Hari ini di Kopenhagen, Denmark, dibuka sebuah perhelatan besar membahas persoalan yang ”amat penting dan genting”. Perlu dipasang apostrof pada kata-kata itu karena tidak semua orang menyadari penting dan gentingnya fenomena pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim dan menghadirkan berbagai bencana terkait iklim ini.
Dari kajian Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), antara lain, disebutkan, jika temperatur naik lebih dari dua derajat celsius, Bumi tak akan terselamatkan: pulau-pulau akan tenggelam karena muka air laut bisa naik hingga 40 sentimeter, badai akan meningkat frekuensi dan intensitasnya, banjir semakin parah, serta gelombang laut meningkat seiring dengan pemanasan udara di atas permukaan laut yang meningkat.
Untuk membawakan kepentingan Indonesia, sekitar 50 perunding (negosiator) berangkat. Mereka akan berhadapan dengan para perunding dari sejumlah negara. Beberapa aktor penting dalam urusan ini adalah Brasil, India, China, Amerika Serikat, dan Indonesia—kelimanya dinilai sebagai emiter utama.
Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, sejumlah negara mulai menebar janji menurunkan emisi karbonnya.
Bahkan, dari Uni Eropa muncul janji memangkas emisi hingga 50 persen dari level 1990 pada tahun 2050. Gaung bicara UE, pihak China, India, Brasil, dan Afrika Selatan menentang target tersebut. Empat negara ekonomi berkembang maju itu juga menolak penetapan target emisi pada 2020.
Ketika banyak seruan meminta menahan kenaikan temperatur hingga 2 derajat celsius, keempat negara itu juga menolak. Mereka tidak salah.
Lihat saja sikap AS. Presiden Barack Obama selalu berseru akan berdiri bersama negara lain melawan ancaman perubahan iklim.
Dia menawarkan angka 17 persen penurunan emisi pada 2020 dari level tahun 2005. Angka itu ekuivalen dengan 3 persen penurunan emisi dari level tahun 1990. Jelas angka itu jauh di bawah ketetapan Protokol Kyoto untuk negara-negara maju, Annex I, yang besarnya 15 persen.
”Kalau seperti itu komitmennya, lalu kapan tujuan akan tercapai?” Itu pertanyaan yang dilontarkan Ketua Komite Nasional Indonesia untuk World Energy Council. Penjelasannya tampak dari data IPCC. Untuk mempertahankan kenaikan maksimal 2 derajat celsius, dibutuhkan emisi hanya sampai 450 part per million (ppm). Untuk menahan emisi pada angka 450 ppm, perlu penurunan emisi 25-40 persen dari level emisi 1990!
Juga muncul usulan agar batas tidak pada 2020, melainkan 2030, bahkan ada yang bicara 2050. Di tengah perjalanan waktu menuju ke sana, lalu apa yang akan terjadi? Angka yang disajikan mungkin menggiurkan, yaitu hingga 50 persen, seperti usulan UE. Namun, benarkah itu angka yang ”benar”?
Nah, menghadapi mereka itulah para perunding kita akan duduk semeja. Dan, di sanalah akan diuji sejauh mana kita piawai berdialog plus piawai dalam memahami kerumitan isu perubahan iklim. (Brigitta Isworo L)
Post Date : 07 Desember 2009
|