|
Salah satu penyebab utama terus berulangnya banjir di DKI Jakarta setiap musim hujan datang adalah buruknya kondisi jaringan drainase. Padahal, sebetulnya bisa diperkecil kemungkinan terjadinya genangan air. Sayang banyak saluran buangan air itu, yang sebagian besar merupakan warisan zaman Belanda, kini kondisinya tak terawat dan mampat oleh sampah buangan warga yang tak punya kesadaran lingkungan. Dalam Kompas Selasa (30/1) diberitakan, sebagian besar drainase di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, tak berfungsi akibat tersumbat sampah. Air tak bisa mengalir sehingga wilayah Koja terancam banjir. Ancaman langsung menjadi kenyataan. Hampir seluruh wilayah Koja kemarin ikut terendam banjir sampai setinggi semeter setelah Jakarta diguyur hujan lebat dari pagi sampai sore sehari sebelumnya. Koja memang merupakan daerah permukiman padat yang memang rawan banjir. Beberapa ruas Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman kemarin juga digenangi air hujan akibat saluran-saluran air yang ada di kedua jalan protokol itu tak berfungsi secara maksimal. Hal ini pernah diakui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wisnu Subagyo. Menurut Wisnu, penyebab utama buruknya drainase di ruas Jalan MH Thamrin adalah banyaknya jaringan utilitas bawah tanah yang melintang di sepanjang saluran air itu. "Akibatnya, drainase di jalan protokol tak mampu menampung curah hujan," katanya. Saat jalan protokol tergenang air selama dua jam pada pertengahan April 2006, muncul genangan air di sekitar Kantor Gubernur DKI Jakarta di Jalan Medan Merdeka Selatan. Selain itu, ada pula saluran drainase yang mengalami penyempitan, seperti di sekitar Jembatan Serong, Tanah Abang, yang juga terhubung dengan saluran air di Jalan MH Thamrin. Di titik itu saluran drainase menyempit dari 19 meter menjadi 12 meter sehingga menjadi berbentuk leher botol. Salah satu sistem drainase terbaik yang dimiliki Jakarta ada di sekitar kompleks Istana Presiden, di antara Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Majapahit, Jalan Veteran, dan Jalan Juanda. Namun, daerah itu juga tak jarang jadi korban genangan air pada musim hujan, seperti yang terjadi tahun lalu serta saat Jakarta dilanda banjir besar pada tahun 2002. Menurut Wisnu, hal itu disebabkan sistem interaksi tata air yang acak-acakan. "Sistem drainase dari timur ke barat tidak terkoordinasi secara baik. Akibatnya, ketika curah hujan sangat tinggi, volume air di darat menjadi besar. Air tidak bisa masuk ke Kali Ciliwung di Jalan Juanda dan menggenangi halaman istana," katanya. Warisan Belanda Infrastruktur pengendalian banjir yang dimiliki Jakarta saat ini adalah warisan pemerintah kolonial Belanda. Berbagai infrastruktur pengairan itu, termasuk saluran drainase, berupa selokan, terusan, dan gorong-gorong. Di antara saluran drainase buatan Belanda, yang bisa dilihat hingga hari ini adalah Kali Gresik di sepanjang Jalan Sutan Syahrir dan Jalan Mohammad Yamin, Jakarta Pusat; serta Kali Sentiong, yang berfungsi mengatur pembuangan air dari Kali Baru Timur ke Sungai Ciliwung. Pemerintah Hindia Belanda telah melakukan berbagai usaha untuk membebaskan Batavia dari ancaman banjir. Namun, perang melawan banjir secara konsepsional baru dimulai pada tahun 1918, setelah Batavia dilanda banjir besar yang merenggut banyak korban jiwa. Ketika itu, pemerintah kolonial membentuk tim penyusun rencana pencegahan banjir, yang dipimpin seorang insinyurnya yang bernama Herman van Breen. Konsep Van Breen dan kawan-kawan intinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu ke sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, yang dialirkan lewat sisi barat kota. Saluran kolektor itulah yang kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat, yang membelah Jakarta dari Pintu Air Manggarai sampai ke Muara Angke. Seiring dengan dibangunnya Banjir Kanal Barat, dibangun berbagai saluran drainase untuk mengalirkan air buangan rumah tangga dan air hujan ke Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta. Kecuali tak melanjutkan dengan serius apa yang sudah dimulai Belanda, Pemprov DKI Jakarta sampai kini masih menganut konsep drainase konvensional. Prinsipnya adalah membuang secepat-cepatnya seluruh air hujan yang jatuh ke sungai dan mengalirkannya ke laut. Konsep lama yang sudah ketinggalan zaman ini menurunkan kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah. Konsep baru Pemprov DKI kini seyogianya menggunakan konsep drainase baru yang lebih ramah lingkungan. Dengan konsep yang disebut ekodrainase itu, air hujan yang berlebihan diusahakan sebanyak mungkin diresapkan kembali ke dalam tanah untuk menambah cadangan air tanah, yang akan diperlukan pada musim kemarau. Artinya, daripada mengikuti langkah Van Breen dengan membangun Banjir Kanal Timur yang tak kunjung usai itu, Pemprov DKI lebih baik memperbanyak pembangunan taman serta hutan kota dan mewajibkan seluruh warga membuat sumur resapan. Selain itu, juga membangun danau-danau baru sambil merevitalisasi puluhan situ dan danau lama yang merana karena kegiatan reklamasi dan pembangunan yang tak terkendali. Mulyawan Karim Post Date : 03 Februari 2007 |