polutan yang dibawa Sungai Citarum, dengan deretan pabrik, yang sebagian tekstil, dan permukiman warga. Kondisi ini membuat tingkat pencemaran Saguling terbilang paling parah ketimbang dua waduk di bawahnya; Cirata dan Jatiluhur. Sedimen Saguling di antaranya mengandung logam merkuri, kadmium, dan timbal. Kami sengaja memilih Saguling sebagai percontohan, kata Direktur Limnologi LIPI Dr Ir Gadis Sri Haryani, yang membidangi proyek itu. Di dalam pemikiran tim, dengan kondisi seperti itu perubahan yang terjadi akan lebih mudah diukur. Selain itu, semakin cepat hulu persoalan ditangani, logikanya di bagian hilirnya akan semakin membaik. Kegiatan Salah satu langkah yang kini dilakukan adalah mengalirkan air ke dalam lahan basah buatan; cekungan berair yang ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan air. Nantinya, akan diukur kadar pencemaran pascaperlakuan-perlakuan awal. Selain itu, mengambil sedimen waduk untuk diteliti kandungan cemaran yang ada. Sedimen dengan kandungan cemaran nol, melalui proses alamiah diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Diakui Gadis, semua masih dalam tahap analisis awal untuk menentukan langkah-langkah yang lebih tepat. Salah satu indikasi tingginya pencemaran air waduk, di antaranya terlihat dari turbin-turbin PLTA yang keropos dimakan karat. Jenis-jenis ikan yang berkembang di sana pun terbatas dari jenis tertentu yang tahan terhadap polutan. Meski demikian, keramba-keramba ikan terus dikelola dengan melebihi daya tampung waduk. Akibatnya, polutan logam berat terus bercampur dengan cemaran organik, yang di antaranya disebabkan oleh sisa pakan ikan yang mengendap sebagai sedimen. Lanjutannya, populasi ikan berkurang karena oksigen yang dibutuhkannya berkurang karena berebut dengan bakteri pengurai. Penelitian oleh peneliti LIPI Gunawan P Yoga dan kawan-kawan menemukan kasus kematian ikan massal terjadi setiap tahun. Di antaranya karena kekurangan oksigen akibat proses pengadukan air alamiah, tingginya kontaminasi amonia, dan racun bahan kimia, seperti logam berat. Beberapa fakta di atas merupakan persoalan yang dapat diatasi melalui pendekatan ekohidrologi. Air sebagai obyek utama penanganan didekati juga dari persoalan ekologi, seperti bagaimana mempertahankan biota-biota akuatik di sana. Seperti diungkapkan Maciej, tidak mudah menerapkan pendekatan ekohidrologi. Hasil-hasil yang jelas dan terukur membutuhkan waktu lama karena kompleksnya persoalan yang harus dihadapi. Tepi sungai Di Saguling ada unsur kepentingan PLTA, warga pemilik keramba, pabrik-pabrik di tepi sungai, dan keanekaragaman hayati. Ekohidrologi berarti mendekati semua unsur baik fisik maupun tidak. Persoalan dinilai mudah diatasi bila akan terjadi perubahan hanya dengan sosialisasi. Di lapangan, hal itu tidak mudah. Pola pikir masyarakat tidak dapat diubah hanya dengan sosialisasi. Bahkan, sanksi hukum pun tidak akan mengubah perilaku individu, masyarakat, atau perusahaan tanpa adanya penegakkan hukum yang jelas. Apalagi, pendekatan ekohidrologi tergolong ilmu baru di kalangan mayoritas peneliti hidrologi dan ekologi Indonesia. Selain soal kapasitas internal dan eksternal, fakta lain yang dihadapi adalah kebutuhan anggaran besar untuk menerapkan pendekatan ekohidrologi, seperti biaya tes laboratorium dan upaya pemulihan lingkungan. Pemulihan lingkungan seperti pengurangan limbah pabrik dan rumah tangga menyerap biaya tidak sedikit. Demikian pula penghijauan kawasan hulu dengan pepohonan untuk mencegah tinggi sedimentasi. Akan tetapi, pengalaman Polandia menunjukkan bahwa di balik semua usaha keras terdapat harta pemulihan lingkungan hingga 30 persen. Dengan kata lain, meskipun berat hingga kini pendekatan ekohidrologi memberi harapan nyata pemulihan lingkungan pada suatu kawasan. Hanya saja, ia bukanlah sulap yang menghasilkan kegembiraan dalam sekejap. Gesit Ariyanto Post Date : 10 Desember 2005 |