|
Jakarta, Kompas - Diare endemis di Indonesia akibat kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan belum terjaga. Diare hanya bisa dihilangkan jika masyarakat mempraktikkan budaya bersih. Untuk itu pemerintah perlu mengedukasi masyarakat secara serius untuk meningkatkan pemahaman. Demikian pendapat pengajar Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Firman Lubis MPH dan dr Hindra Irawan Satari SpA dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM menanggapi terjadinya kejadian luar biasa (KLB) diare di pelbagai daerah di Indonesia. Menurut Firman, diare yang merupakan water borne disease selalu ada setiap saat di Indonesia dan cenderung meningkat menjelang musim penghujan. "Penyebab utamanya adalah kurangnya kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan. Misalnya, orang buang air besar di tempat terbuka seperti di kebun, sungai. Padahal, seharusnya di jamban. Banyak orang tidak mempraktikkan kebiasaan cuci tangan dengan sabun sebelum menyentuh makanan. Di Banglades praktik mencuci tangan bisa menurunkan kasus diare sampai 50 persen. Sebelum hal itu berubah, diare akan tetap terjadi," ungkap Firman. "Sebenarnya sejak sekolah dasar sudah diajarkan siklus penyebaran diare. Orang buang air besar sembarangan, kemudian dihinggapi lalat. Lalat yang membawa kuman dari kotoran hinggap di makanan yang tidak ditutup. Orang yang makan makanan tersebut terkena diare. Di negara maju tidak ada diare karena orang sudah buang air di jamban sehingga siklus terputus." Mekanisme alami Menurut Hindra, diare sebenarnya mekanisme alami tubuh supaya kuman tidak terlalu lama tinggal dan merusak tubuh. Hal ini terjadi karena makanan yang masuk mulut tercemar kuman. Diare menjadi fatal dan menimbulkan korban jiwa jika penderita kekurangan cairan. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi karena fasilitas pelayanan kesehatan ada di tengah masyarakat. Kekurangan cairan diatasi dengan larutan gula garam atau oralit. Bahkan, bisa dengan teh manis, sari buah, atau kuah sup. "Anak yang empat sampai enam jam tidak buang air kecil merupakan tanda kekurangan cairan. Jika ini terjadi sebaiknya segera dibawa ke fasilitas kesehatan untuk diinfus," ujar Hindra. Firman menyatakan, kemiskinan memang faktor yang memudahkan tertular penyakit. Tapi, kemiskinan bukan halangan untuk sehat. Jika penduduk sadar untuk menjaga kebersihan lingkungan, membuang sampah secara baik, membuang air besar di jamban, mencuci tangan sebelum makan dan meminum air yang dimasak, tidak akan terkena diare. Tingkatkan edukasi Menurut Firman dan Hindra, pemerintah perlu memfokuskan perhatian pada upaya edukasi masyarakat untuk hidup bersih. Bukan menunggu terjadinya KLB baru melakukan sesuatu. Pemerintah pusat berperan mendorong dan memberi bimbingan teknis untuk memberantas diare serta melakukan edukasi. Adapun pemerintah daerah melakukan upaya di lapangan, melakukan edukasi sehingga masyarakat benar-benar paham akan arti kebersihan bagi kesehatan, termasuk membudayakan buang air di jamban serta meningkatkan akses air bersih bagi penduduk. Pemerintah memang melakukan edukasi, tetapi pelaksanaan di lapangan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak banyak leaflet yang berisi pesan yang mudah dimengerti, demikian juga iklan layanan masyarakat mengenai cara hidup bersih. Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M&PL) Departemen Kesehatan Umar Fahmi Achmadi mengakui, KLB diare terjadi di Solok. Sedangkan di Surabaya berdasarkan kajian epidemiologis bukan KLB diare. Penyebab kematian adalah penyakit lain. Untuk menanggulangi KLB di Solok, lanjut Umar, Departemen Kesehatan telah mengirimkan obat-obatan. Depkes juga mengimbau masyarakat untuk waspada dan melakukan tindakan pencegahan dengan menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, mengonsumsi air minum yang sudah direbus. Sementara itu, jajaran kesehatan diminta siaga terhadap pelbagai gejala penyakit yang muncul agar tidak meluas menjadi KLB. (ATK) Post Date : 23 November 2004 |