|
PADA tahun 1955 masyarakat Kota Bandung antusias menyambut kedatangan para tamu negara yang akan mengikuti Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan pada 18-25 April 1955. Sebelum KAA dilaksanakan, masyarakat sudah ramai membicarakan tentang rencana kedatangan para pemimpin dari 29 negara. Ketika itu tamu yang datang sekitar 4.000 orang. Sejak berita tentang rencana penyelenggaraan KAA diwartakan di koran-koran, masyarakat tergerak untuk mengamati persiapan Kota Bandung menyambut para tamu negara yang akan datang itu. Menurut berita di Star Weekly, yang terbit April 1955, perubahan sekecil apa pun jadi cerita menarik. Sampai-sampai ketika tiang bendera di Gedung Merdeka bertambah satu, langsung menjadi pembicaraan di masyarakat. Itu berarti bertambah lagi negara yang datang ke Bandung. Masyarakat pun menganggap "aneh" ketika untuk pertama kalinya Jalan Raya Timur -kini dikenal dengan nama Jalan Asia Afrika-disikat agar tampak bersih. Enam hari sebelum KAA dilangsungkan, rombongan delegasi dari Irak sudah datang. Esoknya hingga 16 April 1955, berduyun-duyun para tamu negara mendarat di Lapangan Terbang Husein Sastranegara Bandung. Mereka diantar sedan-sedan mewah bermerek Plymouth Belvedere dan Mercury menuju Hotel Savoy Homann dan Preanger, tempat mereka menginap selama mengikuti KAA. Namun, demi keamanan, ada juga kepala negara yang menempati rumah-rumah berarsitektur Eropa di Jalan Dago, Tamansari, dan Ciumbuleuit. Rumah-rumah itu setiap saat dijaga oleh petugas keamanan. SETIAP ada tamu datang, sirene mobil terdengar. Warga sejenak menghentikan aktivitasnya. Ramai-ramai mereka menuju jalanan untuk menyaksikan tamu negara. Tamu favorit rakyat Bandung saat itu adalah Chou En-lai (Perdana Menteri China), Gamal Abdel Nasser (Presiden Mesir), dan Jawaharlal Nehru (Presiden India). Nasser dan Nehru sering melempar senyum simpatik kepada warga yang mengelu-elukan mereka. Berbeda dengan keduanya, Chou En-lai selalu dikawal ketat. Warga masyarakat hanya bisa melihat punggungnya saja saat dia memasuki Gedung Merdeka. Senin, 18 April 1955, Jalan Raya Timur ditutup. Pasukan bersenjata tersebar di daerah itu. Becak-becak yang biasa melintas di jalan itu harus memutar jalan yang lebih jauh. Tukang becak menaikkan tarif, dan penjual bahan makanan pun menaikkan harga-harga. Harga diturunkan lagi seusai KAA. Momen KAA juga dijadikan alasan bagi para pelajar yang kesiangan masuk sekolah karena asyik menonton kesibukan KAA. Menurut Edi S Ekajati, penasihat di Museum KAA, tahun 1955 pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DII/TII) masih berlangsung di pinggiran Kota Bandung. Saat rombongan berekreasi ke Puncak, Bogor, sempat terdengar tembakan di daerah itu. Namun, secara umum suasana Bandung tetap tenang. "Petugas yang berjaga lebih banyak tidak menggunakan pakaian seragam," tutur Prof Judistira K Garna, seorang saksi sejarah KAA 1955. Saat itu ia ikut bergabung sebagai panitia lokal dari Bandung. TOKO-toko di depan Gedung Merdeka pun tetap buka. Begitu juga empat bioskop di sekitar alun-alun, hanya pertunjukan film di siang hari yang tidak ada. Para penjual makanan di pinggir gedung yang sekarang menjadi Gedung PLN, juga tetap buka pada malam hari. Toko mebel di depan Gedung Merdeka malah menambah barang-barang dagangannya. Banyak tamu negara memesan mebel yang terbuat dari rotan. Dan setelah KAA usai, para pemilik toko mebel itu sibuk mengekspor produknya ke berbagai negara di Asia dan Afrika. Selama bekerja sebagai panitia, Judistira diminta menggunakan celana berwarna gelap, kemeja warna putih, serta dasi. Ia mendaftar menjadi panitia setelah melihat pengumuman lowongan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1, bagian sastra. Saat itu usianya baru 18 tahun. Judistira berangkat pukul 06.30 dari rumahnya di Jalan Bengawan, Bandung, diantar oleh adiknya yang mengendarai motor sampai Jalan Banceuy. Setelah itu, ia berjalan dan melapor kedatangannya di ruang panitia yang berada di sebuah ruangan di Gedung Merdeka. Ruangan itu kini dijadikan perpustakaan KAA. Tugas Judistira adalah menjadi pemandu para tamu dari China dan Afrika. Tamu dari China senang berjalan-jalan. Mereka sering meninggalkan konferensi untuk berbelanja kain dan obat-obat China di daerah Pasar Baru dan Cibadak. "Kelihatannya mereka membeli kain sebagai sampel untuk meneliti perkembangan industri tekstil di Bandung. Saat itu industri tekstil Majalaya sangat pesat," ujar Judistira. Beberapa tahun setelah KAA, industri tekstil Majalaya dibanjiri mesin-mesin dari China. DELEGASI China sangat tertutup. Jika ingin berbicara, mereka menunjuk pada juru bicara. Barulah juru bicaranya berkata pada Judistira. Mereka selalu pergi bersama-sama. Sementara itu, delegasi dari Afrika yang sering berbaju warna mencolok bergaya gamis, terbilang jarang berbelanja. Mereka hanya senang melihat-lihat barang-barang di toko-toko sekitar Jalan Braga. Jika mempunyai waktu luang, tamu negara berekreasi ke perkebunan teh di Pangalengan atau ke Gunung Tangkubanperahu. Sebuah restoran di Bumi Sangkuriang, Ciumbuleuit, sering dikunjungi tamu-tamu negara. Meskipun Kota Bandung terkenal dengan taman- taman kotanya, namun jarang ada tamu negara yang sengaja mendatangi taman itu. Tidak hanya saling bertukar cerita tentang perilaku para tamu, warga Bandung juga mulai suka mengumpulkan tanda tangan orang terkenal. Judistira mengaku termasuk orang yang beruntung karena ia bisa mendapatkan tanda tangan Chou En-lai saat PM RRC itu hendak memasuki Gedung Merdeka. Meskipun berlangsung lebih dari sepekan, persiapan Bandung untuk KAA tahun 1955 tidak sesibuk saat ini. Kota Bandung akan dijadikan tempat napak tilas KAA yang berulang tahun ke-50 pada 24 April 2005 mendatang. Tamu negara akan berada di kota ini selama enam jam. Tetapi, sebagian besar tim pendamping setiap delegasi dan wartawan luar negeri sudah datang sepekan sebelumnya. KESIBUKAN Bandung untuk persiapan hajatan itu seolah tak pernah selesai. Perbaikan di berbagai wilayah yang terkesan tambal sulam tidak membuat Bandung bertambah cantik. Jalur-jalur yang akan dilalui tamu negara pun tampak masih semrawut. Jalan-jalan yang dulu dilintasi para delegasi, misalnya Jalan Maribaya, Lembang, Setiabudi, dan Ciumbuleuit, saat ini masih kotor oleh sampah yang bertumpuk di Jalan Maribaya, Terminal Ledeng, Jl Abdul Hamid, dan Jl Tamansari. Air sampah, belatung, dan lalat jadi pemandangan di mana-mana. (y09) Post Date : 16 April 2005 |