|
BANDUNG(SINDO) – Drainase atau saluran air di Kota Bandung belum terencana dengan baik.Saat ini hanya 25% drainase yang terpadu atau berhubungan dengan saluran lainnya. Sisanya, sebanyak 75%, berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling berhubungan. Padahal, idealnya semua saluran air terpadu dari hulu hingga hilir menuju sungai-sungai di Kota Bandung. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Tjetje Soebrata mengakui, hingga kini belum semua drainase terpadu dalam sebuah sistem pengairan yang baik. Akibat belum baiknya drainase ini,wajar bila Kota Bandung menjadi langganan banjir cileuncang setiap musim penghujan datang Banjir tersebut juga berakibat cepat rusaknya jalan aspal. Guna mengantisipasi banjir cileuncang ini, Bappeda menargetkan 50% drainase terpadu terwujud sampai pada 2010 nanti. Target itu sesuai amanat Perda No 8/2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bandung 2005–2025.“Karena sudah diundangkan dalam bentuk perda, pemerintah wajib melaksanakan,” ujar Tjetje kepada SINDO kemarin. Secara umum, papar dia, target pembangunan dalam perda itu adalah terintegrasinya saluran makro dan mikro. Saluran makro berupa saluran alami yang terdiri atas 15 sungai sepanjang 265,05 km. Salah satu saluran utama alami adalah Sungai Cikapundung sepanjang 62,10 km yang memiliki sembilan anak sungai yang mengalir dari utara ke selatan Kota Bandung. Sedangkan saluran mikro berupa saluran yang sengaja dibuat mengikuti pola jaringan jalan.Muara saluran buatan ini masuk ke saluran makro atau sungai. Masalahnya sekarang, kata dia, tidak semua jalan memiliki saluran, juga tidak semua saluran yang ada berhubungan dengan saluran makro. ”Secara keseluruhan sistem drainase di Kota Bandung masih belum terencana dengan baik. Akibatnya timbul daerahdaerah rawan banjir,” imbuh Tjetje. Ditemui di tempat terpisah, Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (BMP) Kota Bandung Rusjaf Adimenggala mengatakan, target penambahan pembangunan drainase sebanyak 50% memang tercantum RPJPD Kota Bandung 2005–2025.Namun, rencana tersebut hanya akan tinggal rencana bila tidak diiringi pendanaan yang cukup. ”Penyedia anggaran harus konsekuen,memasang target pembangunan tinggi harus disertai anggaran yang cukup. Kalau kami (Dinas BMP) kerja tergantung anggaran yang diberikan,” ujar Rusjaf. Dia menegaskan, pada dasarnya drainase sudah saling berhubungan. Kalaupun ada yang tidak berhubungan, hal itu disebabkan pembukaan kawasan-kawasan baru. Pembukaan kawasan seperti permukiman, perkantoran, dan perekonomian tersebut biasanya terjadi setelah jalan dibangun.Menurutnya,tidak semua ruas jalan di Kota Bandung harus dibuatkan drainase baru.Pasalnya, ada beberapa jalan yang melewati persawahan yang di kanan-kirinya sudah memi- liki saluran alami sehingga tidak perlu saluran buatan. Namun, masalah muncul setelah lahan persawahan beralih fungsi menjadi kawasan perekonomian atau permukiman. Sebab, alih fungsi biasa diikuti aktivitas pengurukan. ”Jalan yang awalnya lebih tinggi dari hamparan sekitar menjadi datar atau lebih rendah karena diuruk. Kondisi inilah yang mengakibatkan muncul kebutuhan drainase di sekitar kawasan pengembangan,” imbuhnya. Menurut Rusjaf, pembangunan drainase di kawasan pembangunan seharusnya melibatkan pihak ketiga seperti pengembang perumahan. Pelibatan pihak ketiga menjadi penting karena ada pergeseran fungsi drainase. Fungsi dasar drainase awalnya untuk menyalurkan air limpahan dari jalan raya bergeser menjadi penampung limpahan air dari perumahan atau bangunan di sekitar jalan raya. Pergeseran fungsi ini harus disertai pergeseran tanggung jawab. Para pengguna saluran pun harus turut melakukan pembangunan. ”Namun belum ada ketentuan yang mengatur pelibatan pihak ketiga untuk turut membangun saluran drainase ini. Padahal, siapa pun yang turut menggunakan drainase harus turut menanggung perawatan maupun pengembangan. Sebab, fungsi drainase adalah menampung air dari jalan, bukan dari perumahan maupun usaha lain,”paparnya. (miftahul ulum/ wisnoe moerti) Post Date : 05 September 2008 |